Rabu, 09 April 2008

Bukan Sekedar Persoalan
Kepemilikan
Sepuluh Studi Kasus
Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam
dari Jawa Timur dan Flores
Samuel Clark (ed.)
Cici Novia Anggraini
Luthfi Ashari
Saifullah Barnawi
Stanis Didakus
Yan Ghewa
Agus Mahur
Peter Manggut
Mohammad Said
Desember 2004
Conflict and Community Development Research and Analytical Program
Indonesian Social Development Paper No. 4
Laporan ini dirupakan untuk buat Bank Dunia, Jakarta. Opini yang diungkapkan dalam laporan
ini sepenuhnya adalah pandangan redaktur dan penulis studi kasus saja dan tidak mencerminkan
pandangan Bank Dunia.
Redakturnya bisa dihubungi: sclark@wboj.or.id
Publikasi ini diterbitkan oleh The Conflict and Community
Development Research and Analytical Team yang merupakan
bagian Social Development sector kantor Bank Dunia,
Jakarta.
Tulisan ini bukan merupakan publikasi resmi Bank Dunia. Tulisan ini diterbitkan dan
didistribusikan secara informal untuk mendorong diskusi dan munculnya tanggapan dari
kalangan komunitas pembangunan. Temuan, interpretasi, analisis dan kesimpulan yang
termaktub di dalam paper ini merupakan pandangan peneliti dan tidak mencerminkan pandangan
Bank Dunia, afiliasinya atau anggota Dewan Direksi dari pemerintahan yang diwakilinya.
Untuk kritik dan saran dapat disampaikan ke: sclark@wboj.or.id
Tulisan ini dapat diperoleh di:
World Bank Office Jakarta
Jalan Cik Di Tiro 68A, Menteng
Jakarta Pusat
Indonesia
Tel : +62 (0)21 391 1908/9
Fax: +62 (0)21 392 4640
Disain oleh kaptenadole
Foto sampul oleh Poriaman Sitanggang
Daftar Isi
Daftar Singkatan ................................................................................................. i
Ucapan Terima Kasih ......................................................................................... iv
Pendahuluan ....................................................................................................... 1
Samuel Clark (Diterjemahkan oleh Olivia Rondonuwu)
Sengketa Tanah Dang Lebar ............................................................................. 16
Luthfi Ashari
Warisan Membawa Petaka ................................................................................. 23
Mohammad Said
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya:
Maka Civil Disobedience-pun Termanifestasi dalam Aksi
Pembakaran Hutan ............................................................................................. 34
Cici Novia Anggraini
Tanah Warisan itu Ternyata Telah Terjual:
PPK Pemicu Konflik Potensial .......................................................................... 53
Saifullah Barnawi
Bukan Sekedar Tanah Ulayat:
Konflik Tanah di Desa Golo Meni ..................................................................... 65
Peter Manggut
Padang Mbondei Milik Siapa? ........................................................................... 75
Agus Mahur
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung:
Lingko atau “Hutan Lindung”? ......................................................................... 85
Yan Ghewa
Konflik Pemilikan Tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa .............................. 106
Agus Mahur
Siapa Berhak Memilikinya?
Kontroversi Tanah Tak Bertuan ....................................................................... 124
Stanis Didakus
Gejolak di Perbatasan:
Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A .......................................... 136
Stanis Didakus
Referensi ............................................................................................................. 149
i
Daftar Singkatan
AMPI Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BP3 Badan Pembina Penyelenggara Pendidikan
BPD Badan Perwakilan Desa
BPN Badan Pertanahan Nasional
Bupati Kepala Kabupaten
Camat Kepala Kecamantan
DPP Dewan Pastoral Paroki
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FD Fasilitator Desa (PPK)
FGD Focus Group Discussion
Kades Kepala Desa
Kapolpos Kepala Polisi Posko
Kapolsek Kepala Polisi Sektor
Kesbanglimas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
Klebun Kepala Desa (Madura)
KM Kab Konsultan Manajemen Kabupaten (PPK)
KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan
KTP Kartu Tanda Penduduk
LKD Lembaga Kemasyarakatan Desa
Musbangdes Musyawarah Pembangunan Desa
Musbangdus Musyawarah Pembangunan Dusun
OPK Operasi Pasar Keluruhan
P3DT Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
PDM-DKE Pemberdayaan Daerah untuk Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
Perhutani Perusahaan Hutan Negara Indonesia
Pilkades Pemilu Kepala Desa
PMD Pembangunan Masyarakat Desa
Polres Polisi Resort
Polsek Polisi Sektor
PPK Program Pembangunan Kecamatan
Prona Program Nasional Sertifikasi Tanah
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RPH Resort Polisi Hutan
SD Sekolah Dasar
SDI Sekolah Dasar Inpres
SDK Sekolah Dasar Katolik
SLTP Sekolah Menengah Pertama
STAIN Sekolah Tingga Agama Islam Negeri
ii
TPK Tim Pelaksana Kegiatan (PPK)
TTD Tenaga Teknis Desa
UDKP Unit Daerah Kerja Pembangunan (PPK)
YPTL Yayasan Pendidikan Tengku Leda
i i i
Ucapan Terima Kasih
Studi-studi kasus yang dihadirkan disini diteliti dan ditulis oleh Cici Novia Anggraini, Imron
Rasyid, Endro Crentantoro, Luthfi Ashari, Mohammed Said, Olin Monteiro, Don Dela Santo,
Stanis Didakus, Peter Manggut, Agus Mahur dan Yan Ghewa. Pengawasan di lapangan
dilakukan oleh Rachael Diprose (Jawa Timur) dan Adam Satu dan Jessica Gillmore (NTT).
Penelitian ini dikoordinasikan dari Jakarta oleh Claire Smith dan Patrick Barron, dibawah
bimbingan Scott Guggenheim, Sri Kuntari dan Michael Woolcock. Joanne Sharpe, Kristen
Stokes dan Suzan Piper menerjemahkan kasus-kasus dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris
serta memberikan asistensi editorial. Olivia Rondonuwu menerjemahkan kata pengantar dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia serta memberikan bantuan editorial. Joanne Sharpe
mengkoordinasikan pengumpulan data dari surat kabar.
Pihak lain yang terlibat di dalamnya dalam berbagai tahapan penelitian adalah Vivi Alatas,
Victor Bottini, Juana Brachet, Jozefina Cutura, Leni Dharmawan, David Madden, Kai Kaiser,
Yatrin Kaniu, Sri Kuntari, Ben Olken, Junko Onishi, Menno Pradhan, Arie Purwanti, Sentot
Satria, dan Inge Tan. Pendanaan diperoleh dari DfID, AusAID, dan dana perwalian Pemerintah
Belanda.
Komentar berharga untuk draft-draft sebelumnya diberikan oleh Luthfi Ashari, Patrick Barron,
Karrie McLaughlin, Adam Satu dan Joanne Sharpe.
Catatan: Nama-nama pihak-pihak di dalam semua kasus telah diganti untuk melindungi
anonimitas.
iv
1
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Pendahuluan
Masalah tanah dan sumber daya alam sering disebut–sebut sebagai “akar penyebab” konflik
komunal atau bahkan konflik kekerasan yang bersifat separatis. Pemahaman umum yang
bisa ditarik adalah bahwa kelangkaan tanah dan sumber daya alam ternyata menyebabkan
meningkatnya persaingan, perpindahan/migrasi paksa atau frustasi, yang selanjutnya
menimbulkan pengelompokkan aktor dan ketidakcocokkan antara satu orang dengan orang
lain.1 Analisis ethnografis terhadap konflik dan prosesnya menunjukkan bahwa tanah dan
sumber daya alam sangat erat hubungannya dengan praktek–praktek sosial budaya, sejarah
dan identitas yang begitu kompleks.2 Cara ini menunjukkan bahwa konflik tanah dan sumber
daya seringkali terkait dengan persoalan makna dan pengakuan serta kontrol ekonomi terhadap
sumber daya alam yang langka.
Di Indonesia, sering dikatakan bahwa masalah tanah dan sumber daya alam disebut–sebut
sebagai isu yang sesungguhnya dari konflik–konflik “etnis” dan “agama” tingkat tinggi yang
meletus sejak keruntuhan Suharto. Di Kalimantan, perampasan tanah dan marjinalisasi secara
bertahap terhadap masyarakat Dayak dianggap telah menciptakan kondisi–kondisi yang
akhirnya meledak menjadi konflik etnis.3 Senada dengan hal tersebut, di Sulawesi Tengah
persaingan untuk mendapatkan akses terhadap tanah yang dilatarbelakangi oleh migrasi dan
perubahan pola kepemilikan tanah dan penggunaannya menyebabkan terjadinya konflik “orang
dalam–orang luar,” dan kemudian berubah menjadi konflik etnis–agama yang lebih spesifik.4
Sekali lagi, hal yang sama juga terjadi di Maluku, dimana masalah tanah serta upaya-upaya
militer untuk memperoleh kontrol terhadap sumber daya di tingkat lokal sering disebut–sebut
sebagai sumber utama konflik, sedangkan di Papua, ketidakadilan–ketidakadilan sebagai
akibat dari penguasaan dan pengaturan negara terhadap sumber daya di propinsi yang kaya
ini dilaporkan telah menjadi penyebab penting ketegangan–ketegangan yang terjadi disana.5
Konsekuensinya, pemahaman tentang cara penguasaan dan pendistribusian tanah dan sumber
daya alam lainnya dan bagaimana tanah dan sumber daya alam dapat digunakan sebagai alat
untuk memobilisasi masyarakat yang lebih luas, sangat penting untuk memahami segala sesuatu
yang dipahami sebagai konflik etnis-agama di Indonesia.
Konflik kekerasan berakibat kepada hilangnya nyawa manusia dan mata pencaharian, serta
rusaknya harta benda, yang selanjutnya dapat merusak jalinan sosial dan ekonomi masyarakat
yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung. Hal ini berlaku dan penting tidak
hanya untuk konflik skala besar di daerah “konflik tinggi” di Indonesia yang selalu mendominasi
halaman depan surat kabar–surat kabar. Baru–baru ini di Indonesia sejumlah upaya telah
1 Homer-Dixon (2001), Swain (1993); Markakis (1998).
2 Peluso and Watts (2001), Ross (1995); and Salih (1999).
3 Mengenai Kalimantan Tengah lihat ICG (2001), Bertrand (2004); Mengenai Kalimantan Barat lihat
HRW, (1997).
4 Lihat Aragon (2001); ICG (2003), HRW (2002).
5 Untuk Maluku lihat ICG (2000); untuk Papua lihat ICG (2002).
2
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
dilakukan untuk memusatkan perhatian dan menghitung sebaran dan keseriusan konflik di
daerah–daerah yang umumnya dianggap sebagai daerah bebas konflik.6 Analisis perangkat
data Statistik Potensial Desa (PODES) yang dilaksanakan beberapa tahun sekali, oleh Biro
Statistik Pemerintah, melaporkan bahwa 7.1 persen (dari 4.872 kejadian) desa dan kelurahan
di Indonesia pernah mengalami konflik kekerasan pada tahun 2002.7
Jelaslah bahwa dampak konflik yang demikian ternyata signifikan. Laporan yang sama
menyebutkan bahwa hampir seperempat dari kejadian–kejadian tersebut mengakibatkan
kematian, sedangkan sekitar setengahnya lagi menyebabkan luka-luka. Walaupun sulit dihitung,
kerusakan harta diperkirakan mencapai Rp. 771 milyar (sekitar US$ 91.4 juta). Namun,
konflik tanah dan sumber daya alam juga bisa bermakna produktif. Seperti konflik pada
umumnya, konflik tanah dan sumber daya tidak bisa dihindari dan merupakan hal yang banyak
terjadi di dalam masyarakat, khususnya di negara seperti Indonesia yang sedang mengalami
transisi di bidang sosial, politik dan ekonomi. Konflik bukan sekedar hasil perubahan, melainkan
katalisator bagi perubahan selanjutnya. Jika dikelola dengan baik, konflik dapat menguak
ketegangan–ketegangan yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan serta membantu menata
ulang struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya. Hal ini dapat mempercepat pertumbuhan
ekonomi, mengkonsolidasi proses demokratisasi, meningkatkan kesejahteraan, dan
meningkatkan kesadaran atas hak-hak. Dengan cara ini, konflik kepemilikan tanah dan sumber
daya serta perjuangan ontologis terhadap bagaimana sebaiknya distribusi dan cara pandang
terhadap tanah—jika dikelola dengan baik—dapat menghasilkan hal yang produktif. Memahami
dan berkaca dari perubahan-perubahan tersebut dan cara masyarakat berunding dan bereaksi
terhadap perubahan tersebut sangatlah penting untuk membantu merancang strategi
pembangunan yang efektif, partisipatif, dan tanpa kekerasan.
Ketidakstabilan dan ketidakpastian isu pemilikan serta sistem pengelolaan tanah dan sumber
daya alam lainnya oleh banyak pihak dianggap sebagai penghambat pembangunan ekonomi,
penyebab ketidakmerataan dan mendorong terjadinya eksploitasi lingkungan.8 Jadi,
menyebarnya konflik tanah dan sumber daya alam merupakan pertanda kegagalan atau
kelemahan mekanisme administrasi tanah dan sumber daya alam yang ada. Juga, konflikkonflik
tersebut menunjukkan masalah, norma, ketegangan, kepentingan dan aktor yang
bersaing satu dengan yang lainnya yang perlu disatukan dan disesuaikan oleh sistem yang
stabil. Jika isu kompleks ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan mekanisme dan agenda
pembangunan yang ada sekarang dan yang akan datang tidak berguna dan juga tidak memiliki
legitimasi.
Sepuluh studi kasus dalam kompilasi ini diedit dan dipilih dari 70 kasus konflik yang ditulis
oleh 15 peneliti. Peneliti tinggal selama sembilan bulan di desa-desa di dua propinsi di Indonesia
6 Lihat Barron and Madden (2004); and, Varshney, Panggabean and Tadjoeddin (2004).
7 Barron, Kaiser, & Pradhan (2004).
8 Deininger (2003); de Soto (2000).
3
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
(Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur – NTT).9 Kasus-kasus tersebut dikumpulkan sebagai
bagian dari proyek penelitian skala besar dengan menggunakan metode campuran (PPK dan
Studi Negosiasi Konflik pada Masyarakat). Penelitian itu bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik terhadap penyebab konflik lokal serta pola konflik tersebut di
Indonesia dan untuk membantu menjelaskan bagaimana (proses) intervensi berinteraksi—
positif atau negatif—dengan proses-proses tersebut. Penelitian ini berusaha menganalisis
hubungan antara Proyek Pembangunan Kecamatan (PPK)—proyek pembangunan utama
Bank Dunia di Indonesia—dan konflik lokal, serta mengevaluasi apakah program ini membantu
masyarakat mengelola konflik dengan cara-cara damai. Seperti halnya kasus konflik tanah
dan sumber daya alam, studi kasus yang berkaitan dengan pembangunan, kekerasan di dalam
rumah tangga, main hakim sendiri (vigilante justice), dan pertikaian terkait dengan pemilihan
kepala desa juga ditelusuri.10
Untuk menulis studi kasus yang kami sajikan disini, para peneliti tinggal di desa tempat konflik
berlangsung, dan melakukan wawancara, diskusi kelompok terarah (focus group discussions),
dan pendekatan antropologi lainnya seperti observasi partisipatif. Pendekatan kualitatif dan
bersifat lokal ini memungkinkan kita memahami munculnya hubungan sebab-akibat: mengapa
konflik memiliki pola tertentu. Pemahaman terhadap pola konflik tanah dan sumber daya
alam dapat membantu kita merancang strategi yang tepat untuk mencegah dan menyelesaikan
konflik.11 Pola konflik tanah dan sumber daya alam menarik untuk diikuti karena dapat
menjelaskan kejadian dan dinamika internal dan eksternal yang memungkinkan kejadian tertentu
berubah menjadi kekerasan komunal yang lebih luas. Hal ini memungkinkan kita, tak hanya
mengidentifikasi intervensi pasca–konflik yang cocok, juga membantu memonitor dan mencegah
eskalasi konflik di masa yang akan datang.
Ringkasnya, studi kasus ini memberikan kontribusi bagi pemahaman kita tentang bagaimana
konflik tanah dan sumber daya alam skala rendah bereskalasi menjadi konflik komunal yang
lebih luas, dan juga isu-isu kompleks yang harus dihadapi oleh kebijakan pembangunan di
dalam sektor tanah dan sumber daya alam di Indonesia.
Konteks Hukum dan Perundang-undangan
Pijakan hukum tanah Indonesia adalah Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960,
yang bersifat utuh (unitary), terpusat dan modern. Karena UUPA dirancang untuk menyatukan
hukum-hukum tanah kolonial yang melestarikan sistem hukum “Eropa” dan “Indonesia”, maka
Undang-Undang ini mengubah klaim Belanda dan klaim adat (customary claim) menjadi statutastatuta
hak ala Barat.12 Statuta itu misalnya berupa hak milik, hak pakai, hak sewa dan hak
guna bangunan.
9 Di NTT penelitian dibatasi pada Flores saja.
10 Lihat Barron, Diprose, Madden, Smith, and Woolcock (2004).
11 Barron, Smith, and Woolcock (2004).
12 Fitzpatrick (1997).
4
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Hak milik adalah hak yang paling “kebarat–baratan” karena sifatnya yang individual, tak
terbatas oleh waktu, dapat didaftarkan, dan dapat dipindahkan secara perorangan. Namun,
hak ini hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan badan-badan tertentu yang
ditunjuk oleh negara dan tidak diperuntukkan bagi badan milik negara, perusahaan swasta,
atau koperasi.13 Kelompok yang tidak memiliki akses terhadap hak milik ini harus bergantung
pada hak-hak yang diatur oleh hukum yang berlaku seperti hak sewa, yang memberikan
penggunaan eksklusif kepada pemegang hak dalam kurun waktu tertentu (biasanya antara 25
dan 30 tahun). Periode ini biasanya dapat diperpanjang (setidaknya dua kali) atas seijin
pejabat birokrasi. Namun, praktisi hukum, advokasi dan pelaku pembangunan melihat ada
beberapa kekurangan mendasar undang-undang ini.
Mungkin kelemahan paling serius UUPA adalah kurangnya pengakuan atas klaim adat. Memang
benar kalau referensi adat sudah banyak dijumpai di dalam dokumen tersebut, namun isi dari
pembukaan (Explanatory Memorandum) menyatakan bahwa undang-undang agraria
nasional “berdasar atas hukum adat” dan mengakui peran terus menerus hukum adat. Dapat
dikatakan bahwa dasar dan pengakuan ini sangat terbatas: terkait dengan aspek dasarnya,
Pasal 5 menyatakan bahwa dasar UUPA “ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara.” Sedangkan terkait dengan aspek pengakuan,
Pasal 56 menyatakan bahwa pengakuan adat berlaku “sepanjang [hukum adat] tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.” Senada dengan hal
itu, Pasal 3 UUPA mengakui hak ulayat tetapi melarang pendaftarannya. Dalam konteks
Indonesia kelemahan ini signifikan karena, seperti yang dapat dilihat dari kebanyakan studi
kasus, sebagian besar tanah berada di bawah kendali masyarakat secara komunal. Karena
hanya 11% tanah di luar Jawa, dan 22% tanah di pulau Jawa yang secara resmi terdaftar
dibawah UUPA, hal itu menunjukkan betapa hukum tersebut tidak efektif dan tidak relevan.14
UUPA juga tidak mengakui proses adverse possession (“balik nama”) yang memungkinkan
seseorang untuk memperoleh kepemilikan secara sah atas tanah yang telah ditempatinya selama
kurun waktu tertentu. Penghapusan kepemilikan disinggung pada Pasal 27, tetapi pasal tersebut
sebenarnya berkenaan dengan pengembalian tanah yang terabaikan kepada negara; sebaliknya
Pasal 56 mengatur beberapa bentuk hak tradisional (default ownership) berdasarkan adat
lokal, akan tetapi sangat selektif dan dalam prakteknya jarang memiliki kekuatan hukum.
Memang, seperti dikatakan Fitzgerald (2002), ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa
penghuni lama tidak dapat mengajukan hak kepemilikan meskipun mereka sudah membayar
pajak tanah selama lebih dari 30 tahun.15 Kesimpulannya, pengakuan UUPA terhadap adat
dan klaim yang tidak diatur oleh negara bersifat retoris dan simbolis saja. Dapat dikatakan
13 Badan-badan yang ditunjuk oleh negara termasuk bank pemerintah, koperasi tani dan beberapa badan
keagamaan dan sosial.
14 Stephens (2002).
15 Fitzgerald (2002, p. 83).
5
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
UUPA menempatkan masyarakat dan “penghuni informal lainnya” pada posisi yang lemah
melalui proses tawar menawar dengan pejabat birokrasi.16
Mirip dengan UUPA, hukum kehutanan di Indonesia—yang merupakan warisan era Orde
Baru—sangat menjunjung tinggi kepentingan pemerintah pusat dan agendanya yang
berorientasi kepada pembangunan. Pasal 5 Undang-Undang tahun 1967 (No. 5/1967)
menyatakan bahwa “semua hutan di wilayah Republik Indonesia, termasuk sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.” Menindaklanjuti pengumuman undang–
undang ini, kegiatan pemetaan yang dilakukan (oleh negara) menunjukkan bahwa lebih dari
75 persen wilayah Indonesia adalah “hutan” sehingga berada dibawah jurisdiksi Departemen
Kehutanan.17 Karena undang-undang ini menganut sistem klasifikasi dan perijinan sehingga
setiap individu, koperasi, dan BUMN dapat mengeksploitasi hasil-hasil kayu dan non–kayu.
Hukum kehutanan yang baru (No. 41/1999) yang sebagian besar mempertahankan sistem
perijinan dan sistem terpusat dari hukum terdahulu, memastikan bahwa hukum desentralisasi
yang diperkenalkan sebelumnya tidak akan mengganggu kontrol secara terpusat. Hukum
yang baru ini mengakui “masyarakat adat” dan “hutan adat”. Namun, seperti juga UUPA,
hukum ini memberikan keleluasaan yang besar kepada pemerintah untuk mengatur perolehan
atas hak-hak tersebut. Hubungan antara masyarakat-negara dalam hal kekuasaan negara
dan pengelolaan sumber daya hutan lokal dapat dilihat pada studi kasus Ketika Inang
Pengasuh Tak Lagi Mengayomi Asuhannya dari Jawa Timur. Sebaliknya, studi kasus
Perseteruan antara Satar Teu dan Kadung dari NTT menggambarkan hubungan antara
negara-masyarakat yang sangat berbeda dengan apa yang diatur oleh undang-undang
kehutanan nasional. Di dalam kasus ini, masyarakat sangat percaya (selama lebih dari 50
tahun) telah memiliki lingko (hutan) dan secara tersirat lingko telah diakui oleh pemerintah
kecamatan setempat.
Dalam pelaksanaannya, ambiguitas terhadap pengakuan adat, proses “balik nama”, klasifikasi,
dan yurisdiksi memberikan ruang interpretasi yang luas kepada pengadilan dan badan–badan
pelaksana, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Departemen Kehutanan. Dengan
cara ini ambiguitas tersebut memberikan fleksibilitas hukum, yang dibutuhkan oleh negara
bhineka tunggal ika, dan juga sedang mengalami masa transisi. Namun, hal ini juga membuka
peluang terjadinya praktek korupsi dan kontradiksi hukum yang serius. Karena besarnya
16 Gautama and Hornick memberikan gambaran ini dalam Unity in Diversity: An Introduction to Indonesian
Law, 1983, dikutip dalam Stephens (2002).
17 Hal ini dicapai dengan mengelompokkan tanah “tak berpenghuni” sebagai “hutan” sehingga berada
di bawah jurisdiksi departemen kehutanan.
6
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
kepentingan dibalik proses pengaturan tanah dan sumber daya alam, maka segala perubahan
harus berhadapan kepentingan politik.18
Untuk memahami dinamika hukum di Indonesia akan lebih baik apabila kita memfokuskan
diri kepada peran hukum dalam menata dan membentuk diskursus serta perilaku, daripada
terlalu berkutat dengan hukum tertulis, keterbatasannya, kontradiksinya dan hirarkinya.19
Pelaksanaan hukum adalah tergantung kepada tatanan sosial–hukum dan politik lokal, yang
dengan sendirinya bersifat “tidak stabil” dan “ambigu”.20 Tentu saja pada saat yang sama,
hukum berpengaruh kepada tatanan ini. Fleksibilitas pelaksanaannya dapat bermanfaat dalam
konteks sekarang di masa otonomi daerah. Gagasan desentralisasi setelah kejatuhan rejim
Orde Baru telah memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Pemerintah Kabupaten.21
Pada saat yang sama, seperti telah dijelaskan di depan, BPN dan Dephut telah melakukan
upaya untuk mempertahankan cengkeramannya secara hukum terhadap undang-undang pokok
tentang penguasaan dan pembagian sumber daya tanah dan hutan. Ketegangan antara
sentralisasi dan desentralisasi menambah satu lagi dimensi ketegangan sumber daya dan
kewenangan untuk melakukan kegiatan distribusi.
Di dalam konteks Indonesia, ambiguitas dan ketegangan ini mengakibatkan sejumlah dinamika
sosial–legal berhubungan dengan konflik tanah dan sumber daya alam baik secara langsung
atau tidak langsung. Contohnya adalah “gerakan reklamasi”,22 politik elit kesukuan,23 gerakan
“kembali ke adat”,24 serta inisiatif dan upaya oportunis di daerah mengatur dan mengontrol
tanah dan sumber daya alam pada tingkat daerah.25
Namun demikian, ambiguitas hukum dan keengganan aparat hukum serta departemen terkait
lainnya (BPN dan Dephut) untuk menginterpretasikan pengakuan adat secara tulus
menciptakan kerangka hukum dan perundang-undangan yang tidak pasti dan merepotkan.
18 Penyertaan pengakuan adat dalam UUPA jika tidak disertai dengan kerangka pelaksanannya yang
jelas telah menciptakan dinamika reformasi yang menarik. Banyak lembaga swadaya masyarakat yang
kritis terhadap negara terhadap soal hukum agraria enggan melakukan advokasi untuk mengganti
UUPA karena takut pengakuan adat yang telah ada di dalamnya akan hilang dengan sendirinya.
Kantor BPN juga menyatakan keengganannya untuk melakukan perubahan karena UUPA dianggap
mencerminkan “semangat kebangsaan”, dan karena adanya ambiguitas yang membuang peluang
untuk melakukan korupsi.
19 McCarthy (2004).
20 Ibid.
21 Revisi undang-undang desentralisasi memperbesar peran provinsi.
22 Wijardjo and Perdana (2001).
23 van Klinken (2002).
24 Mengenai Sumatera Barat, lihat World Bank (2004b), dan Central Kalimantan World Bank (2004c).
25 Lihat studi kasus Bukan Sekedar Tanah Ulayat di dalam kompilasi ini, juga World Bank (2004c).
7
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam di Jawa Timur dan Flores
Walaupun tidak ada konflik komunal dan separatis yang meluas di Jawa Timur dan Flores,
namun kekerasan yang menyebabkan kematian, luka-luka dan kerusakan fisik sebagai akibat
dari konflik tanah dan sumber daya alam adalah hal yang umum. Dalam kurun waktu tiga
tahun sejak 2000–2003, di Jawa Timur tercatat 14 tewas, 82 terluka dan satu bangunan
hancur; sedangkan di Flores tercatat 58 tewas, 85 terluka dan 127 bangunan hancur.26 Tabel
1 menunjukkan betapa angka konflik dan konflik kekerasan bervariasi tidak hanya terbatas
antar propinsi tetapi juga di dalam dua propinsi tersebut. Prevalensi konflik tanah dan sumber
daya alam di Flores lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa Timur (27 banding
6 persen) dan berpeluang besar menimbulkan kekerasan dan menyebabkan kematian (di
Flores, dari 46 persen konflik kekerasan 21 persen diantaranya menyebabkan kematian,
sedangkan rasio di Jawa Timur adalah 13 persen banding 4 persen). Dan patut ditengarai
bahwa Kabupaten Manggarai mendominasi setengah dari total angka konflik tanah dan sumber
daya alam di Flores yang berakhir dengan kematian.
Tabel 1 – Peristiwa Konflik 2000 - 200327
Provinsi Kabupaten Konflik Umum Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam
Total Dengan Berakibat
Kekerasan Kematian
Jawa Timur Bangkalan 214 9 2 1
Madiun 267 12 2 0
Magetan 118 3 0 0
Pamekasan 161 14 2 0
Ponorogo 248 10 3 1
Sampang 158 11 4 1
Sumenep 226 24 0 0
Total 1392 83 11 3
Flores Ende 83 16 7 3
Flores Timur 104 25 9 5
Manggarai 108 44 24 15
Ngada 76 24 10 1
Sikka 82 14 6 2
Total 453 123 56 26
26 Data yang disajikandihadirkan disini dikumpulkan dari data media massa dari enam kabupaten di Jawa
Timur dan Pulau Flores. Di setiap daerah data diperoleh dan dicek silang dari tiga koran lokcal. Hasil
yang lengkap serta analisis dari kelebihan dan kelemahan metode ini dilakukan diberikan oleh Barron
dan Sharpe (forthcoming).
27 Saat ini di Flores terdapatSekarang ini ada tujuh kabupatendi Flores, namun selama masa penelitian
(2001–2003) Kabupaten Lembata terpisah dari Kabupaten Flores Timur serta Kabupaten Manggarai
Barat dari Kabupaten Manggarai. Untuk memudahkan pembandingan tingkat konflik pada kabupaten
tersebut-kabupaten, data dianalisis dengan menggunakan data sebelumnya yaitu lima kabupaten.
8
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Studi kasus yang disajikan disini umumnya mewakili konflik tanah dan sumber daya alam
yang terjadi di dua propinsi wilayah penelitian. Kasus dari Flores lebih banyak dibandingkan
yang dari Jawa Timur karena konflik tanah dan sumber daya alam yang terdapat disana juga
lebih banyak: 123 banding 83 kasus.28 Hanya dua (dari 10 studi kasus) yang menyebutkan
dampak kekerasan dan sesuai dengan data penelitian media massa yang mencatat 13 persen
dan 46 persen konflik tanah dan sumber daya alam yang menimbulkan kekerasan di Jawa
Timur dan Flores (masing-masing). Studi kasus ini menunjukkan bahwa polisi terlibat hanya
bila konflik menimbulkan kekerasan. Dinamika tersebut juga didukung oleh data penelitian
media massa. Data menunjukkan bahwa angka keterlibatan polisi dalam konflik kekerasan
tanah dan sumber daya alam di Jawa Timur dan Flores adalah 100 persen dan 70 persen.
Polisi terlibat hanya pada 28 dan 25 persen untuk konflik tanpa kekerasan di Jawa Timur dan
Flores.29
Namun masih terdapat beberapa kesenjangan pada kompilasi studi kasus ini, yaitu konflik
antar individu/kelompok dan negara. Di dalam kompilasi ini terdapat satu konflik pengelolaan
hutan yang secara langsung melibatkan negara. Tetapi data media massa menunjukkan bahwa
di Jawa Timur dan Flores, 34 dan 37 persen konflik tanah dan sumber daya alam melibatkan
negara sebagai salah satu pihak dalam konflik. Perbedaan antara studi kasus disini dengan
data media massa juga nampak dalam hal keterlibatan Bupati dalam upaya penyelesaian
(konflik). Data media massa menunjukkan bahwa Bupati, sebagai aktor tunggal yang paling
sering dilibatkan dalam penyelesaian masalah tanah dan sumber daya alam. Prosentasenya
mencapai 34 persen kasus di Jawa Timur dan 30 persen di Flores. Namun, kesenjangan
antara studi kasus dan media massa bisa saja merupakan akibat dari kecenderungan media
massa untuk meliput kejadian–kejadian yang telah memasuki wilayah politik yang lebih tinggi
(tingkat Kabupaten), padahal studi kasus ini lebih terfokus kepada kasus-kasus lokal (desa).
Kasus-kasus
Kasus pertama dan ringkas yang ditulis oleh Luthfi Ashari, melihat karakter konflik tanah
yang diwariskan turun-temurun di Madura, Jawa Timur (Sengketa Tanah Dang Lebar).
Ashari berargumen bahwa konflik tersebut sering muncul antar tetangga, teman–teman dan
keluarga karena ketergantungan masyarakat pada transaksi tanah secara informal dan tidak
tertulis. Penulis melihat bahwa konflik-konflik tersebut, termasuk konflik Dang Lebar, jarang
berubah menjadi kekerasan dan biasanya diselesaikan oleh Kyai dan/atau Klebun (Kepala
Desa) di tingkat desa. Mohammad Said menggambarkan konflik tanah antar desa yang mirip
dengan kasus pertama (Warisan yang Membawa Petaka) di Madura. Konflik tersebut
berawal dari pertikaian antar dua orang dan kemudian melibatkan masyarakat yang lebih
28 Perbedaan ini semakin jelas jika kita melihat populasi yang jauh lebih tinggi di Jawa Timur.
29 Pengertian keterlibatan memang luas; bisa berarti mereka dipanggil pada titik tertentu dalam konflik
atau mereka memang terlibat erat dalam penyelesaiannya.
9
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
luas. Dinamika kedua kasus ini mirip karena keduanya hampir berakhir dengan kekerasan.
Studi kasus ini menunjukkan tugas pengelolaan konflik yang dilakukan oleh Klebun dengan
cara meredakan konflik dan bukannya menyelesaikan status tanah. Dibandingkan Flores,
khususnya Kabupaten Manggarai, studi kasus ini menunjukkan betapa lebih mudahnya
pemilikan ditentukan dan diputuskan di Jawa Timur karena hadirnya mediator berbasis
komunitas yang punya legitimasi (seperti Kyai atau Klebun) dan karena unit pemilikan tanah
yang lebih kecil (perorangan/keluarga).
Studi kasus yang ditulis oleh Cici Novia Anggraini (Ketika Inang tak lagi Mengayomi
Asuhannya) menyoroti hubungan antagonis antara suatu desa di Ponorogo, Jawa Timur dengan
Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani). Konflik yang menjadi fokus studi kasus ini
berkaitan dengan kebijakan Perhutani menetapkan jenis pohon yang tidak cocok dengan
karakter geografis daerah dan berdampak negatif pada lahan warga. Konflik ini menarik
karena menggarisbawahi hubungan antara lembaga negara dan masyarakat. Konflik tersebut
juga menunjukkan terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan lembaga
dan menuntut pelaksanaan pelayanan publik dalam cara yang konstruktif dan damai.
Saifullah Barnawi membahas kasus (Tanah Warisan itu Ternyata Telah Terjual) tentang
penolakan pembebasan tanah untuk dijadikan proyek PPK di Madura, Jawa Timur. Seperti
yang terungkap dalam banyak studi kasus, transaksi dan kepemilikan tanah seringkali dilakukan
secara informal, tidak tertulis dan diperoleh melalui kolusi serta politik kekuasaan di tingkat
lokal. Akibatnya upaya penyelesaian hanya menyelesaikan konfliknya namun tidak
mempertegas status tanah. Dalam kasus ini, “pemilik” terakhir tidak mau memberikan tanahnya
kepada PPK karena takut sejarah kepemilikan tanahnya terbongkar. Kasus ini menggambarkan
bagaimana proyek pembangunan dapat secara potensial menimbulkan (kembali) konflik yang
terpendam dan bagaimana administrasi tanah yang lemah dapat menghambat perubahan dan
pembangunan serta proses PPK.
Studi kasus (Bukan Sekedar Hak Ulayat) yang ditulis oleh Peter Manggut melihat sengketa
tanah yang berawal dari keinginan sebuah anggota keluarga untuk mewariskan tanah kepada
misionaris dari Jerman (untuk digunakan bagi kepentingan publik). Tanah tersebut oleh
masyarakat kemudian dialih-fungsikan menjadi pasar dan kantor desa pada tahun 1950-an.
Dalam kasus “pewarisan tanah” serupa, Agus Mahur menelusuri sengketa kepemilikan tanah
yang melibatkan seminari lokal, kelompok komunitas yang dibentuk oleh LSM, dan kelompok
etnis Mutu Poso (Siapa yang Memiliki Tanah Mbondei?). Studi kasus ini menunjukkan
perdebatan atas hak penggunaan dan hak pemilikan tanah di Manggarai, Flores dan bagaimana
hak tersebut menjadi bahan reinterpretasi dan bagian dari kesepakatan dan afiliasi kekerabatan/
etnis. Upaya penyelesaian dua kasus di atas berbeda. Dalam kasus Peter, untuk menyelesaikan
sengketa tanah dan sengketa-sengketa lainnya maka dibentuklah forum adat; namun satu
suku kunci yang bertikai tidak diundang. Akibatnya forum yang baru dibentuk tidak mampu
menemukan penyelesaian yang bisa diterima oleh semua pihak. Kemudian gereja Katolik
10
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
berhasil membuka dialog dan mencegah kekerasan. Namun status tanah tetap tidak jelas.
Dalam kasus Agus, Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten terlibat dalam upaya penyelesaian.
Namun setelah keberhasilan awal, kesepakatan kembali hancur.
Studi kasus yang ditulis oleh Yan Ghewa menceritakan konflik menyeluruh atas hutan yang
membatasi dua kampung di satu desa di Manggarai, Flores (Sengketa antara Satar Teu
dan Kadung: Lingko atau “Hutan Lindung”). Status tanah dan sumber daya alamnya
dipertanyakan ketika sekelompok petani dari satu desa menebang pohon-pohon untuk
memperluas sawah mereka. Awalnya konflik hanya terfokus kepada masalah status penggunaan
atau pengelolaan hutan, tetapi setelah berbagai upaya penyelesaian gagal, masalah utamanya
berubah menjadi masalah kepemilikan. Kasus ini menggambarkan secara rinci upaya
kecamatan untuk menyelesaikan status hutan, dan konflik, dengan memindahkan
kepemilikannya kepada pemerintah. Gagasan “baru” ini dapat diterima dan berhasil, namun
akhirnya salah satu pihak menolaknya. Serupa dengan kasus lainnya di Manggarai, studi
kasus kedua yang ditulis oleh Agus Mahur melihat konflik (Konflik Pemilikan Tanah SLTP
St. Paulus Benteng Jawa) dimana klaim sejarah, perjanjian tidak tertulis, dan ketidakjelasan
penggunaan dan kepemilikan tanah serta manipulasi politik dapat menyebabkan terjadinya
konflik kekerasan. Yang menarik, konflik dapat diselesaikan tidak dengan menentukan status
tanah, melainkan dengan memecah dewan pengelola yayasan pendidikan untuk memperbaiki
hubungan antara dua lembaga.
Stanis Didakus, bekerjasama dengan dua peneliti lainnya—Don Dela Santo dan Olin
Montiero—menulis dua kasus dari Sikka. Kasus pertama (Kontroversi Tanah tak Bertuan:
Siapa Berhak Memilikinya?) menceriterakan konflik tanah warisan. Konflik pada awalnya
terjadi di tingkat desa, dan melibatkan unsur pemerintah dan sistem adat. Namun kemudian
konflik naik ke pengadilan tinggi Kupang dan tanah tersebut diberikan kepada satu pihak
dengan cara yang kontroversial. Menariknya, menurut hukum adat, tidak satu pihak pun
yang berhak atas tanah tersebut. Tanah tidak diberikan kepada anak angkat yang tidak lagi
tinggal di desa, meskipun dia yang memiliki “hak” atas tanah menurut hukum adat. Kasus ini
memperlihatkan bahwa tanpa norma dan institusi yang jelas dan legitimate, pihak yang “lebih
kuat” sering mempengaruhi hasil akhirnya. Kasus yang kedua (Gejolak di Perbatasan)
melihat konflik perbatasan antar desa yang sudah lama terpendam, namun muncul kembali
karena dipicu oleh kegiatan pendaftaran tanah massal oleh salah satu desa. Tindakan ini
memunculkan pertanyaan atas status sejumlah rumah yang berada di sekitar perbatasan.
Padahal masing-masing kepala desa dan warga mengakui posisinya sesuai dengan alasan
pragmatis dan normatif. Studi kasus ini menunjukkan kesulitan untuk meyakinkan batasan
tetap yang sudah disetujui sesuai ketentuan sistem pendaftaran tanah “modern”. Kasus ini
juga menunjukkan betapa mudahnya identitas yang diberikan (ascriptive) dapat dengan mudah
dimanipulasi sehingga mampu memicu kekerasan.
11
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Analisis terhadap 10 studi kasus ini menggarisbawahi tiga tema penting dalam memahami
mengapa dan bagaimana konflik tanah dan sumber daya alam muncul, bagaimana membukanya,
serta bagaimana dan kapan kasus-kasus tersebut berhasil atau gagal diselesaikan.30
Kompleksitas
Yang paling tercermin jelas dari studi kasus ini adalah kerumitannya, yang terlihat dari beragam
norma, kepentingan, aktor dan lembaga yang terlibat dalam tiap konflik. Norma–norma
adat, kekeluargaan, Islam (warisan), negara, dan “keadilan sosial” seringkali, baik eksplisit
maupun implisit, muncul secara bersamaan di dalam suatu konflik. Norma-norma ini digunakan
dengan cara berbeda-beda untuk mengklaim hak pemilikan dan hak penggunaan, untuk
menginterpretasikan keputusan dan perjanjian sejarah (lisan) serta membuka jalan bagi
penyelesaian yang tepat.31 Yurisdiksi norma-norma tersebut saling memotong satu dengan
lainnya dan hirarkinya seringkali tidak jelas serta sangat dipengaruhi oleh proses politik lokal.
Di Flores, norma adat dan kekerabatan relatif kuat dibandingkan dengan di Jawa Timur yang
lebih sering menggunakan hukum Islam dan/atau hukum negara, walaupun dalam
pelaksanaannya tidak selalu diterapkan. Hal yang semakin memperumit konflik adalah praktek
dan penggunaan norma yang sangat berbeda, tidak hanya antar propinsi tetapi juga di dalam
propinsi .
Norma–norma umumnya menjadi kedok bagi kepentingan–kepentingan pragmatis. Karena
konflik tanah dan sumber daya mempertaruhkan sesuatu yang bernilai ekonomi tinggi, maka
kepentingan yang dipertaruhkan sangatlah besar. Menariknya, seperti yang nampak pada
kasus Manggarai, konflik tanah tidak hanya sebatas soal kepemilikan lahan, tetapi juga soal
penggunaan atau pengelolaan lahan. Ketika isu penggunaan dan kepemilikan dipermasalahkan,
maka dua hal tersebut seringkali dicampur–adukkan dalam upaya penyelesaian. Kasus yang
berhasil diselesaikan (Tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa) terfokus kepada upaya
memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang bertikai, untuk meningkatkan model
pengelolaan tanah ketimbang terfokus kepada soal kepemilikan.
Selain itu, data media massa menunjukkan bahwa konfli kekerasan yang terkait dengan tanah
dan sumber daya alam banyak dijumpai di Manggarai, Flores. Penelitian kualitatif menunjukkan
bahwa di kabupaten ini, sumber daya yang dipertaruhkan sangat terkait dengan identitas
kesukuan (lihat empat studi kasus dari Manggarai). Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan
cenderung terjadi jika upaya memperebutkan harta menyangkut identitas kesukuan.
30 Perlu dicatat bahwa tema-tema diatas adalah yang dijumapi oleh editor. Studi kasusnya sendiri cukup
rinci sehinga memungkinkan pembaca untuk membuat kesimpulannya sendiri.
31 Bowen (2003).
12
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Melihat tingginya hal yang dipertaruhkan di dalam konflik ini, keragaman sistem normatif dan
arti penting tanah serta sumber daya alam bagi kehidupan sosial dan ekonomi (pada umumnya),
maka tidaklah mengejutkan bila banyak aktor dan lembaga yang terlibat di dalam kasus–
kasus tersebut. Kehadiran berbagai forum yang mampu menyuarakan dan menyelesaikan
masalah—meliputi forum adat, pertemuan masyarakat dan agama, desa setempat, pemerintah
Kecamatan, dan pengadilan negeri—bermakna proses penyelesaian masalah tidak jelas.
Disamping itu, tidak ada hirarki untuk naik banding, dan meskipun pengadilan biasanya
bertanggung jawab atas hal ini, seperti pada kasus warisan di Sikka, namun tak jarang mereka
tidak mampu menegakkan hukum.32
Keragaman dalam Transisi
Tema kedua yang tercermin dari studi kasus, seperti juga data media massa, adalah ragam
konflik tanah dan sumber daya alam. Jika kita menggunakan konflik-konflik sebagai sebuah
lensa untuk menyorot perubahan sosial, politik dan ekonomi, maka keragaman ini menunjukkan
tidak hanya kecepatan perubahan, tetapi yang lebih penting hal itu juga menunjukkan arah
perubahan. Indonesia sedang mengalami transisi sosial, politik dan ekonomi sebagai akibat
dari kombinasi proses yang kompleks di tingkat lokal, nasional dan internasional. Transisi
yang relevan dengan (konflik) tanah dan sumber daya alam meliputi: meningkatnya
individualisme (pembagian berdasarkan teritorial) dan pengaturan negara atas pengelolaan
sumber daya alam; desentralisasi politik, pembuatan kebijakan dan pelayanan publik;
menguatnya proses demokratisasi politik dan masyarakat.
Pergeseran ke arah kepemilikan individu dan sistem administrasi yang dikelola pemerintah
menjadi perhatian karena terkait dengan masalah tanah, selain juga sumber daya alam lainnya.33
Meskipun kontroversial, namun hal inilahh yang coba dipaksakan kepada Indonesia oleh
lembaga donor–donor besar, termasuk Bank Dunia.34 Jadi upaya untuk mencapai tujuan
transisi yang diinginkan bukanlah suatu fait accompli. Studi kasus ini menunjukkan bahwa
tidak hanya ragam sistem dan mekanisme lokal saja yang perlu diakomodasi, tetapi juga
ragam transisi ini (sebagai suatu proses terus menerus) diakomodasi dan ditolak oleh mekanisme
dan lembaga yang ada.
Kasus dari Jawa Timur menunjukkan bahwa kebanyakan konflik tanah dan sumber daya
alam memiliki ciri ruang lingkup terbatas pada unit individu atau keluarga, ketika kepemilikan
32 Yang bukanlah hal yang buruk melihat kerentanan mereka terhadap korupsi, umumnya lihat World
Bank (2004); dan Asia Foundation (2001).
33 Konferensi telah dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2004 yang didanai oleh DfID telah
diselenggarakan oleh Yayasan KEMALA, dan akan langsung membahas masalah-masalah tersebut:
Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Sumber daya di Masa Indonesia yang
Sedang Berubah: Mempertanyakan Jawaban–jawaban
34 Lihat Dokumen Informasi Proyek terbaru (Project Information Document), World Bank (2003).
13
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
dan penggunaan dicampur aduk,35 dan perwakilan pemerintah seringkali berperan dalam
resolusi konflik (kecuali Kyai di dalam kasus warisan). Tetapi di Flores, khususnya di beberapa
daerah terpencil di Kabupaten Manggarai, seringkali tanah dan sumber daya alam dikelola
secara komunal dan dibedakan antara hak pemilikan dan penggunaan; dan terdapat berbagai
norma dan lembaga yang mengelola penyelesaian pertikaian. Studi kasus dan data media
massa menunjukkan bahwa perbedaan persepsi terhadap tanah dan sumber daya sangat
menentukan apakah konflik diselesaikan dengan kekerasan. Di Jawa Timur yang tanah dan
sumber daya alam dianggap sebagai harta yang berharga, konflik tanh dan sumber daya alam
justru tidak menimbulkan kekerasan. Sedangkan di Flores yang kepemilikan tanah dan sumber
daya alam sangat terkait dengan identitas kesukuan dan komunal, menyebabkan konflik ini
cenderung menimbulkan kekerasn. Kasus studi juga menunjukkan bahwa keragaman yang
sangat besar dalam hal aksesibilitas dan kecocokan dari sistem pengelolaan negara baik
pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian tanah dan sumber daya alam atau BPN (Badan
Pertanahan Nasional) untuk sertifikasi tanah. Dalam studi kasusnya, Luthfi Ashari berargumen
bahwa pengadilan seringkali digunakan untuk menyelesaikan pertikaian tanah, tetapi hanya
sedikit orang—meskipun semakin banyak—yang tanahnya disertifikasi oleh BPN. Di Flores,
keputusan pengadilan dan akta BPN lebih menguntungkan dan relatif relevan dengan sistem
lokal yang ada.
Desentralisasi memberikan hak dan cara kepada masyarakat asli daerah untuk menuntut kontrol
atas tanah dan sumber daya alam.36 Pada studi kasus Gejolak di Perbatasan, seorang
warga desa di Flores menyetujui pembunuhan massal di Sampit, Kalimantan Tengah dan
tuntutan masyarakat Dayak atas hak asli (indigenousness) serta hak untuk mengatur diri
mereka sendiri. Kata-kata seperti ini memperlihatkan potensi bahaya dari kekuasaan seperti
itu.
Dalam memaknai proses transisi (sebagai tugas yang tak terelakkan dalam pembangunan
yang premis dasarnya adalah perubahan), kita mudah tergoda untuk mengadopsi konsep
modernisasi. Hal ini memudahkan kita memahami tujuan pembangunan (yaitu bentuk “modern”
yang sudah ada) dan menjelaskan keragaman (yaitu kecepatan transisi). Namun seperti
ditunjukkan oleh studi kasus, penting bagi kita untuk tidak memahami “tujuan pembangunan”
sebagai bentuk pasti yang tidak dapat diubah (misalnya sistem pengelolaan tanah perorangan
yang diatur dan dilaksanakan oleh negara). Model penyederhanaan pemikiran ini, terutama
jika dibarengi dengan rancangan strategi dan implementasi yang tidak membumi di tingkat
lokal, akan mendorong intervensi yang tidak mempertimbangkan secara matang upaya
mencapai tujuan yang didambakan dan juga ada tidaknya tujuan yang lebih cocok. Pendekatan
seperti itu gagal mengidentifikasi kemampuan masyarakat (yang tepat) untuk memilih dan
menolak hal yang mereka inginkan, dan sejauh mana kecenderungan dan pengetahuan lokal
menjadi dasar bagi perencanaan sistem yang lebih baik.
35 Atau hak penggunaan, dalam arti pembagian zona/daerah dilaksanakan oleh pemerintah.
36 Mengenai desentralisasi dan dampaknya terhadap konflik lihat McCarthy (2004).
14
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
Kompleksitas konflik tanah dan sumber daya alam di Indonesia serta keragamannya
menyulitkan kita membuat kesimpulan yang tepat dan mudah dicerna oleh kebijakan. Namun
studi kasus ini menerangkan proses yang berhasil dan tidak.
Konsekuensinya Bagi Intervensi Kebijakan
Secara garis besar, studi kasus menunjukkan agar sebuah intervensi berhasil maka upaya
tersebut harus bersifat konsultatif, melibatkan mekanisme formal dan informal serta
mempertimbangkan perbedaan kekuasaan pihak-pihak yang bersengketa. Hal tersebut relevan
dengan intervensi untuk menemukan strategi pencegahan dan penyelesaian konflik serta strategi
pengelolaan tanah dan sumber daya alam.
Tulisan Peter Manggut (Bukan Sekedar Hak Ulayat) dan Agus Mahur (Siapa yang Memiliki
Tanah Mbondei?) menunjukkan kegagalan upaya penyelesaian konflik oleh LSM dan forum
adat karena tidak sepenuhnya melibatkan seluruh stakeholders yang memiliki kepentingan.
Juga, studi kasus Peter dan lainnya oleh Agus (Tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa),
menunjukkan bahwa intervensi penyelesaian tidak boleh terlalu terfokus pada penyelesaian
hak pemilikan sehingga mengorbankan kepentingan yang lebih luas seperti hak penggunaan
atau pengelolaan tanah. Dua kasus dari Jawa Timur oleh Luthfi Ashari dan Mohammad Said,
menggambarkan kesuksesan peran mediator informal seperti Kyai dan Klebun. Di Flores
pihak-pihak seperti gereja, camat, kades, dan tokoh masyarakat, semuanya juga terlibat dalam
upaya-upaya penyelesaian meskipun kurang berhasil.
Tetapi partisipasi tidak selalu membuahkan kesepakatan yang “adil”. Pada kasus Siapa yang
Memiliki Tanah Mbondei? dan Sengketa Antara Satar Teu dan Kadung, di dalam
pertemuan dihadiri oleh semua pihak, pihak yang lebih lemah menyetujui kesepakatan yang
diajukan mediator pihak ketiga. Namun setelah pertemuan, mereka membatalkan kesepakatan
dengan mengatakan bahwa pertemuan tersebut bias dan tidak sesuai dengan kepentingannya.37
Dengan mengesampingkan siapa yang benar dan yang salah dari pihak yang bersengketa,
maka proses yang partisipatif tidak menjamin keberhasilan penyelesaian apabila tidak ada
mediator pihak ketiga yang memiliki legitimasi. Hal ini terjadi karena proses partisipatif dengan
sendirinya menghilangkan perbedaan kekuasaan, melindungi pihak yang lemah, dan menjauhkan
politik lokal dari proses mediasi. Sebaliknya, siapa saja dapat mempertanyakan apakah
pihak luar memiliki posisi yang legitimate untuk terlibat dalam politik, norma, dan lembaga
lokal.
Seringkali ada usulan agar sengketa tanah dan sumber daya alam diselesaikan di tingkat desa.
Alasannya intervensi yang mempertimbangkan faktor lokal akan mempertimbangkan norma
dan kepentingan lokal. Kasus yang kami sajikan disini menunjukkan bahwa meskipun kasus–
37 Untuk diskusi umum, lihat Edmunds and Wollenberg (2002).
15
Pendahuluan
Penulis: Samuel Clark
kasus tersebut berbasis lokal akan tetapi seringkali konflik tanah dan sumber daya melibatkan
norma dan kepentingan lembaga yang lebih luas. Studi kasus yang ditulis oleh Cici Novia
Anggraini, Agus Mahur dan Peter Manggut memperlihatkan kepentingan dan agenda yang
lebih luas dari pemerintah, LSM, dan gereja. Meningkatnya mobilitas manusia (lihat kasusnya
Mohammad Said dan Stanis Didakus) yang disertai dengan meningkatnya heterogenitas
penduduk juga dapat menyebabkan proses–proses lokal tidak berguna. Pembuatan keputusan
lokal tidak secara otomatis membuahkan hasil yang adil; proses lokal juga dapat dipengaruhi
kekuasaan dan ketimpangan.38
Hampir semua studi kasus menunjukkan berbagai bentuk keterlibatan dari aparat pemerintah.
Seringkali masyarakat setempat secara sukarela meminta bantuan dari luar agar dapat
menemukan pihak ketiga yang netral dan memiliki legitimasi. Hal ini dapat dilihat pada kasus
Sengketa Antara Satar Teu dan Kadung, dimana Kepala Desa dan Camat diminta untuk
membantu melakukan mediasi secara informal. Hal serupa juga terlihat pada kasus Gejolak
di Perbatasan. Kecepatan respon on negara terhadap permohonan untuk membantu
masyarakat seringkali menjadi faktor kunci apakah sengketa tanah dan sumber daya alam
akan menyebar dan menjadi konflik komunal yang lebih luas. Studi kasus Bukan Sekedar
Hak Ulayat menunjukkan bahwa pada awalnya Camat mengabaikan permohonan tersebut
walaupun Bupati telah berkunjung dan berjanji untuk mengirimkan Camat. Seringnya konflik
tanah dan sumber daya alam di Indonesia serta kecenderungan untuk diselesaikan oleh proses
informal (tanpa pengadilan), terutama di daerah seperti Flores, menunjukkan bahwa diperlukan
mekanisme yang khusus dan transparan untuk menjembatani pihak informal dengan formal.39
Studi kasus di dalam kompilasi ini memberikan pemahaman yang kompleks mengenai konflik
tanah dan sumber daya alam di Indonesia bagi para pembaca yang teliti. Secara umum, studi
kasus ini juga menunjukkan banyaknya hal yang dapat dipelajari dari penelitian kualitatif dan
mendalam di lapangan (in–depth field research) tentang berbagai masalah dan isu yang biasanya
dihadapi dengan pendekatan teknokratis dan terlalu umum. Editor mengakui bahwa tiga
tema besar yang diangkat di dalam kompilasi belum lengkap, sehingga dengan berbekal
pengalaman masing–masing dan mengekplorasi studi kasus ini maka pembaca akan dapat
menemukan tema–tema, pendekatan, dan kesimpulan baru.
38 Lihat juga, Bowen, (2003).
39 Contoh yang baik adalah kesuksesan Mekanisme “Tim 13” di Lampung. Lihat Rinaldi (2003).
16
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Sengketa Tanah Dang Lebar
Ringkasan
Sengketa tanah Dang Lebar adalah konflik tanah yang melibatkan kerabat. Konflik
terjadi karena kebiasaan masyarakat melakukan transaksi secara lisan. Konflik
muncul pada generasi kedua pemilik tanah. Konflik tanah yang banyak terjadi
diantara kerabat dan antar tetangga telah menyebabkan renggangya hubungan
antar mereka. Kyai atau Klebun memiliki peran strategis dalam resolusi konflik.
1. Konflik Tanah: Konflik Paling Sering Muncul Di Masyarakat
Kasus tanah adalah kasus yang sering muncul di desa-desa di Madura.1 Di setiap desa pasti
selalu ada kasus sengketa tanah. Biasanya, konflik tanah muncul dalam bentuk sengketa batas
tanah dan sengketa warisan. Konflik tanah biasanya muncul karena alasa-alasan yang
mencakup: kebiasaan melakukan jual-beli tanpa bukti tertulis, lemahnya administrasi pertanah
di tingkat desa, dan konflik karena memperebutkan warisan.2
Berbeda dengan konflik yang disebabkan karena gangguan terhadap perempuan, konflik
tanah biasanya tidak menimbulkan kekerasan.3 Hal itu dapat terjadi karena nilai yang dipegang
oleh masyarakat bahwa tanah adalah soal harta dan ada gantinya, sehingga tidak perlu terlalu
dipermasalahkan dengan kekerasan.4 Sedangkan konflik karena perempuan selalu
menimbulkan kekerasan (carok)5 karena gangguan terhadap perempuan merupakan bentuk
pelanggaran tengka (harga diri) yang tertinggi.6
Dalam konflik tanah, masyarakat sering menggunakan mekanisme resolusi konflik seperti
pembagian tanah secara faraid (pembagian warisan menurut hukum Islam), penyelesaian
sengketa berdasarkan hukum positif (hukum yang berlaku) atau penyelesaian masalah
berdasarkan buku catatan desa (Petok C).7 Kebanyakan kasus tanah cukup diselesaikan di
tingkat Desa. Jika tidak tercapai kesepakatan di tingkat desa, maka sengketa akan diteruskan
1 Diary Luthfi, Palengaan Daya; Wawancara No. 724, Klebun.
2 Wawancara No. 700, Mantan Pangbahu Orang Luar.
3 Wawancara No. 735, Pamong Desa, Panagguan.
4 Wawancara No. 771, Kyai.
5 Wawancara No. 715, op cit; Wawancara No. 721; Wawancara No. 724.
6 Wawancara No. 728, Pemuda; Wawancara No. 715, Polisi; Wawancara 722, Panbahu.
7 Wawancara No. 761, Mantan Ketua LKMD; Wawancara No. 750, Mantan FD; Wawancara No. 714,
Lawan Politik Kleybun.
17
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
sampai ke tingkat Camat dan pengadilan. Oleh karena itu, konflik tanah adalah jenis konflik
di masyarakat Madura yang biasanya tidak berhenti di tingkat desa melainkan dapat dilanjutkan
ke tingkat kecamatan atau bahkan pengadilan.8
Dalam mekanisme resolusi konflik tanah, Kyai dan Klebun memiliki peran yang sangat sentral.
Kyai berperan dalam resolusi konflik tanah dengan cara membagi tanah menurut ketentuan
agama Islam atau yang dikenal dengan istilah faraid. Sedangkan Klebun berperan dalam
resolusi konflik tanah dengan mengandalkan kepada kebijakannya sebagai pemimpin. Kyai
dihormati oleh masyarakat karena kebijaksanaannya di dalam penyelesaian masalah. Kyai
dianggap sebagai guru yang memberikan ilmu kepada masyarakat. Sedangkan Klebun menurut
falsafah orang Madura dianggap sebagai orang tua.9 Sehingga dengan kebijaksanaannya
Klebun bertangung jawab memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Sehingga tidaklah
mengherankan kalau salah satu indikator keberhasilan Klebun adalah kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah.10
2. Eksplorasi Kasus
Sengketa tanah antara H. Halim (pemilik tanah, pamong desa) dengan Amir (penggugat, saudara
sepupu) terjadi pada tahun 2001 di Desa Panagguan. Orang tua H. Halim dan Amir adalah
saudara sekandung. Amir mempermasalahkan status sebidang tanah yang dimiliki oleh H.
Halim. Amir melakukan klaim bahwa tanah tersebut masih dimiliki orang tuanya (Bakir) dan
seharusnya menjadi warisannya. Menurut sejarahnya tanah yang sekarang dimiliki oleh H.
Halim dulunya adalah milik orang tua Amir, namun sudah dijual atau digadaikan kepada H.
Julis (orang tua H. Halim).11
“Karena waktu itu (tahun 1961) butuh uang, Bakir (ayah Amir) menjual
bagiannya (warisan) ke Julis. Sebagian (saksi) mengatakan waktu itu bagian
Bakir hanya digadaikan, sedangkan saksi yang lain mengatakan tanah itu
dijual. Julis tidak perlu merubah kepemilikan tanah di catatan desa karena
masih tetap atas namanya ... Orang tua Bakir dan Julis tidak mengira anaknya
akan saling berebut tanah…”
Klebun, Panagguan, 8 Juli 2003
Pada tahun 2001, tanah yang dibeli dari saudara orang tuanya H. Halim tanpa menggunakan
bukti transaksi tersebut ditawar orang dengan harga 8 juta. Mendengar berita itu Amrikan,
yang baru pulang dari Jawa, mulai mempermasalahkan status kepemilikan tanahnya.
8 Wawancara No. 734, Tokoh Masyarakat.
9 Wawancara No. 748, op cit.
10 Wawancara No. 732; Wawancara No. 734.
11 Wawancara No. 732, op cit.
18
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“Pada tahun 2001, tanah yang saya miliki ditawar orang seharga 8 juta.
Padahal tahun 1961 tanah itu dibeli orang tua saya (H. Julis) seharga 60
ribu dari Bakiryah (ayah Amir). Para tetangga memfitnah dan memprovokasi
Amri kalau tanah itu sebenarnya dulunya adalah milik orang tuanya. Para
keluarga dan tetangga banyak yang memfitnah, menyuruh Amri mengambil
kembali tanah itu … setelah mendapat hasutan dari tetangga kiri-kanan,
akhirnya Amri mendatangi orang tua saya. Amri menanyakan soal tanah
itu. Oleh ayah saya Amri diberitahu kalau tanah itu sekarang sudah
diberikan kepada saya. Akhirnya Amri mendatangi saya. Amri menanyakan
apakah benar tanah itu sudah dibeli dari orang tuanya. Kalau dibeli berapa
harganya? Dia menanyakan bukti dari pembelian itu. Saya jawab tidak
ada buktinya. Dulu buktinya hanya pohon singkong saja yang ditanam di
tengah-tengah sawah. Amri tidak puas dengan jawaban saya. Menurut
Amri, paling tidak biasanya khan ada bukti cap jempol. Saya katakan saya
tidak punya bukti, tetapi saya ada saksi dari transaksi tanah itu.”
Pemilik Tanah, Panagguan, 10 Juli 2003
Konflik tanah antara H. Halim dan Amir dapat muncul ke permukaan karena tidak dilakukan
secara tertulis maka tidak jelas jenis transaksinya, apakah jual beli atau hanya sekedar gadai.
Transaksi tanah tersebut tidak memiliki bukti, sehingga ketika dipermasalahkan posisi kedua
belah pihak sama-sama meragukan. Apalagi saksi-saksi transaksi tanah tersebut sudah mati,
sehingga hanya saksi generasi kedua dari kedua belah pihak.12
Menurut informan, hal yang melatarbelakangi klaim yang dilakukan oleh Amri bukan karena
rasa iri dan provokasi orang-orang sekitarnya saja, melainkan ada masalah pribadi yang melatar
belakanginya.
“Kasus tanah muncul karena besanan (hubungan karena perkawinan)
antara Bakir dengan H. Jalenani gagal. Kegagalan itu menyebabkan Bakir
mengungkit-ungkit masalah lama … Waktu Amir berkunjung ke rumah
saudara sepupunya, dia merasa mendapatkan sambutan yang tidak baik.
Ada perkataan-perkataan keluarganya disini yang menyinggung
perasaannya. Gara-gara itu dia mengungkit masa lalu. Dia mulai mengungkit
status tanah milik orang tuanya.”
Klebun, Panagguan, 8 Juli 2003
3. Lokal Wisdom: Masalah Cukup Diselesaikan oleh Klebun
Karena tidak memiliki bukti transaksi dan Amir terus mempermasalahkanya, maka H. Halim
berinisiatif melaporkan klaim yang dilakukan oleh Amir kepada Klebun untuk mencari keadilan.
Namun, sebelum itu beberapa mediasi di tingkat dusun dilakukan terlebih dahulu.
12 Diary Luthfi, Palengaan Daya.
19
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Kotak 1: Resolusi Sengketa Tanah Dang Lebar
“Karena Amir tidak terima akhirnya saya melapor ke Pak Klebun. Amir mendatangi saya
sekali saja. Sebelumnya saya sudah tahu kalau Amir mau mengambil tanah itu. Seminggu
kemudian Pak Klebun memanggil saya dan Amir. Pertemuan diadakan di rumah Pak
Klebun. Hadir waktu itu kedua belah pihak. Saya membawa saksi H. Ali dan Mubaid.
Sedangkan Amir membawa Mushar dan Masrik ... Pertemuan di lakukan pada jam 7 pagi di
rumah Pak Klebun. Pada pertemuan itu saya menceritakan duduk persoalannya, demikian
pula dengan Amir. Setelah mendengar penjelasan itu maka Klebun memberikan beberapa
pertimbangan dan keputusan. Setelah mendengarkan saksi akhirnya Klebun memutuskan
bahwa tanah itu milik saya. Dan pertemuan diakhiri dengan tanda cap jempol sebagai
bukti bahwa masalah telah diselesaikan. Yang tanda tangan waktu itu saya, Amir, Klebun
dan saksi-saksi.”
H. Halim/Pemilik tanah, 10 Juli 2003
“Di tingkat bawah (dusun) ada 3 kali pertemuan di rumah H. Ali (kakak H. Halim). Acaranya
menjelaskan posisi tanah. Karena dibawah sudah tak teratasi maka masalah dibawa ke
tingkat desa…. Untuk menyelesaikan masalah, saya mengacu kepada dokumen yang
ada atas nama H. Julis. Amir mempermasalahkan terus warisan yang atas nama H. Julis
saja. Bapaknya mustinya juga disebut namanya … keterangan saksi agak membingungkan.
Mereka tidak dapat sepakat dengan satu keputusan. Nampaknya dulu belinya secara
tidak transparan. Dulu tanah kelihatannya dijual saat butuh uang dan maunya ditebus lagi
kalau ada uang. Waktu itu memang belinya murah. Itu pengakuan pihak Amir. Kalau
pengakuan pihak H. Halim transaksinya adalah penjualan … ada saksi banyak. Saksinya
ngambang (penuh kontroversi). Karena kedua belah pihak sama-sama keponakannya …
suasana pertemuan tegang. Amir mengancam carok di forum saya. Lalu saya bagi tanah
itu. Sebagian dikembalikan kepada Amir sebagian tidak usah. Anggap dibagi dua. Amir
dapat 25 persen. Saya tekan dia. Kalau solusi ini tidak diterima maka tanah akan diambil
oleh desa. Mereka takut. Masyarakat banyak mendukung cara itu. Masalah selesai.”
Klebun Panagguan, 10 Juli 2003
“Dulu masalahnya tidak diselesaikan disini (di rumah Kyai). Masalah itu diselesaikan dengan
cara memberikan ganti rugi. H. Halim memberikan sejumlah uang kepada Amir sebagai
ganti rugi atas tuntutannya. Agar masalah tidak berkepanjangan, maka oleh Klebun H.
Halim diminta membayar ganti rugi kepada Amir. [Yang dimaksudkan dengan kata ganti
rugi disini sebenarnya adalah uang kompromi untuk menyelesaikan masalah karena pihak
yang menuntut merasa dirugikan haknya atau karena transaksi atas tanah tersebut memang
tidak jelas.]”
Kyai Desa, Panagguan, 16 Juli 2003
Penyelesaian soal tanah dimulai di tingkat dusun dimana kedua belah pihak yang bersengketa
bertemu. Jika tidak selesai permasalahan, dibawa ke Klebun untuk mendapatkan penyelesaian.
Untuk menyelesaikannya, Klebun akan mengacu kepada dokumen yang ada di desa yang
20
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
disebut dengan nama buku Petok C (buku catatan kepemilikan tanah).13 Di dalam buku itu
tercatat nama-nama pemilik dari tanah yang ada di desa. Penyelesaian semacam itu kadang
tidak representatif karena biasanya nama-nama yang tercantum adalah pemilik lama, sedangkan
di masyarakat posisi tanah sudah berkali-kali pindah tangan. Namun, karena kebiasaan
masyarakat melakukan transaksi tanpa bukti tertulis maka seringkali catatan di desa juga
tidak pernah di update. Inilah, yang seringkali menjadi penyebab ruwetnya penyelesaian
kasus tanah. Jika sudah demikian, maka kebijakan Klebun yang akan menjadi penentu.
4. Renggangnya Hubungan Persaudaraan
Dalam kasus tanah seringkali konflik terjadi antara saudara atau tetangga. Hal itu dapat
terjadi karena dalam kasus sengketa tanah yang saling berebut bukanlah orang lain, melainkan
antar kerabat.14 Dalam konflik tanah yang berhubungan dengan batas tanah, biasanya
permasalahan muncul antar tetangga, yaitu pemilik tanah yang saling berdekatan.15 Jika sudah
terlibat konflik, maka hubungan kekerabatan dan antar tetangga pun akan rusak.
“Hubungan antar mereka sejak kasus itu mengalami keretakan. Amri kini
pun sudah tidak tinggal disini lagi, dia ke Jawa. Kini hubungannya sangat
jauh. Hubungan silaturahmi juga mulai tidak ada, misalnya yang dibuktikan
dengan tidak saling berkunjung atu berkurangnya pertemuan. Kalau
ketemu di jalan memang masih saling menyapa hanya acuh, suasananya
sudah tidak seperti sebelumnya.”
Klebun, Panagguan, 8 Juli 2003
Meskipun konflik tanah dapat merusak interaksi sosial diantara pihak-pihak yang bersengketa,
namun jarang sekali kasus tanah yang sampai menimbulkan konflik dengan kekerasan. Hal
tersebut terjadi karena cara pandang masyarakat terhadap tanah itu sendiri.
“[Masalah tanah jarang menimbulkan carok]. Biasanya masalah tanah
yang menimbulkan carok itu terjadi di daerah pedalaman. Kalau di daerah
yang sudah maju tidak ada karena orang mengerti itu bukan masalah prinsip.
Dan biasanya kalau ribut tanah itu khan melibatkan antar keluarga sendiri.
Selain itu masalah tanah khan ada batasannya, ada aturannya sehingga
cukup diselesaikan Klebun.”
Pensiunan Guru, Proppo, 26 Juni 2003
13 Wawancara 732, op cit.
14 Wawancara No. 734, op cit; Wawancara No. 748, op cit; Wawancara No. 746, op cit.
15 Wawancara No. 734, op cit; Wawancara No. 748, op cit; Wawancara No. 746, op cit.
21
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
5. Kesimpulan
Konflik akibat rebutan tanah adalah jenis konflik yang paling sering muncul di kalangan
masyarakat Madura. Berbeda dengan konflik-konflik lainnya, biasanya konflik tidak sampai
menimbulkan konflik kekerasan.
Konflik tanah muncul karena ada perbedaan dalam hal batas tanah, beda pandangan dalam
pembagian warisan dan beda pandangan dalam bukti kepemilikan. Konflik dapat terjadi
karena lemahnya administrasi pertanahan di tingkat desa.
Jika permasalahan tanah muncul, maka penyelesaian akan dilakukan di tingkat dusun terlebih
dahulu. Jika selesai maka permasalahan akan dibawa ke Klebun. Dalam penyelesaian konflik
tanah Kyai atau Klebun memiliki peran yang sangat strategis.
Konflik tanah biasanya melibatkan konflik antar tetangga atau antar kerabat. Pasca konflik
hubungan antar pihak yang bersengketa akan renggang, tidak perduli apakah mereka memiliki
hubungan keluarga atau tidak.
22
Sengketa Tanah Dang Lebar
Dusun Dang Lebar, Desa Panagguan, Kecamatan Proppo, Kabupatan Pamekasan
Penulis: Luthfi Ashari
Peneliti: Luthfi Ashari and Mohammad Said; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Kronologi Kasus:
Sengketa Tanah Dang Lebar
Waktu Kejadian Keterangan
1961 Bakir menjual (menggadaikan) Bakir dan H. Julis adalah saudara
tanahnya kepada H. Julis seharga Rp. kandung. Penjualan (gadai) tanah tidak
65 ribu. disertai bukti transaksi.
2001 Tanah H. Halim ditawar Rp. 8 juta. Amir tersinggung dengan perlakuan H.
Amir pulang dari Jawa dan Halim karena tunangan gagal Amir
mempermasalahkan status tanah H. sedang krisis ekonomi.
Halim.
2001 H. Halim melapor ke Klebun soal Kedua belah pihak saling melaporkan
tuntutan Amir. sengketa tanahnya.
Perundingan di rumah Klebun untuk Hadir saksi dari kedua belah pihak.
menyelesaikan sengketa. Buku tanah desa digunakan sebagai
acuan.
Sengketa diselesaikan. Sengketa diselesaikan dengan cara
membagi tanah dan memberikan ganti
rugi kepada Amir.
Amir pulang ke Jawa. Hubungan
antara H. Halim dan Amir menjadi
renggang.
23
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
1 Carok adalah duel atau tantangan antara dua orang atau lebih, dengan menggunakan clurit sebagai
senjata utama mereka Pada beberapa kasus, carok berakibat satu atau lebih pelaku tewas.
2 Ungkapan ini bukan diperoleh dari wawancara dengan informan tetapi merupakan pendapat penulis
yang disarikan dari nilai-nilai dalam agama penulis.
Warisan Membawa Petaka
“Saat itu sudah menjelang sore, mau makan, nasi sudah siap, lalu datang
dari utara (desa Poreh) dan berteriak ‘Carok…Carok…Carok Bai!”1
Sanen, Saksi sengketa tanah
Ringkasan
Kasus ini merupakan kasus antar individu yang melibatkan keluarga. Namun
terbiasa disebut sebagai konflik antar desa hanya untuk memudahkan pembedaan
penyebutan pihak yang terlibat karena pihak yang terlibat tinggal di dua desa
yang berbeda.
Perselisihan mengenai kepemilikan tanah ini sebagai dampak dari proses lama
dari para sesepuh dua keluarga yang bertikai. Tidak ada bukti formal yang kuat
hanya berdasar cerita dan kesaksian orang yang tua (sepuh; maksudnya adalah
orang yang usianya tua), saksi otang tua (sepuh) sudah langka karena umur
manusia tidak bisa bertahan ratusan tahun sedangkan urusan tanah akan tetap
ada sampai bumi ini hancur.
Konflik tanah ini bukan kasus kekerasan tetapi mengarah pada kekerasan karena
ketegangan yang terjadi saat dua kelompok keluarga bertemu sudah memuncak
tetapi dapat dicegah oleh Pak Klebun Palengaan Daja.
Walaupun carok tidak sampai terjadi tetapi konflik ini belum terselesaikan karena
setelah ketegangan itu tidak ada lagi proses penyelesaian. Pak Klebun sempat
mengundang kembali dua pihak yang terlibat untuk bermusyawarah kembali tetapi
selama dua kali undangan untuk musyawarah tidak ada pihak yang hadir akhirnya
kasus ini dibiarkan begitu saja.
Penyelesaian hanya dilakukan pada tingkat desa baik pemimpin formal maupun
pemimpin informal dalam masyarakat dan tidak melibatkan pihak diluar
pemerintah desa (Pemerintah diatasnya atau kelompok lainnya).
1. Pengantar: Cermin Fenomena Buruknya Administrasi Pertanahan di
Madura
“Bumi ini bukan untuk kamu tetapi titipan untuk anak cucumu”2 ungkapan ini mungkin sangat
cocok untuk selalu didengungkan pada setiap telinga orang Madura agar mereka tidak ceroboh
dalam melakukan transaksi tanah mereka, sehingga anak cucunya tidak mengalami masalah.
24
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Sekarang kalau dapat warisan tanah bukan hanya dapatkan kekayaan tetapi ada kemungkinan
akan mendapat petaka, karena ketidakjelasan status tanah itu. Berikut ini merupakan cermin
kecil fenomena jeleknya administrasi pertanahan di Madura khususnya di pedesaan.
Kotak 1: Administrasi Pertanahan di Madura
“Ada hubungannya dengan jual-beli, dijual pada waktu dulu oleh orang bapak-bapaknya,
kalau dulu tanah itu bisa ditukar dengan jagung, sekarang oleh anak-anaknya diakui
kembali dengan alasan tanah koq hanya ditukar dengan jagung, yang beli tidak rela
tanah itu diambil lagi, kalau mau memilikinya beli lagi dengan harga sekarang”
“Masalah warisan itu tidak jadi masalah, yang banyak jadi masalah itu karena jual-beli
pada waktu dulu, tana sa lokke’ eorob jagung saganthe’ (tanah satu petak ditukar jagung
segenggam), kalau dilihat sekarang harga begitu tidak sebanding, tapi kalau dulu itu
sesuai karena disini dulu itu sulit, untuk makan saja susah, sehingga tanahpun ditukar
makanan”
“Dulu tanah itu tidak berharga, disini dulu sulit, sehingga tanah dua kotak ditukar dengan
singkong satu keranjang.”
“Tanah bisa ditukar kopi, tiap hari minum kopi tidak bisa bayar akhirnya tanahnya
diserahkan.”
Peserta FGD, Laki-laki, 05 Mei 2003
Tanah menjadi salah satu duri dalam kenyamanan hidup bermasyarakat di Madura. Tidak
sedikit perselisihan yang terjadi karena urusan tanah. Fenomena ini merupakan sebuah bentuk
konsekuensi dari kelalaian para orang tua di Madura dulu. Kasus perebutan tanah yang
terjadi di Madura merupakan akibat dari jeleknya administrasi pertanahan di pedesaan di
Madura.3 Andaikan dulu para sesepuh orang Madura sangat memperhatikan aturan dalam
proses pemindahan hak milik atas tanah maka mungkin tidak akan terjadi banyak masalah
pada generasi sekarang mengenai hak milik atas tanah mereka.
“Keturunan yang memiliki tanah mengklaim kalau tanah itu milik Bapaknya
dan dia mempertanyakan bukti kalau si orang yang menempati tanah itu
merasa berhak atas tanah itu, si orang yang sekarang menguasai tanha
tidak bisa menunjukan buktinya, maka terjadilah sengketa.”
Abdul Makmur, Tetua Desa, 2 Mei 2003
Setiap ada kasus tanah hampir tidak ada bukti formal yang dapat dijadikan acuan,4 karena
biasanya orang Madura melakukan transaksi jual beli tanah hanya berdasar saling percaya
dan berdasar saksi hidup. Hal ini merupakan kondisi yang rawan, karena umur manusia
bukan ratusan tahun, kalau saksi hidup itu meninggal maka hilang pula bukti transaksinya.5
3 FGD laki-laki No. 004, 5 Mei 2003, mengenai bentuk konflik yang sering terjadi di desa dan penyebabnya.
4 Format Studi Kasus No. 043b.
5 Ibid.
25
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“Pada jaman Belanda dulu nenek moyang dari orang yang bersengketa
tanah melakukan transaksi jual beli namun itu dilakukan atas dasar
kepercayaan tanpa bukti”
Abdul Makmur, Tetua desa, 2 Mei 2003
2. Awal Pecahnya Konflik Demi Tanah Warisan
Tujuh tahun yang lalu (sekitar tahun 1996) Sammat (dari desa Palengaan Daja) menggugat
Sardiman (dari desa Poreh) bahwa tanah yang sekarang dikelola oleh Sardiman adalah hak
miliknya.6 Alasannya adalah bahwa tanah itu merupakan milik dari bibinya yang tidak memiliki
keturunan.
“Latar belakang permasalahan tanah itu dulu ada orang Poreh (orang tua
Sardiman) kawin dengan orang Palengaan Daja (bibi dari Sammat), tetapi
dari perkawinan itu tidak punya keturunan, kemudian istrinya meninggal.
Selama perkawinan itu sang istri memiliki tanah warisan dari orang tuanya.
Setelah sang istri meninggal tanah yang asalnya milik sang istri tetap
digarap oleh sang suami, kemudian sang suami menikah lagi dengan wanita
kedua, punya anak … sekarang tanah itu mau diambil oleh Sammat (misan
istri pertama), tetapi anak istri kedua yang mewarisi tanah itu tidak
mengijinkan, karena menganggap itu tanah orang tuanya”
Rahmat, saksi, 3 Mei 2003
Sardiman ditemani saudara sepupunya (Jaelani) menolak untuk memberikan tanah itu dengan
alasan bahwa tanah itu adalah warisan dari orang tuanya.7 Dan menurut pihak Sardiman juga
bahwa tanah itu dulunya memang milik bibinya Sahrawi tetapi dulu katanya tanah itu telah
dijual kepada orang tua Sardiman dengan dibelikan seekor sapi.8 Karena dalam kurun waktu
yang disepakati tidak bisa ditebus maka tanah itu menjadi hak milik dari orang tua Sardiman
(dari desa Poreh).9 Namun dalam Petok C status dari tanah yang disengketakan itu masih
atas nama pihak dari Palengaan Daja, belum ada proses balik nama walaupun dulu katanya
tanah itu pernah dijual.10
“Di Petok C, tanah itu atas nama Palengaan Daja namun dulu katanya
sudah dijual tetapi tidak dibaliknamakan. Jadi secara hukum sebenarnya
posisinya lebih kuat pihak Palengaan Daja (Sammat).”
Marsuid, Klebun, 5 Mei 2003
6 Format Studi Kasus No. 050.
7 Format Studi Kasus No. 050.
8 Ibid.
9 Ibid.
10 Format Studi Kasus No. 039b.
26
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Karena saat menemui Sardiman tidak bisa memperoleh tanah itu, akhirnya Sammat melapor
ke Pak Klebun bahwa tanahnya yang berada di dusun Tenggina Dua telah direbut oleh Sardiman
(tinggal di desa Poreh).11 Sebelum melapor Sammat sempat memasang patok (batas tanah
dengan kayu atau bambu yang ditancapkan) di lokasi sebagai bukti bahwa tanah itu adalah
miliknya.12
Setelah pemasangan patok itu terjadi cekcok tetapi tidak sampai bentrok hanya bertengkar
mulut.13
“Dulu seperti saat sekarang ini (sekitar pukul 14.00 WIB dan gerimis, ini
seperti saat peneliti melakukan wawancara) saya (Sanen) disinggahi
Sammat dan Husen (keluarga Sammat) diajak memasang patok dengan
bambu yang dicat merah … setelah itu (pemasangan patok) terjadi cekcok.”
Sanen, Saksi, 5 Mei 2003
3. Penyelesaian Sengketa Cluritpun Ikut Musyawarah
Untuk menyelesaikan kasus itu karena sudah ada laporan, Pak Klebun memanggil dua pihak
yang bertikai tetapi Sardiman tidak pernah hadir memenuhi panggilan itu. Pertemuan
direncanakan di rumah pak Klebun, dalam pertemuan itu tidak ada penyelesaian.14 Kemudian
pertemuan kedua dilakukan di lokasi tanah yang disengketakan namun juga belum ada
kesepakatan, antar dua pihak tidak ada kesepahaman dalam masalah ini.15
“Dalam penyelesaian kasus ini semuanya ada lima kali pertemuan, yang
pertama dilakukan dirumah pak Klebun tetapi tidak ada kesepakatan,
kemudian pertemuan kedua dilakukan di lokasi karena Pak Klebun langsung
turun ke lokasi, tetapi juga tidak diperoleh penyelesaian.”
Rahmat, Saksi, 3 Mei 2003
Untuk proses penyelesaian berikutnya yaitu pertemuan ketiga dilakukan di Dusun Tenggina
Dua, pertemuan dilakukan di dusun ini agar dua pihak dapat hadir dalam musyawarah karena
lokasi ini merupakan lokasi tengah-tengah antara pihak Palengaan Daja dengan pihak Poreh.16
Pertemuan bertempat di rumah seorang tokoh masyarakat dan juga dulu sebagai Kepala
Dusun (Hamid Pak Bahria).17
11 Format Studi Kasus No. 050.
12 Format Studi Kasus No. 054.
13 Ibid.
14 Ibid.
15 Format Studi Kasus No. 054.
16 Format Studi Kasus No. 050 dan No. 039b.
17 Ibid.
27
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Pertemuan di rumah Pak Hamid dilakukan siang hari, pihak dari Poreh tidak langsung hadir,
baru saat hari sudah sore mereka datang.18 Waktu itu mereka (pihak Poreh) datang saat
forum akan makan sore, tiba-tiba mereka datang dengan berteriak-teriak carok.19 Sekitar
enam orang datang, namun semakin bertambah banyak dengan membawa clurit mendatangi
rumah Pak Hamid.20 Menurut informan lain jumlah orang yang datang mencapai 20 orang.21
Jumlah ini tidak pasti karena tiap informan berbeda, tetapi dapat disimpukan dari beberapa
informasi bahwa jumlah orang yang terlibat bisa mencapai 20 orang karena yang membawa
massa itu bukan hanya pihak dari desa Poreh tetapi juga pihak dari Palengaan Daja, sejak
siang pendukung dari pihak Palengaan Daja berada diluar pagar rumah Pak Hamid.22 Hal itu
kemungkinan benar karena tidak hanya dari pihak Poreh saja tetapi pihak dari Palengaan
Daja juga banyak jumlahnya.23
“Saat itu sudah menjelang sore, mau makan, nasi sudah siap, lalu datang
dari utara (desa Poreh) dan berteriak ‘Carok…Carok…Carok Bai!’(carok
… carok … carok saja!), ada sekitar enam orang dengan membawa clurit”
Sanen, Saksi, 5 Mei 2003
“… tahu-tahu dari Poreh datang bawa clurit, sekitar 20 orang membawa
clurit, massa terus berdatangan dan akhirnya semakin banyak….”
Marsuid, Klebun/Mediator, 5 Mei 2003
Dalam pertemuan itu semua pihak yang berselisih saling berbicara dengan suara keras dan
nyaring dan dua pihak sudah berhadapan.24 Kalau saja Pak Klebun waktu itu tidak disana
dan tidak langsung terjun dalam kerumunan dua kelompok yang sudah bersitegang itu mungkin
carok akan terjadi.25 Karena sejak baru datang orang Poreh sudah berteriak-teriak
“carok…carok….carok saja!”26 Pak Klebun memberikan pengertian pada dua belah pihak
dan meminta agar tidak melakukan carok demi kebaikan bersama dan mengajak untuk tetap
diselesaikan dengan damai.27 Pak Klebun meminta agar clurit dari semua pihak diserahkan
sebagai niat baik dan orangnya semua diminta membubarkan diri.28 Akhirnya mereka dapat
dilerai/dipisah dan carok dapat dicegah. Disinilah nampak bagaimana Klebun punya kekuasaan
dan kewibawaan di depan warganya.
18 Ibid.
19 Format Studi Kasus No. 054.
20 Ibid.
21 Format Studi Kasus No. 039b.
22 Format Studi Kasus No. 054.
23 Format Studi Kasus No. 039b dan No. 054.
24 Format Studi Kasus No. 050.
25 Format Studi Kasus No. 039b.
26 Format Studi Kasus No. 054.
27 Format Studi Kasus No. 039b dan No. 054.
28 Format Studi Kasus No. 054 dan No. 039b.
28
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“Akhirnya clurit dirampas oleh Pak Klebun dan dibuang ke alas (hutan).”
Sanen, Saksi, 5 Mei 2003
“…terus saya lari pergi ke orang yang berkerumun yang akan bercarok …
waktu itu orang dari desa Poreh berhadap-hadapan langsung dengan
pendukung dari Palengaan Daja. Sewaktu hampir mau carok saya melompat
pergi ke kerumunan orang itu yang berteriak carok-carok. Akhirnya saya
ambil senjata tajamnya seperti clurit dan pisau saya amankan”
Marsuid, Klebun/ Mediator, 5 Mei 2003
“Setelah saya temui kedua belah pihak akhirnya mereka mau pulang ke
rumah masing-masing, carok tidak sampai terjadi, saya kumpulkan semua
cluritnya, ada satu tumpuk”
Marsuid, Klebun/Mediator, 5 Mei 2003
Dalam pertemuan itu juga hadir dari pihak kecamatan tetapi itu bukan diundang secara formal,
yang datang waktu itu adalah Pak Rangga (Sekretaris Kecamatan).29 Menurut Pak Klebun,
Pak Rangga datang hanya karena mereka (Pak Klebun dan Pak Rangga) teman baik sehingga
Pak Rangga ikut hadir dalam pertemuan waktu itu.30
“Polisi, Kyai, Camat dan Badan Pertanahan tidak ikut menyelesaikan, hanya
diatur oleh desa saja.”
Rahmat, Saksi, 3 Mei 2003
“Waktu kejadian itu tidak ada polisi.”
Sanen, Saksi, 5 Mei 2003
Jadi dalam mekanisme penyelesaian konflik ini bisa dikatakan tidak sampai melibatkan pihak
kecamatan atau tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.31 Penanganan hanya ditingkat
pemerintah desa dan juga melibatkan pemimpin informal desa sebagai Tetua Desa yang
dipercaya masyarakat desa sebagai orang yang tahu dan faham tentang sejarah kepemilikan
tanah di desa Palengaan Daja.32
“Tapi kalau urusan peta tanah, Klebun disini tidak tahu yang tahu itu
orang-orang yang sudah sepuh (tua), seperti pak Dul Makmur itu yang
faham urusan tanah di Angsoka Timur A, Tenggina 1 dan Tenggina 2.”
Peserta FGD Laki-laki, 5 Mei 2003
29 Format Studi Kasus No. 039b dan No. 054.
30 Format Studi Kasus No. 039b.
31 Format Studi Kasus No. 050 dan No. 054.
32 Format Studi Kasus No. 050, pemimpin informal yang dipercaya masyarakat ini adalah Pak Abdul
Kramat, yang memang sudah lama (puluhan tahun) menangani urusan pertanahan di desa Palengaan
Daja, baik saat sebagai Sekretaris Desa ataupun sampai saat ini tetap sering dimintai bantuannya oleh
masyarakat untuk menyelesaikan masalah tanah.
29
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Setelah kejadian itu tetap diupayakan proses penyelesaian terhadap sengketa tanah itu.33
Pak Klebun masih melakukan pemanggilan terhadap dua pihak untuk melanjutkan musyawarah
tetapi pihak dari Poreh tidak menanggapi panggilan itu sehingga sampai saat ini belum ada
penyelesaian atas kasus.34 Setelah kejadian itu (ketegangan di rumah Pak Hamid) ada dua
kali undangan dari Pak Klebun untuk musyawarah.
“Pertemuan keempat dan kelima tidak terlaksana karena pihak-pihak yang
dipanggil tidak mau hadir … setelah dipanggil dua kali tidak ada yang
hadir akhirnya tidak ada apa-apa lagi…”
Rahmat, Saksi, 3 Mei 2003
Dalam penyelesaian kasus tanah ini tidak melibatkan Kepala Desa Poreh karena lokasi dari
tanah yang menjadi kasu berada dalam wilayah desa Palengaan Daja, hanya saja orang atau
pihak yang bertikai salah satunya bertempat tinggal di desa Poreh. Dan kasus ini bukan kasus
pertikaian antar desa sehingga tidak sampai melibatkan dua Kepala Desa.35
Sampai sekarang belum ada penyelesaian (lihat Kotak 2), tanah tetap dikuasai oleh pihak
desa Poreh (Sardiman) bahkan sekarang ada kabar bahwa tanah itu sudah dibagi dua
antaar Sardiman dengan saudara sepupunya (Jaelani).36 Sammat (dari desa Palengaan
Daja) tidak mendapat bagian apapun dari tanah itu.37
Kotak 2: Keadaan Konflik Saat Ini
“Setelah itu saya tidak menindaklanjuti, kedua belah pihak tidak ada lanjutnya, tahu-tahu
tanahnya dikerjakan oleh pihak yang dari Poreh…”
“Setelah itu sama sekali tidak ada dari pihak yang bersengketa, kabarnya kemudian
tanah itu dibagi dua begitu saja oleh orang Poreh”
Marsuid, Klebun Mediator, 5 Mei 2003
“Sampai sekarang sengketa itu belum ada penyelesaian, tanah menjadi milik Saliman”
Sanen, Saksi, 5 Mei 2003
33 Format Studi Kasus No. 050.
34 Format Studi Kasus No. 039b; No. 050; dan No. 054.
35 Dari analisa penulis, dengan memperhatikan kontek konflik yaitu bahwa konflik ini terjadi dalam satu
wilayah kekuasaan (obyeknya/tanah yang disengketakan), karena informasi dari lapangan kurang
mendukung analisa ini.
36 Format Studi Kasus No. 039b; No. 050; No. 54.
37 Format Studi Kasus No. 039b; No. 050; dan No. 054.
30
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“Setelah dipanggil dua kali oleh Pak Klebun tidak ada yang hadir, akhirnya tidak ada apaapa
lagi, tahu-tahu terdengar kabar tanah itu sekarang dibagi dua antara Saliman dengan
Ma’enten (sepupu dari Saliman yang ikut membela mempertahankan tanah itu), Sammat
tidak mendapat bagian apa-apa, sampai sekarang belum ada penyelesaian….”
Rahmat, Saksi, 3 Mei 2003
Sebelumnya (setelah musyawarah ketiga yang terjadi ketegangan) sebenarnya tanah yang
menjadi sengketa sempat dikosongkan dan dibiarkan tidak ada penggarapan lahan.38 Namun
itu tidak bertahan lama karena pihak dari Poreh sudah menggarap tanah itu lagi dan bahkan
sudah dibagi menjadi dua antara Sardiman dan Jaelani (semuanya pihak dari desa Poreh).39
Proses mediasi yang dilakukan oleh Klebun dan Tetua Desa tidak berhasil menyelesaikan
sengketa tanah ini. Tetapi bukan berarti Klebun dan Tetua Desa tidak mampu karena kalau
kita lihat memang dari dua pihak yang bertikai tidak ada tindak lanjut dan saat direncanakan
akan dilakukan musyawarah lanjutan dua pihak yang bertikai tidak ada yang datang. Bukan
berarti Klebun tidak peduli pada permasalahan yang dihadapi warganya tetapi kalau tidak
ada iktikad baik dan kemauan dari pihak yang bertikai tidak mungkin seorang Klebun memaksa
warganya untuk penyelesaian sengketa yang dihadapinya. Kalau nantinya pihak-pihak yang
bersengketa datang kembali kepada Klebun minta untuk diselesaikan maka sengketa ini akan
dibahas kembali.
4. Kesimpulan
Permasalahan tanah di Madura banyak terjadi karena lemahnya administrasi pertanahan
khususnya di daerah pedesaan. Hal ini bukan hanya karena badan pertanahan yang patut
disalahkan tetapi juga faktor manusianya dan mungkin kebiasaan yang membentuk pribadipribadi
yang tak peduli pada pentingnya adminstrasi pertanahan.
Untuk penyelesaian akan selalu mengalami kesulitan apabila dilakukan dengan berdasarkan
bukti formal karena akan sangat langka untuk bisa mendapat barang bukti formal itu. Sejak
dulu jarang orang pedesaan Madura melakukan transaksi dengan adanya bukti formal, biasanya
hanya dengan saling percaya dan saksi hidup. Mungkin semasa saksi hidup itu ada tidak akan
muncul banyak masalah tetapi umur manusia tidak sebanding dengan umur guna tanah. Manusia
jarang sampai ada yang berumur ratusan tahun, sedangkan umur guna tanah bisa ribuan tahun
asalkan Tuhan belum hancurkan tanah itu atau telah berakhir kontrak bumi untuk menjadi
tempat bermain manusia sebelum menghadap Tuhannya lagi.
38 Format Studi Kasus No. 039b.
39 Format Studi Kasus No. 039b.
31
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Penyelesaian kasus tanah akan sulit kalau pihak yang bersengketa saling tidak mengalah dan
menyangkut hak milik. Mungkin akan lebih mudah kalau diselesaikan dengan jalur hokum
formal tetapi mungkin jalan ini akan membuat satu pihak menjadi sakit hati. Jalur hukum
formal juga akan menyebabkan salah mengambil keputusan karena hanya berdasar bukti
formal padahal orang Madura memiliki tanah banyak yang tidak punya bukti formal walaupun
tanah itu diperoleh secara sah karena dibeli dengan akad kesepakatan.
Menurut saya solusi tetap harus dengan penyelesaian informal walaupun ini akan sangat sulit
dan rumit karena harus mengurut sejarah dan mengumpulkan bukti atau saksi dari para sepuh
(orang yang tua, yang tahu sejarah tanah yang disengketakan). Sebuah PR besar bagi pemerhati
(pihak yang punya kepedulian) hukum untuk masyarakat miskin di pedesaan. Pencerahan
hukum bagi masyarakat desa merupakan solusi jangka panjang untuk memutus rantai petaka
pertanahan di pedesaan, khususnya pedesaan di Madura.
32
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Kronologi Kasus:
Warisan Membawa Petaka
Waktu Kejadian
Puluhan tahun lalu Terjadi pernikahan dan tanah milik sang istri (warisan dari
orang tuanya) diambil sang suami saat sang istri meninggal,
dalam pernikahan itu tidak dikaruiai keturunan.
Tujuh tahun yang Sammat meminta kembali tanah warisan Bibinya pada
lalu Sardiman namun tidak diberikan.
Beberapa hari Sammat memasang patok (Tanda batas tanah) pada tanah
kemudian yang diklaim sebagai haknya, setelah pemasangan terjadi
cekcok (pertengkaran).
Satu hari kemudian Sammat melaporkan kepada Pak Klebun kalau tanahnya
diambil oleh Sardiman.
Rentang waktu Ada musyawarah di rumah Pak Klebun tetapi tidak ada
tidak diketahui, kesepakatan penyelesaian.
tetapi pasti dalam
hitungan hari atau
minggu saja
Rentang waktu Pertemuan kedua dilakukan di dusun Tanggina 2 dekat lokasi
tidak diketahui tanah tetapi pihak Poreh (Sardiman) tidak hadir sehingga
musyawarah tidak berjalan.
Rentang waktu Pertemuan ketiga dilakukan di dusun Tenggina 2 lagi di
tidak diketahui rumah Hamid Pak Bahria, dalam pertemuan ini tidak ada
tetapi tetap dalam kesepakatan karena pihak Poreh datang dengan mengajak
sekitar tujuh tahun kekerasan, tetapi tidak samapi terjadi carok hanya
yang lalu karena ketegangan langsung diredahkan oleh Pak Klebun.
penyelesaian tidak Akhirnya berakhir tanpa penyelesaian.
lebih dari satu
tahun sampai
terjadinya
ketegangan di
dalam pertemuan
ke tiga
33
Warisan Membawa Petaka
Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Mohammad Said
Peneliti: Mohammad Said and Luthfi Ashari; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Peta Lokasi Kejadian:
10
1
3
2
4
11
5
8
6
7
9
A
B
C
D
E
F
KETERANGAN :
A : Desa Tlambah
B : Desa Blu’uran
C : Desa Bulmatet
D : Desa Poreh
E : Desa Pangsanggar
F : Desa Palengaan Laok
1 : Dusun Londalem
2 : Dusun Tareta 1
3 : Dusun Laccaran
4 : Dusun Tareta 2
5 : Dusun Angsoka Barat
6 : Dusun Angsoka Timur A
7 : Dusun Angsoka Timur B
8 : Dusun Tenggina 1
9 : Dusun Tenggina 2
: Batas Dusun
: Batas Desa Palengaan Daja
: Batas Desa Lain
: Lokasi Tanah Sengketa
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
34
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya:
Maka Civil Disobedience-pun Termanifestasi
dalam Aksi Pembakaran Hutan
Ringkasan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang rentan menjadi objek konflik, salah
satunya dalam kasus pembakaran hutan yang berlangsung di Desa Dayakan,
Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo. Konflik ini berkaitan dengan kebijakan
Perusahaan Hutan Indonesia (Perhutani) dalam penentuan tiga jenis tanaman
yang tidak kontekstual dengan karakteristik geografis Desa Dayakan, karena
tiga jenis tersebut memberikan dampak negatif kepada lahan warga. Kasus ini
menarik karena menyoroti hubungan antara lembaga pemerintahan dengan
masyarakat, dan khususnya keterbatasan kemampuan yang dimiliki suatu
masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan lembaga dan meminta “pelaksanaan
pelayanan publik” dengan cara yang produktif dan damai.
Konflik ini diperparah karena hubungan yang tidak baik yang berlangsung terus
antara Perhutani dengan masyarakat desaserta situasi sosio-politik seputar
pemilihan kepala desa (pilkades) tujuh bulan sebelumnya. Tanpa tanggungtanggung,
konflik ini berdampak pada berkurangnya sumber penghidupan
alternatif bagi masyarakat Dayakan yang menyandarkan hidupnya pada pertanian
lahan kering, serta perusakan sumber daya hutan milik Perhutani. Hingga saat
ini konflik masih berlangsung tanpa diketahui siapa aktor pembakaran hutan.
1. Si Inang Harus Dicungkil Dulu Untuk Mendapat Perhatiannya: Pola
Relasi Perhutani dan Masyarakat Sekitar Hutan yang Melatarbelakangi
Konflik
Dayakan adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo, letaknya
di ujung selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pacitan serta Wonogiri. Selain memiliki
karakter tanah yang relatif kering, Desa Dayakan juga meliputi areal hutan yang luas, yaitu
694 hektar dari total area 1.203 hektar1, artinya lebih dari 50 persen wilayah Dayakan berupa
hutan. Secara ekonomis, keberadaan hutan ini menjadi salah satu sumber penghidupan
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Tidak dapat diketahui secara jelas kapan penduduk
Dayakan mulai menjadikan hutan sebagai salah satu sumber penghidupannya. Pada
1 Sesuai data yang terdapat dalam Kecamatan dalam Angka Tahun 1999. Namun dalam Monografi
Desa 2001 disebutkan bahwa luas total area Desa Dayakan adalah 1267 hektar.
35
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
kenyataannya ada beberapa dusun atau lingkungan yang letaknya dikelilingi oleh hutan dan
hampir terisolasi dari dusun atau lingkungan lainnya.2 Kondisi ini memberikan peluang yang
besar bagi penduduk Desa Dayakan untuk mencari penghidupan di sekitar kawasan hutan.
Dengan pola pertanian lahan kering yang mengandalkan air hujan, aktivitas bertani lebih banyak
dan lebih produktif dilakukan di musim penghujan. Sebagai alternatif, di musim kemarau
sebagian penduduk menyadap getah pohon pinus yang tumbuh di areal hutan.3 Sebagian
penduduk yang lain mengolah lahan hutan yang gundul, yaitu menanaminya dengan berbagai
tanaman pangan, misalnya singkong, jagung, atau tanaman lainnya yang bisa menunjang
kebutuhan pangan cadangan untuk musim kemarau.4 Penduduk lokal menyebut lahan ini
dengan baon, yaitu lahan bekas lokasi penebangan yang dijadikan ladang. Selain itu, penduduk
yang memiliki hewan ternak mengandalkan hutan untuk mencarikan pakan (makanan ternak)
bagi binatang piaraannya. Hampir setiap hari, biasanya di siang atau sore hari, penduduk
mencari rumput di hutan yang tumbuh di bawah pepohonan.5
Bagaimanapun, secara hukum, masyarakat bukanlah pemilik hutan, meskipun secara historiokultural
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memiliki ‘kedekatan’6 dengan kawasan yang
menjadi salah satu penyangga hidup mereka.7 Secara hukum, hutan di kawasan Dayakan
merupakan properti Perum (Perusahaan Umum) Perhutani.
Berdasarkan struktur di atas, kawasan hutan di Desa Dayakan berada di bawah penguasaan
Resort Pemangku Hutan (RPH) Watubonang, yang secara struktural termasuk dalam Kesatuan
Pemangku Hutan (KPH) Lawu. Secara langsung, pengelolaan hutan di Desa Dayakan ditangani
oleh Pak Ali, Kepala RPH Watubonang, yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Mantri,
dibantu oleh beberapa mandor.
Dalam tiga puluh tahun terakhir, sejarah Desa Dayakan menggambarkan kurang harmonisnya
hubungan Perhutani dengan pemerintah dan masyarakat Desa Dayakan. Seorang informan
2 Desa Dayakan terdiri dari 4 dusun, yaitu: Sekarputih, Kliyur, Jurangsempu, dan Watuagung. Sekarputih
terlatak di wilayah yang datar, Kliyur sebagian wilayahnya datar dan sebagian landai, sedangkan
Jurangsempu dan Watuagung sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan dan hutan. Disampaikan
oleh Totti (tokoh masyarakat) dalam FGD di Dusun Jurangsempu, Dayakan, (baca Wawancara No.
854).
3 Wawancara No. 865 dengan Sardiman (Bayan), Dusun Kliyur dan Juri (masyarakat biasa), Dusun
Kliyur (Wawancara No. 881).
4 Wawancara No. 865, ibid dan Boinem, masyarakat biasa, Dusun Jurangsempu.
5 Wawancara No. 879 dengan Ali (Mantri Hutan), Dusun Sekarputih.
6 Masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan
hutan secara arif ‘mengambil hasil hutan sebatas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari’. Dengan
pola hidup yang demikian kebutuhan hidup masyarakat terpenuhi dan forest sustainability terjaga.
7 Wawancara No. 837 dengan Tlenik (Guru TK), Dusun Kliyur; dan Wawancara No. 881, op cit.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
36
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
menceritakan tentang beberapa kasus yang menunjukkan hubungan yang kurang harmonis
ini. Berikut sebuah petikan yang menceritakan salah satu kasus, yaitu kasus tukar guling tanah
di wilayah Ogal-Agil.8
“Masalah dengan Perhutani memang sulit. Sebelum ijin soal pembangunan
jalan itu [maksudnya pembangunan jalan ke Jurangsempu tahun 1998],
masyarakat di sini sudah pernah punya masalah dengan Perhutani.
Masalahnya adalah tanah di sebelah timur Ogal-agil, dulu mau ditukar
dengan tanah milik Perhutani yang ada di bagian bawah ini [sebelah Barat
rumah Pak Sardiman di Dusun Kliyur]. Rencana itu sudah ada sejak tahun
‘70-an tetapi sampai sekarang belum ada surat keterangan yang
menyatakan bahwa ada perjanjian antara Perhutani dengan masyarakat.
Istilahnya tidak ada ijab kabul (pernyataan perjanjian)-nya. Padahal tahun
‘70-an sampai sekarang itu kan sudah lebih dari 30 tahun. …. Saya ingat
betul saat itu karena saya masih menjadi hansip [Pertahanan Sipil,
masyarakat sipil yang dilatih kemiliteran untuk dijadikan tenaga
pengamanan di desa], saat itu kepala desanya Pak Saraf. …. Pak Saraf itu
[kepala desa] sebelum Pak Karya, setelah Pak Karya baru Pak Kardi [Kepala
Desa Dayakan sekarang]. Tanah itu milik desa, tetapi sekarang tidak ada
yang menggarap, ya dibiarkan gundul saja. …”
Sardiman, Bayan, Dusun Kliyur, 26 Juli 2003
Kasus Ogal-Agil ini menjadi bibit dari kurang harmonisnya hubungan Perhutani dengan
pemerintah maupun masyarakat Desa Dayakan. Kutipan di atas menunjukkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap Perhutani dalam menangani persoalan tukar guling
tanah. Tawaran Perhutani untuk menukar tanah di lereng gunung itu menjadi suatu pengharapan
bagi masyarakat desa yang mata pencaharian utamanya ini bertani.9 Ketidakjelasan
implementasi tawaran ini membuat masyarakat patah arang. Yang lebih membuat sedih adalah,
akhirnya, tanah yang akan ditukar oleh Perhutani tidak diolah lagi oleh pemerintah maupun
masyarakat Desa Dayakan karena mereka masih menaruh harapan akan digantinya tanah itu
dengan tanah yang lebih produktif.
Belumlah usai persoalan tukar guling tanah Ogal-agil, hubungan Perhutani dengan masyarakat
Desa Dayakan kembali merenggang dengan adanya kasus pembukaan jalan menuju Dusun
8 Ogal-agil adalah nama sebuah lingkungan (kampung) di wilayah Dusun Jurangsempu (lihat Peta Desa
Dayakan).
9 Lingkungan Ogal-agil ini terletak di kawasan yang bergunung terjal. Lahan pertanian ladangnya
terletak di lereng-lereng bukit, sehingga petani seringkali mengalami kesulitan untuk mengolah maupun
mengambil dan mengangkut hasil tanamannya.
37
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Watuagung bagian selatan.10 Kasus kali ini menambah ketegangan antara Perhutani dan
masyarakat Desa Dayakan, khususnya masyarakat Dusun Watuagung bagian selatan (baca
Kotak 1).
Kotak 1: Kasus Pembukaan Jalan ke Dusun Watuagung bagian Selatan
“Waktu itu kan ceritanya belum ada jalan ke Watuagung kidul (bagian selatan). Kalau
mau ke sana harus lewat hutannya Kehutanan [maksudnya Perhutani]. Masyarakat
Watuagung sudah lama ingin membangun jalan. Apalagi pernah ada orang mau melahirkan
mengalami pendarahan, harus dibawa ke Puskesmas. Wah angel tenan nggawane (wah
sulit sekali membawanya), kan harus melewati hutan. Akhirnya masyarakat rundingan
(berunding) untuk membuat jalan. Mereka menebangi pohon-pohon Kehutanan. Jalannya
lumayan panjang sih, hampir 1 kilometer. Wah, langsung geger (ramai, tegang) itu,
Mbak. Bupati, Polres, ADM [Administratur Perhutani] dari Madiun juga datang. Kehutanan
merasa kecolongan kayu jati banyak sekali. Beberapa penduduk Watuagung didatangi
polisi, ditanya macam-macam. ...sebenarnya sudah ngomong [maksudnya minta ijin],
sudah 2 kali, ke Mandor sama Mantri (Hutan). Tapi waktu itu belum diijinkan. Lama
sekali ditunggu-tunggu nggak ada keterangan. Padahal itu sebenarnya ijinnya sudah
turun di Madiun ... Saya tahunya ya dari ADM itu. Tapi kalau ditanya, mandor sama
mantri itu bilang gak tahu apa-apa ... saya sebenarnya paham kenapa mandor dan mantri
selak [berdalih, tidak mau mengakui], karena itu kan menyangkut puluhan pohon jati. Ya
kalau misalnya atasannya tahu kalau sebenarnya Mandor dan Mantri itu dipamiti,
kemungkinan paling baik dia dipindah. Yang paling buruk ya dicopot (dilepas) dari
jabatannya. Tapi akibatnya ya masyarakat yang dipersalahkan. Nah, setelah itu
masyarakat jadi kurang suka sama Perhutani. Pikirnya masyarakat, wong mereka sudah
puluhan tahun tinggal di sekitar hutan. Mau membuka jalan saja kok dipersulit. Sudah
ijin baik-baik kok dipersalahkan...”
Sardiman, Bayan, Dusun Kliyur, 26 Juli 2003
Dari cerita dalam Kotak 1 terbaca bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan ketegangan
antara Perhutani dan masyarakat. Pertama, lambannya respon Perhutani dalam menyikapi
kebutuhan masyarakat akan jalan menuju wilayah Dusun Watuagung bagian selatan. Inisiatif
masyarakat untuk mengajukan ijin pembukaan jalan, merupakan satu hal positif yang patut
dicatat. Artinya, masyarakat memiliki kesadaran bahwa hutan yang akan mereka buka untuk
jalan itu adalah milik Perhutani. Akan tetapi, tindakan ini tidak mendapat respon positif dari
Perhutani, si pemilik hutan. Akhirnya, masyarakat tetap membuka jalan tanpa menunggu
turunnya ijin Perhutani.
10 Penduduk lokal menyebutnya dengan wilayah Watuagung Kidul, yang meliputi lingkungan Spring,
Mbecici, dan Krincing. Namun ketiga lingkungan lebih sering disebut dengan namanya masingmasing
(Spring, Mbecici, dan Krincing). Berbeda dengan wilayah Watuagung Lor, meski di sana juga
terdapat beberapa lingkungan (diantaranya Watuagung, Watu Irung, dan lain-lain), namun orang
lebih sering menyebutnya dengan sebutan Watuagung Lor.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
38
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Faktor kedua, masih kuatnya stigma dari aparat bahwa masyarakat sekitar hutan adalah maling
kayu (pencuri kayu), mendorong Perhutani maupun lembaga pemerintahan lainnya mengambil
tindakan resolusi yang kurang tepat. Hal ini termanifestasi pada tindakan yang diambil, baik
oleh Perhutani, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Ponorogo, maupun instansi keamanan.
Karena merasa kecolongan kayu puluhan batang,11 Perhutani mendatangkan petugas polisi
dari Polres (Kepolisian Resort) Kabupaten Ponorogo, sekaligus petugas intelejennya. Beberapa
penduduk Dusun Watuagung bagian selatan diinterogasi oleh polisi. Bahkan seorang warga
Dusun Kliyur yang berpartisipasi dalam pembukaan jalan itu pun didatangi oleh intel. Berikut
pengakuan informan tentang pengalamannya didatangi intel.
“... Beberapa penduduk Watuagung didatangi polisi, ditanya macammacam.
Lalu ada intel yang datang ke rumah. Saya kan memang ikut
bekerja membuka jalan itu dan bekerja atas nama masyarakat Watuagung.
Intelnya itu kan gaya preman; rambut gondrong segini [sambil menunjuk
pundaknya], pake jaket, tapi ya tetap beda. Pengamen sama intel itu kan
beda cara ngomongnya. Saya agak gugup juga waktu itu. ... Saya tahu dia
itu intel dari caranya bertanya, dari yang ngglambyar (nggak fokus) sampai
yang njlimet (detail). Apalagi tip (tape recorder)-nya kelihatan. ... Tipnya
ditaruh di dalam jaket gitu. Tapi kelihatan. Lha saya kan tambah keder
(takut) lagi. Pikir saya, wah saya harus hati-hati ini. Soalnya nanti kan
suara saya disetel di kantor polisi. Wah, saya jadi lakon (tokoh utama)
betulan. .... [Q: Ditanya apa saja?] ‘Siapa yang nyuruh?’ Saya jawab, ‘Gak
ada, itu keinginan masyarakat Watuagung sendiri untuk membuat jalan.’
‘Masa?! ’ katanya gak percaya. ‘Saestu (sungguh),’ saya bilang. Terus
intelnya tanya lagi, ‘Kayunya dikemanakan?’ ‘Ya dibawa sama penduduk
yang ikut bekerja, itung-itung imbalan buat mereka yang kerja bakti’.
‘Jangan-jangan dijual!’ kata intelnya. ‘Ya, nggak, ya dibawa ke rumah
penduduk’. ‘Siapa saja yang bawa?’ Intelnya masih tanya terus. Waduh,
kalau di suruh menyebutkan satu-satu ya sulit. Wong itu yang ikut kerja
bakti hampir semua penduduk Watuagung. Dan memang kayunya yang
ditebang kan banyak sekali. Itu [kayunya] semua dibagi sama penduduk.
Mereka, ... ya Bupati, Polisi, ADM; mikirnya kalau kayunya itu dicuri lalu
dijual.... “
Sardiman, Bayan, Dusun Kliyur, 30 Juli 2003
Tindakan Perhutani yang mendatangkan polisi telah menimbulkan efek psikologis tidak nyaman
kepada masyarakat Dusun Watuagung.
Faktor ketiga yang memperparah situasi konflik ini adalah sikap Mandor dan Mantri yang
mengelakkan diri bahwa mereka tidak pernah mendapat pengajuan ijin dari masyarakat Dusun
11 Informan kesulitan untuk menyebutkan angka pasti berapa jumlah kayu yang ditebang untuk pembukaan
jalan tersebut. Dia hanya mengira-ngira jumlah pohon yang ditebang untuk membuka jalan sepanjang
hampir 1 kilometer (baca Wawancara No. 866).
39
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Watuagung untuk membuka jalan. Sikap Mandor dan Mantri ini sangat disesalkan oleh seorang
warga karena, akibatnya, masyarakatlah yang dipersalahkan. Hal ini berdampak pada semakin
memburuknya hubungan Perhutani dengan masyarakat Desa Dayakan.12
Hampir sepuluh tahun berlalu setelah konflik Perhutani dan masyarakat Dayakan dalam kasus
Jalan Watuagung, ketika kasus yang hampir sama berulang di tahun 1998 (lihat Kotak 2).
Saat itu masyarakat Jurangsempu berkeinginan melebarkan jalan setapak menuju dusun mereka.
Kotak 2: Kasus Pelebaran Jalan Menuju Dusun Jurangsempu
“…. Jalan ke Jurangsempu itu dari dulu sudah ada, tapi memang cuma jalan setapak.
Dulu, lama sebelum PPK sampai ke sini, jalan itu diperlebar oleh masyarakat, swadaya
semua itu. Jalan setapak itu dibuat lebarnya menjadi sekitar 2 meter. …Jalan yang dibuat
itu memang di wilayah Perhutani, tetapi karena masyarakat memang sangat membutuhkan
maka diusahakan untuk pelebaran. Dulu perangkat desa sudah berusaha meminta ijin
dari Perhutani. Akan tetapi setelah ditunggu berbulan-bulan, dana itu tidak turun-turun,
kabarnya surat itu ngendon [sudah sampai tetapi tidak segera diberikan/ diberitahukan
kepada masyarakat] di Madiun, KPH Madiun. Karena masyarakat sudah tidak sabar
menunggu, jadi jalannya tetap diperlebar saja. Jadi waktu itu banyak pohon jati yang ada
di tengah jalan. Sebelah kiri dan kanannya sudah dibuat jalan tetapi pohonnya belum
ditebang karena masih menunggu ijin dari Perhutani. Masyarakat sering mencongkeli
pohon-pohon itu, ya syukur kalau bisa tumbang. Jadi tidak ada alasan Perhutani
menyalahkan masyarakat karena masyarakat tidak menebang pohon. Pohon yang
tumbang itu dipotong lalu diletakkan begitu saja di tepi jalan depan rumah saya ini. Tidak
ada orang yang mau mengambil pohon-pohon itu karena yang dibutuhkan masyarakat
memang jalan, bukan pohon. Masyarakat tidak butuh kayu. Melihat banyak pohon yang
tumbang itu, akhirnya ijin dari Perhutani keluar…”
Sardiman, Kliyur, 26 Juli 2003
Seperti dalam kasus Jalan Watuagung, Perhutani juga lambat dalam memberikan respon
terhadap pengajuan ijin pelebaran jalan menuju Dusun Jurangsempu.13 Belajar dari pengalaman
kasus Watuagung, masyarakat tidak langsung menebangi pepohonan yang menghalangi jalur
jalan yang akan dibuka. Tapi mereka menggunakan cara yang lebih halus, yaitu mencungkili
akar pepohonan dengan harapan dia akan tumbang dengan sendirinya. Masyarakat juga
bersepakat untuk tidak membawa pulang pohon-pohon yang tumbang itu, mereka hanya
membiarkannya di tepi jalan.14 Selanjutnya kayu-kayu jati itu diamankan oleh Mantri Hutan
dibawa ke kantor RPH Watubonang yang terletak di Dusun Sekarputih. Bagaimana reaksi
Perhutani terhadap aksi pemcungkilan pohon jati itu? “Melihat banyak pohon yang tumbang
12 Wawancara No. 865, op cit.
13 Wawancara No. 865, op cit.
14 Ibid.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
40
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
itu, akhirnya ijin dari Perhutani keluar…” ungkap Sardiman, Kepala Urusan Umum Desa
Dayakan.15 Melihat pola penanganan Perhutani dalam kasus jalan Jurangsempu ini, tampaknya
Perhutani mulai belajar dari kasus Watuagung, dimana tiadanya respon positif dari Perhutani
menimbulkan tindakan brutal oleh masyarakat dan merugikan Perhutani sendiri (lihat Kotak
2).
Yang juga menarik untuk disimak dari kasus pembangunan jalan menuju Dusun Jurangsempu
ini adalah tidak terjadinya tindakan kekerasan, berupa penebangan pohon-pohon, seperti
yang terjadi dalam kasus pembukaan jalan ke Dusun Watuagung bagian selatan. Meskipun
saat itu, tahun 1998, mulai marak dengan gerakan reformasi, namun masyarakat Dayakan
tidak serta-merta terpengaruh untuk melakukan tindakan yang keras atau anarkhis. Pengalaman
psikologis yang traumatik dari kasus Watuagung menjadi pelajaran penting bagi masyarakat
Jurangsempu, dan ini melatarbelekangi pilihan sikap masyarakat Jurangsempu untuk tidak
menebangi pepohonan di sepanjang jalan setapak secara anarkhis.
Selain ketiga kasus yang terjadi di Desa Dayakan di atas, ada beberapa kasus lain di Kecamatan
Badegan yang menunjukkan lemahnya mekanisme resolusi konflik oleh Perhutani. Kasus
demonstrasi kayu di Desa Biting, misalnya. Ketidakmampuan RPH Badegan dalam
memfasilitasi ketegangan antara pemerintah desa Biting, masyarakat Dusun Kresek, dan
masyarakat Dusun Brangkal telah memberikan sumbangan terhadap terjadinya demonstrasi
pada tahun 1999.16 Kasus lain yang juga terjadi di Desa Biting adalah ketegangan antara
masyarakat Biting dengan pengelola PPK di tingkat kecamatan (Badegan), maupun antara
pengelola PPK di tingkat kecamatan (Badegan) dengan yang di tingkat kabupaten (KM Kab).
Ketegangan ini bermula dari perdebatan tentang status lahan Perhutani yang akan dipakai
sebagai lokasi pengembangan Pasar Wisata Kucur. Ketidaktegasan Perhutani menyikapi
pengajuan ijin pakai itu telah menyebabkan konflik diantara aktor-aktor yang disebutkan di
atas.17
Beberapa kasus di atas (Ogal-agil, Watuagung, Jurangsempu, demonstrasi kayu, Kios Pasar
Wisata Kucur) menggambarkan lemahnya tanggung jawab Perhutani dalam memberikan
pengayoman terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini berbeda sekali dengan
misi Perhutani yang bertujuan melakukan kerjasama dan memberikan pengayoman kepada
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dalam rangka bersama-sama menjaga kelestarian
hutan.18 Inkonsistensi ini ternyata menimbulkan kekecewaan kepada sebagian masyarakat
Desa Dayakan yang menggantungkan hidupnya kepada hutan. Apakah yang dilakukan oleh
masyarakat Dayakan dengan kekecewaannya tersebut?
15 Ibid.
16 Selengkapnya baca Studi Kasus “Demonstrasi Kayu di Desa Biting”.
17 Selengkapnya baca Studi Kasus “Kios PPK Kucur”.
18 Wawancara No. 879, op cit.
41
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
2. Api pun Menari-nari di Kaki Pohon-pohon Pinus
Suatu hari di bulan September 2002,19 sekitar pukul 1 hingga 2 siang, masyarakat Jurangsempu
dan Kliyur dibuat heran oleh panasnya suhu udara siang itu. Beberapa orang keluar dan
mencari tahu apa yang terjadi.20 Dua orang dari Dusun Kliyur, Sardiman dan Johan, melihat
alas jaten (hutan jati) di atas rumahnya terbakar.21 Tapi itu tidak berlangsung lama, sebentar
saja sudah padam dan tidak menjalar luas. Beberapa saat kemudian Pak Sardiman melihat
alas pinesan (hutan pinus) di atas alas jaten pun terbakar.22 Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Santo yang menyaksikan secara langsung kebakaran hutan tersebut. Berikut petikan
kesaksian mereka berdua.
“…. Kebakaran tahun kemarin itu [tahun 2002] terjadi waktu ada KKN
[Kuliah Kerja Nyata] STAIN [Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri] di sini,
sekitar bulan 9 [September]. Waktu itu saya dan mas-mas KKN itu melihat
dari jalan di depan sana. Apinya besar sekali, sampai-sampai tempat di
sini terasa panas…. Lahan yang terbakar itu sangat banyak, dari bawah
sana sampai ke puncak bukit. Kalau diperhatikan dari halaman, pohonpohon
yang terbakar itu sekarang tampak menghitam. …. [Q. Kira-kira jam
berapa kejadian itu?] Sekitar jam 1 [siang] atau jam 2 [siang]. Saat itu kan
memang sedang musim panas dan banyak angin…..”
Santo, Jurangsempu, 29 Juli 2003
“Kebakaran terjadi musim panas tahun lalu [2002], kira-kira bulan 9
[September]. Awalnya yang terbakar itu daerah jatenan [hutan jati] di atas
itu, tetapi padam. Tidak sampai menjalar lebih luas. Setelah itu kebakaran
lagi di atasnya, daerah pinesan [hutan pinus] di atas jatenan. Waktu
kebakaran itu kira-kira sama seperti saat ini [saat wawancara jam 13.00 –
14.00]. Pinesan itu terbakar, apinya besar sekali, rasa panasnya sampai ke
sini. Suaranya seperti truk lewat makadam di sana itu, grudug-grudug
[menirukan suara truk yang lewat jalan makadam] seperti itu. Pinesan di
atas jatenan itu habis terbakar…. Malamnya pinesan di sebelah timur
[dusun] Sekarputih itu juga terbakar. Saya sama Mas Jun [Johan,
Community Transformation Agent, PLAN International di desa Dayakan]
19 Sebagian informan hanya ingat bahwa itu terjadi di bulan September 2002, tapi lupa tanggal dan hari
tepatnya kejadian [Wawancara No. 865, op cit; Wawancara No. 870, op cit]. Sebagian informan yang
lain bahkan hanya ingat bahwa itu terjadi tahun 2002 [Wawancara No. 860, op cit]. Namun sebagian
informan yang lain menandai bahwa kebakaran hutan sudah terjadi 2 tahun terakhir [Wawancara No.
869, op cit; Wawancara No. 881, op cit,].
20 Diantaranya adalah Sardiman (Bayan) dan Johan (CTA – Community Transformation Agent) di Desa
Dayakan) yang melihat dari arah Dusun Kliyur (Wawancara No. 865, op cit) serta Santo (masyarakat
biasa) dan mahasiswa KKN STAIN (Kuliah Kerja Nyata Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Ponorogo
yang melihat dari Dusun Jurangsempu (Wawancara No. 870, op cit).
21 Rumah Sardiman terletak di Dusun Kliyur sekitar 25 meter di sebelah selatan Balai Desa Dayakan.
22 Wawancara No. 865, op cit.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
42
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
melihat ke ke tengah sawah [di sebelah Timur rumah pak Sardiman]. Apinya
tinggi sekali, sampai-sampai sawah di sini ini menjadi terang….”
Sardiman, Kliyur, 26 Juli 2003
Kebakaran hari itu terjadi di beberapa lokasi secara bersama-sama. Sudarmo, seorang
penggembala hewan ternak, menceritakan bahwa tahun lalu terjadi kebakaran secara bersamaan
di Gunung Gajah (salah satu puncak pegunungan di wilayah Jurangsempu yang bentuknya
mirip binatang gajah) dan bagian timur jatenan (hutan jati) di bagian timur Desa Dayakan.23
Selain itu kebakaran juga terjadi di baon yang terletak diantara Dusun Kliyur dan Jurangsempu.24
Ternyata kebakaran hutan di pinesan tidak hanya terjadi sekali itu. Beberapa informan
menandai bahwa kebakaran alas pinesan itu sudah terjadi sejak satu hingga dua tahun terakhir,
setiap musim kemarau. Mereka menandainya dengan mulai berkurangnya cadangan sumber
air di sekitar Jurangsempu. Berikut penuturan mereka.
“Sekarang di ladang sedang ditanami singkong, tetapi hasilnya tidak
sebanyak dulu. …[Q: Kenapa?] Kurang air, Mbak. Sumber air semakin
kecil, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. …. [Q: Sejak
kapan persediaan air mulai berkurang?] Setahun terakhir, sejak hutan
dibakari itu lho, Mbak….”
Boinem, masyarakat biasa, Dusun Jurangsempu, 29 Juli 2003
“…. Sejak hutan itu terbakar, sumber air banyak yang hilang. Dulu, walau
musim panas tidak seburuk 2 tahun terakhir ini. Jadi air itu tetap ada
walaupun kecil. Tetapi sejak kebakaran itu sumber air banyak yang hilang.
….”
Juri, Tokoh Masyarakat, Dusun Kliyur, 2 Agustus 2003
3. Pohon-pohon Pinus Itulah Biangnya!
Yang menarik dari pembakaran ini adalah, sebagian besar kawasan hutan yang dibakar adalah
yang ditanami pinus. Pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan pinus? Dari pengakuan
beberapa informan, berdasarkan pengalaman mereka, pohon pinus membawa dampak yang
kurang bagus terhadap cadangan air tanah. Pinus termasuk jenis pohon yang menyerap banyak
air25. Mengapa demikian?
23 Wawancara No. 860, op cit.
24 Wawancara No. 869, op cit dan Wawancara No. 873, op cit.
25 Wawancara No. 860, op cit; Wawancara No. 865, op cit; dan FGD Jurangsempu, (baca Wawancara No.
871). Namun hal ini dibantah oleh Pak Mantri, menurutnya itu hanya asumsi, masih perlu penelitian
lebih lanjut (Wawancara No. 879, op cit).
43
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“…Coba saja dibandingkan, jika dahan pohon jati dipotong maka airnya akan
mengucur keluar, tetapi pinus tidak [tidak mengeluarkan air] karena pinus itu
mengandung minyak, getahnya itu minyak. Karena mengandung minyak itulah
maka pohon Pinus membutuhkan banyak air.”
Sardiman, Bayan, Dusun Kliyur, 26 Juli 2003
Dengan karakteristik tanaman pinus yang menyerap banyak air, akibatnya cadangan air tanah
di sekitar pinesan berkurang. Sumber-sumber air yang dulunya besar, sekarang hanya mengalir
kecil, bahkan sebagian sumber air itu mati di musim kemarau.26 Persediaan air bersih dari
sumber air hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan
pengairan pertanian. Akibatnya, hasil pertanian menurun.27 Menghadapi kondisi ini, masyarakat
Dayakan khususnya sekitar alas pinesan, mengadukan persoalan ini kepada pemerintah
desa.28 Merespon pengaduan masyarakat, maka pada tahun 2002 yang lalu pemerintah
Desa Dayakan, atas permintaan pemerintah kecamatan dan Perhutani, mempertemukan
masyarakat dengan pihak Perhutani, si pemilik hutan.29
Hadir dalam pertemuan itu, antara lain: petugas dari Perhutani Badegan [RPH Badegan],
Camat Badegan dan stafnya, perangkat Desa Dayakan, serta perwakilan masyarakat.30 Dalam
pertemuan itu masyarakat mengusulkan agar penghijauan dengan pinus diganti dengan jati
atau alba.31 Kalau ditanami pohon jati, masyarakat bisa menjamin kelestariannya karena
26 Wawancara No. 869, op. cit dan Wawancara No. 881 op cit.
27 Wawancara No. 869 op cit.
28 Masyarakat memilih untuk mengadukan keluhannya kepada pemerintah desa meskipun saat itu BPD
(Badan Perwakilan Desa) sudah terbentuk. BPD merupakan lembaga yang sangat baru di Desa Dayakan,
bahkan ketika Pilkades bulan Maret 2002 BPD belum terbentuk. BPD terbentuk setelah pilkades. Selain
itu, masyarakat belum terbiasa dengan model representasi dengan lembaga BPD. Masyarakat lebih
suka dengan model perwakilan yang lama di mana pemerintah desa melibatkan kepala dusun, ketua RT
dan wakil masyarakat lainnya dalam penyelesaian masalah atau pembuatan kebijakan di tingkat desa
(Wawancara No. 871, op cit).
29 Informan lupa kapan tepatnya tanggal dan hari pelaksanaan pertemuan itu. Pertemuan itu dilaksanakan
sebelum terjadinya pembakaran hutan (Wawancara No. 865 op cit). Jika pertemuan ini merespon
keluhan masyarakat tentang keringnya sumber air di musim kemarau, secara logika bisa dihitung
bahwa keluhan itu disampaikan ketika musim kemarau. Setelah itu baru dilaksanakan pertemuan tersebut.
Musim kemarau tahun 2002 jatuh pada bulan April – Oktober. Namun bersamaan dengan itu, pada
tanggal 13 Maret 2002 dilakukan pemilihan kepala desa dan dilantik pada tanggal 1 Mei 2003 (baca
Diary Imron 30 Juli 2003). Untuk melakukan konsolidasi internal pemerintah desa dibutuhkan waktu
kurang lebih 2 bulan. Jika pembakaran hutan terjadi pada September 2002, maka perkiraan waktu yang
paling logis atas pelaksanaan pertemuan itu adalah antara bulan Mei – Agustus 2002.
30 Wawancara No. 865 op cit, 26 Juli 2003.
31 Ketika diklarifikasikan kepada Pak Mantri, dia membantah bahwa ada wakil masyarakat yang pernah
menanyakan hal ini pada dia. Pak Mantri bahkan berpikir bahwa masyarakat tidak mungkin menanyakan
ini karena masyarakat masih bisa memanfaatkan getah pinus yang ada (Wawancara No. 871, op cit).
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
44
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
sumber air juga lestari, bahkan bisa bertambah besar. Selain itu tanah juga tidak rusak jika
ditanami jati atau alba. Sebaliknya, jika ditanami pinus, tanah itu menjadi gersang seperti abu.
Sumber air juga habis karena dihisap oleh pinus.32
Mendengar pengaduan masyarakat yang demikian, pada pertemuan di balai desa tersebut
pihak Perhutani tidak langsung memberikan tanggapan positif. Bahkan memberikan jawaban
yang kesannya mengolok-olok.
“… Soalnya di daerah Sarangan hutannya semua pinus, namun, sumber
air disana tidak pernah habis…”
Ali, Mantri Hutan, Dusun Sekarputih, 1 Agustus 2003
[Q: Sudah pernah disampaikan ke Perhutani tentang hal itu?] Sudah, sudah
pernah bilang kalau pinus menyebabkan sumber air mati. …Tapi malah
dijawab, ‘Danau Sarangan itu juga dikupeng (dikelilingi) pinus, tapi airnya
banyak.’”
Wagimun, Kepala Dusun, Dusun Jurangsempu, 29 Juli 2003
Salah seorang wakil masyarakat dari Jurangsempu, Pak Totti, mengklarifikasi informasi yang
dia terima bahwa penanaman pohon pinus harus memperhatikan ketinggian tanah diukur dari
atas permukaan laut (dpl). Jika tidak memenuhi syarat ketinggian ini, maka penanaman pinus
tidak akan optimal atau bahkan mengganggu cadangan air tanah.33 Dalam wawancaranya,
Pak Mantri, mengakui bahwa sebenarnya ketinggian tanah di wilayah Dayakan tidak memenuhi
syarat ketinggian untuk tanaman pinus.34 Kualitas terbaik pohon pinus akan didapat jika
ditanam pada ketinggian 500 – 1000 meter dpl. Sedangkan wilayah hutan Dayakan terletak
pada ketinggian 231 meter dpl.
Lalu mengapa tanaman pinus masih dipertahankan jika sebenarnya wilayah Dayakan tidak
memenuhi syarat ketinggian ideal, disamping tanaman pinus telah menghabiskan sumber air di
Dayakan? Jawabannya adalah, “Itu sudah menjadi kebijakan dari atas [maksudnya dari
kantor pusat Perum Perhutani].”35 Kawasan hutan Dayakan yang dibawahi oleh RPH
Watubonang ini termasuk dalam KPH Lawu yang merupakan kelas perusahaan pinus.36 Oleh
karena itu dalam wilayah RPH Watubonang wajib ditanami pinus, termasuk sebagian wilayah
di Desa Dayakan. Pak Mantri mengakui bahwa sebenarnya karakter tanah di Dayakan
sangat cocok untuk tanaman jati. Akan tetapi karena aturan kelas perusahaan itulah, maka di
32 Wawancara No. 865 op cit.
33 Ibid.
34 Wawancara No. 879, op cit.
35 Ibid.
36 Dalam wawancaranya, Pak Mantri menjelaskan bahwa dalam manajemen Perhutani, terdapat bermacammacam
kelas perusahaan yang menunjukkan jenis tanaman yang wajib ditanam. (Wawancara No. 871).
45
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Dayakan ditanami pinus.37 Akhirnya pertemuan itu memutuskan bahwa Perhutani belum bisa
mengganti tanaman pinus. Alasannya, selain pohon-pohon pinus itu belum layak tebang,
getahnya juga masih bisa diambil.38 Alhasil, pertemuan ini tidak memberikan solusi yang
memuaskan atau menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Sikap yang diambil oleh Perhutani di atas menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap
kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal. Secara tersirat diakui oleh Pak Mantri bahwa
peraturan penanaman pinus di wilayah Dayakan adalah tidak sesuai dengan karakter tanahnya.39
Akan tetapi, pihak Perhutani memilih bertahan pada asas taat aturan, meski itu tidak kontekstual
dengan kebutuhan masyarakat lokal, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi mereka. Latar
belakang lain dari kebijakan penanaman pinus ini adalah mengurangi tindakan pencurian kayu
yang lebih banyak terjadi di kawasan hutan jati. Orang tidak akan terlalu tertarik untuk
mencuri kayu pinus, berbeda dengan kayu jati yang harga jualnya lebih tinggi. Hal ini diakui
oleh Pak Mantri yang mengatakan di wilayah RPH Watubonang tingkat pencurian kayu
relatif kecil karena varietas pohonnya bermacam-macam, tidak hanya homogen jati.40
4. Siapa? Mengapa? Mencari Aktor dan Menggali Motif Pembakaran Hutan
Kurangnya perhatian Perhutani terhadap kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal inilah yang
diduga kuat sebagai pemicu pembakaran hutan, terutama di kawasan hutan pinus. Dugaaan
sementara yang diajukan adalah pembakaran ini sengaja dilakukan oleh masyarakat yang
kecewa dengan kebijakan Perhutani untuk menarik perhatian pihak Perhutani.41 Lebih khusus
lagi, menunjuk pada masyarakat yang tinggal di sekitar pinesan. Dugaan ini muncul berdasar
observasi lapangan, yaitu mendengarkan pengakuan seorang anak belia dari Jurangsempu
yang mengetahui ‘modus operandi’ pembakaran tersebut.42 Disamping itu, upaya masyarakat
Jurangsempu yang menutup-nutupi kasus pembakaran ini sedikit menguatkan dugaan atas
pelaku pembakaran hutan ini.43
Hingga saat ini, ada tiga hal yang diduga sebagai penyebab terbakarnya hutan di Desa Dayakan.
Pertama, seperti yang dimunculkan di atas, adalah kekecewaan masyarakat atas kebijakan
Perhutani untuk mempertahankan tanaman pinus, meskipun secara nyata terbukti bahwa
37 Saat ini, aku Pak Mantri, jenis tanaman yang ditanam campur, antara lain: jati, akasia, mahoni, kayu
putih, albasia, dan pinus. Dari total hutan yang dibawahi RPH Watubonang seluas 1500 hektar, hanya
18 hektar saja yang ditanami pinus.
38 Wawancara No. 865, op cit.
39 Wawancara No. 879, op cit.
40 Wawancara No. 879, op cit.
41 Ibid.
42 Baca Diary Endro tanggal 27 Juli 2003.
43 Baca Diary Cici tanggal 29 Juli 2003, Diary Imron 23 Juli 2003, dan Diary Endro 29 Juli 2003.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
46
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
tanaman pinus mengganggu keberlangsungan sumber air dan kehidupan masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan. Jika dugaannya seperti ini, maka bisa jadi aktornya adalah masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan. Mereka melakukan ini sebagai sebuah bentuk protes, civil
disobedience, terhadap kebijakan Perhutani yang tidak memperhatikan persoalan lokal.
Hal lain yang diduga juga menjadi penyebab kebakaran hutan adalah aktivitas nglagari yang
dilakukan oleh para penyadap getah pinus.44 Nglagari merupakan aktivitas membakar
sampah-sampah di bawah tanaman pinus, selain untuk pupuk,45 juga bertujuan supaya produksi
getah pinus lebih banyak.46 Berikut beberapa petikan wawancara yang menyatakan bahwa
penyebab kebakaran itu adalah para penyadap getah pinus.
“… Itu kan sebenarnya orang-orang yang nggarap alas (berladang di
hutan) yang gak hati-hati. … Maksudnya mereka itu nglagari (membakari
kotoran-kotoran di bawah pepohonan di hutan) tapi terus mrantak (meluas).
… Nglagari itu membakar kotoran-kotoran di bawah hutan untuk dijadikan
pupuk. Tapi ya itu tadi, kebablasan (melewati batas), jadinya pohonpohonnya
ikut terbakar. …”
Tlenik, Guru TK, Dusun Kliyur, 30 Juli 2003
“Pembakaran hutan dilakukan oleh orang-orang yang menyadap. Mereka
itu sepertinya tidak berfikir kalau pembakaran itu akan merugikan orang
banyak. …. Mereka kan awalnya hanya membakar semak-semak di bawah
pohon-pohon itu. Kalau lokasinya bersih, penyadapan getah pinus itu
kan jadi lebih enak. Katanya getah pinus itu juga jadi lebih banyak setelah
pohonnya dibakar.”
Juri, Tokoh Masyarakat, Dusun Kliyur, 1 Agustus 2003
Berbeda dengan dugaan bahwa hutan pinus dibakar (secara sengaja) karena kecewa dengan
kebijakan Perhutani, kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa kebakaran hutan berawal
dari aktivitas nglagari para penyadap getah pinus. Ketidakhati-hatian para penyadap dalam
membakar sampah di bawah pohon, telah menyebabkan kebakaran yang meluas. Di sini bisa
dilihat bahwa tidak ada unsur kesengajaan, yang terjadi adalah membakar sampah dan
kebablasan (melewati batas).
Hal ketiga yang diduga melatarbelakangi terjadinya aksi pembakaran hutan adalah peristiwa
pemilihan kepala desa yang masih menyisakan kekecewaan di pihak pendukung calon yang
kalah. Memang dilihat dalam kerangka waktu, pembakaran hutan ini terjadi 6 bulan setelah
pilkades.
44 Wawancara No. 870, op cit; Wawancara No. 873, op cit, Wawancara No. 881, op cit.
45 Wawancara No. 873, op cit.
46 Wawancara No. 881, op cit.
47
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“…Yang namanya pembakaran hutan pasti ada unsur kesengajaannya,
jadi bukan karena terbakar dengan sendirinya…Ya dibakar oleh orang mas!
… Di sini [Desa Dayakan] pembakaran hutan yang paling besar terjadi
bulan oktober 2002 kemarin bersamaan dengan selesainya pilkades di
Dayakan. …Motifnya dibakar macam-macam, karena jago yang dipilih
dalam pilkades sehingga saat taruhan ia kalah banyak, ada juga karena
kecemburuan sosial, pegel karo tanggane merga iso tuku wedhus teko
hasile (Kesal dengan tetangganya karena bisa membeli kambing dari
hasilnya) getah pinus…”
Ali, Sekarputih, 1 Agustus 2003
Pemilihan Kepala Desa diberlangsungkan pada bulan Maret 2002, dengan calon Pardi dan
Kardi. Basis pendukung Pardi berada di Dusun Jurangsempu dan Dusun Watuagung bagian
selatan (Krincing dan Mbecici). Sedangkan Kardi oleh mayoritas penduduk dusun Sekarputih
dan Watuagung bagian tengah dan utara. Dan pemilihan ini dimenangkan oleh Kardi. Ketika
dugaan pelaku ditujukan pada pendukung calon Kepala Desa yang kalah, maka itu berarti
menunjuk pada masyarakat yang tinggal di Dusun Jurangsempu dan Watuagung bagian selatan
(lihat Lampiran Peta Desa Dayakan).
Dari ketiga latar belakang di atas, jika dianalisa lebih jauh, maka yang mempunyai peluang
paling kuat untuk menjadi motif aksi pembangkangan sipil di Desa Dayakan ini adalah faktor
pertama dan ketiga. Faktor kedua kurang cukup kuat menjadi penyebab kebakaran hutan.
Berladang dan menyadap di hutan merupakan aktivitas yang sudah turun-temurun di masyarakat
Desa Dayakan yang tinggal di sekitar hutan, dan ini sudah dilakukan selama berpuluh-puluh
tahun. Artinya, kemampuan masyarakat dalam mengolah, termasuk nglagari, hutan tidak
perlu diragukan lagi. Kecil kemungkinan para peladang hutan ini melakukan kesalahan atau
kecerobohan dalam aktivitas nglagari. Kalaupun itu – kecelakaan yang menyebabkan
terbakarnya hutan – terjadi, skalanya tidak akan luas dan pasti akan segera dipadamkan.
Bagaimanapun, hutan itu menjadi gantungan hidup sebagian besar masyarakat Dayakan yang
tinggal di pinggiran hutan.47
Seperti diceritakan pada bagian pendahuluan, tiga puluh tahun terakhir sejarah hubungan
Perhutani dan masyarakat Dayakan menunjukkan pola relasi yang cenderung negatif. Hal
yang paling mendasar adalah kurangnya perhatian Perhutani terhadap kebutuhan dan kondisi
lokal, baik secara sosial maupun geografis. Kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan
Perhutani yang telah mengganggu sumber penghidupan mereka yang mendasar, yaitu
ketersediaan air bersih, cukup menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat lokal untuk melakukan
aksi protes.
47 Wawancara No. 873, op cit; Wawancara No. 881, op cit.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
48
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Faktor ketiga, kekecewaan pendukung calon Kepala Desa yang kalah, juga bisa menjadi
alasan kuat untuk melakukan aksi pembakaran hutan. Ada dua kemungkinan mengapa
pendukung calon yang kalah melakukan aksi ini. Pertama, tindakan ini dilakukan sebagai aksi
protes terhadap proses pemilihan kepala desa yang dianggap tidak fair.48 Kedua, para
pendukung itu benar-benar kecewa dan ingin merongrong kewibawaan Kepala Desa terpilih
dengan melakukan tindakan pengrusakan yang merugikan sebagian penduduk Desa Dayakan.
Jika pemerintah desa yang dipimpin oleh Kepala Desa terpilih tidak dapat menyelesaikan
persoalan ini, bukanlah sesuatu yang mustahil jika legitimasinya melemah.
5. Pak Mandor Dan Pak Mantri yang Tidak Berkutik
Kebakaran hutan ini terjadi di setiap musim kemarau. Namun Mantri Hutan dengan para
stafnya tidak bisa melakukan apapun.49 Ketika mengetahui salah satu potensi kebakaran
adalah aktivitas nglagari, mandor hutan beberapa kali mengingatkan para penyadap atau
peladang hutan untuk berhati-hati dalam nglagari hutan. Namun kenyataannya mereka tetap
nglagari dan seringkali meluas ke lokasi yang sebenarnya tidak butuh dilagari.50
Sejak terjadinya kebakaran, pihak Perhutani, terutama Mantri dan Mandor secara proaktif
telah melakukan upaya pencarian, baik itu melalui penyelidikan maupun bertanya langsung
kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan.51 Menurut beberapa informan, tidak ada
orang yang tahu siapa pelakunya.52 Mereka hanya menduga bahwa pelakunya dalam jumlah
banyak sebab lokasi yang terbakar luas sekali, tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu atau
dua orang/53 Upaya lain yang ditempuh oleh Mantri Hutan adalah melakukan pendekatan
dengan tokoh masyarakat Desa Dayakan dengan harapan lebih diperhatikan oleh masyarakat.
“… Saya langsung melakukan pencegahan dini dengan melakukan
koordinasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang ada dan perangkat desa
untuk memadamkan api kebakaran. …. Tokoh masyarakat yang biasa saya
dekati pak Said [Ketua LKD Dayakan] itu, saya juga sering datang bermain
ke rumah masyarakat sekitar hutan untuk memberi pengertian dan
mensosialisasikan program dari Perhutani yang ada…. Yang biasa saya
lakukan dalam mensosialisasikan program hutan, saya tidak pernah
mengenakan baju dinas saya kalau terjun ke masyarakat namun baju biasa
48 Selengkapnya baca di Studi Kasus “Bom, Demokrasi ala Dayakan: Ketegangan yang Terjadi dalam
Pemilihan Kepala Desa” yang ditulis oleh Endro W. Probo.
49 Wawancara No. 869, op cit.
50 Wawancara No. 873, op cit.
51 Wawancara No. 865, op cit; dan Wawancara No. 870, op cit.
52 Wawancara No. 860, op citWawancara No. 869, op cit; Wawancara No. 873, op cit.
53 Wawancara No. 860, op cit.
49
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
agar sama seperti mereka, ya saya kasih rokok walaupun saya sendiri tidak
merokok, kalau tidak begitu masyarakat tidak bisa diajak bekerja sama
dalam pelestarian hutan….”
Ali, Mantri Hutan, Dusun Sekarputih, 1 Agustus 2003
Dari cara yang ditempuh Pak Mantri, tampak bahwa diperlukan suatu kerja sama antara
pemimpin formal dan informal untuk melakukan pendekatan guna meredam konflik yang terjadi.
Selain menggunakan pendekatan aktor, Pak Mantri juga menyentuh masyarakat melalui isu
basic needs, bahwa hutan bisa menjadi pendukung kebutuhan pangan mendasar bagi
masyarakat sekitar hutan, maka sudah selayaknya masyarakat ikut menjaga kelestarian hutan.54
Dalam menangani kasus pembakaran hutan ini Perhutani tidak melibatkan kepolisian. Tidak
ada jawaban yang jelas dari Pak Mantri, tapi dugaan yang terlintas adalah Perhutani belajar
dari kasus Jalan Watuagung, dimana kehadiran polisi memperburuk citra Perhutani di mata
masyarakat Dayakan. Oleh karena itu, Perhutani meminimalisir dibawanya kasus ini ke
kepolisian.
Dari pihak Pemerintah Desa Dayakan tidak ada tindakan proaktif untuk menangani persoalan
pembakaran hutan ini. Yang pasti, pemerintah desa saat ini masih menghadapi persoalan
lemahnya legitimasi kekuasaan di mata masyarakat, terutama di mata pendukung lawan politinya
pada pilkades lalu. Hal ini tampak dari ungkapan ketidakpuasan beberapa warga masyarakat
terhadap kinerja dan pola kepemimpinan Lurah Kardi.55 Di sisi lain, pemerintah Desa Dayakan
juga ‘membenarkan’ tindakan yang diambil oleh masyarakat karena cara baik-baik yang mereka
tempuh dengan pertemuan tahun 2002 yang lalu tidak memberikan hasil positif.
6. Hutanku Terbakar, Hidupku Melayang: Dampak yang Harus Ditanggung
di Masa Kini dan Mendatang
Satu hal yang mungkin tidak dipikirkan oleh para pembakar hutan adalah dampak yang timbul
akibat terbakarnya hutan. Sebagian penduduk menyandarkan hidupnya pada pekerjaan
penyadapan getah pinus, jika pinus-pinus itu terbakar dan mati, berarti hilanglah kesempatan
untuk menyadap getah. Ketika kebakaran itu meluas hingga kawasan baon, berarti rusak
pulalah ladang singkong atau jagung yang dikerjakan dengan kerja keras, yang diharapkan
bisa menjadi cadangan pangan ketika musim kemarau tiba (Lihat Kotak 3).
54 Ibid.
55 Wawancara No. 867 dengan Miseri (ketua RT), Dusun Watuagung, dan FGD Krincing, Dusun
Watuagung.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
50
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Kotak 3: Dampak Pembakaran Hutan
“Sebenarnya masyarakat rugi dengan pembakaran itu karena mereka tidak dapat lagi
menyadap getah pinus. Biasanya musim panas seperti ini baik untuk menyadap getah
itu karena tidak tercampur air. Tetapi di sisi lain, bekas kebakaran itu menjadi baon
[Lahan bekas hutan yang dipakai untuk bertani, lahan ini biasanya ada setelah pohonpohon
hutan ditebang] yang bisa ditanami ketela, jagung, dan kacang, seperti baon-baon
di atas itu.”
Sardiman, Bayan, Dusun Kliyur, 26 Juli 2003
“[Q: Berarti sekarang orang-orang yang menyadap getah pinus itu tidak bisa bekerja
lagi?] Masih bisa, tetapi hasilnya sangat berkurang. Sekarang masih ada pohon-pohon
yang tidak ikut terbakar, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Mungkin hasil yang didapat
dari sana tidak banyak.”
Santo, masyarakat biasa, Dusun Jurangsempu, 29 Juli 2003
“….Bahkan saat kebakaran itu terjadi banyak masyarakat desa yang menjual kambingnya
karena tidak bisa memberi makan soalnya rumput yang ada di hutan ikut terbakar…”
Ali, Mantri Hutan, Dusun Sekarputih, 1 Agustus 2003
“Kerugian ditanggung seluruh masyarakat, sebagian masyarakat pekerjaannya memang
menjadi penyadap getah pinus itu, sekarang mereka tidak bisa menyadap getah lagi
karena sebagian besar telah terbakar. Selain itu dampak pembakaran itu kan membuat
kekeringan semakin buruk, mata air semakin sulit kalau musim kemarau. …Masalah
kekurangan air sekarang ini saya kira pasti berhubungan dengan pembakaran hutan.
Sejak hutan itu terbakar, sumber air banyak yang hilang. Dulu, walau musim panas tidak
seburuk 2 tahun terakhir ini. Jadi air itu tetap ada walaupun kecil. Tetapi sejak kebakaran
itu sumber air banyak yang hilang.”
Juri, Tokoh Masyarakat, Dusun Kliyur, 1 Agustus 2003
“.... di ladang sedang ditanami singkong, tetapi hasilnya tidak sebanyak dulu. [Q: Kenapa?]
Kurang air, Mbak. Sumber air semakin kecil, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. ….”
Boinem, masyarakat biasa, Dusun Jurangsempu, 29 Juli 2003
Dalam jangka menengah dan panjang, dampak yang juga mulai terasa adalah berkurangnya
sumber air di sekitar hutan. Dan artinya ini semakin mengganggu hajat hidup lebih banyak
orang lagi. Tanpa kebakaran pun banyak sumber air di sekitar Dusun Jurangsempu dan
Krincing yang mati, apalagi jika hutan yang berfungsi sebagai reservoir habis, maka habislah
air kehidupan itu.
Hingga saat ini kasus ini masih mengambang. Upaya mencari pelaku pembakaran belum
menemukan titik temu. Kasus ini merupakan PR (pekerjaan rumah) yang besar bagi Perhutani.
Tindakan kekerasan yang menimbulkan kerugian material ini harus segera diatasi karena telah
51
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
mengganggu keberlangsungan hidup masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan. Selain itu,
jika ketegangan antara Perhutani dan masyarakat Dayakan yang tinggal di sekitar hutan tidak
segera diatasi dan dicarikan solusi, tidak mustahil kalau kasus yang sama akan berulang dan
menimbulkan dampak negatif yang lebih parah lagi.
Peneliti: Cici Novia Anggraini, Imron Rasyid and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
52
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupatan Ponorogo
Penulis: Novia Cici Anggraini
Kronologi Kasus:
Ketika Inang Tak Lagi Mengayomi Asuhannya
Tanggal Kejadian
Sejak tahun 1970an Kasus tukar guling (ruislag) tanah di Ogal-Agil [nama sebuah
lingkungan di dusun Jurangsempu] antara pemerintah desa
Dayakan dengan Perhutani
1998 Kasus Pembukaan Jalan ke Dusun Watuagung
1998 Kasus Pelebaran Jalan ke Dusun Jurangsempu
Maret 2002 Pemilihan Kepala Desa
Mei - Agustus 2001 Pertemuan di Balai Desa antara Pemerintah Desa Dayajkan,
Perhutani, Pemerintah Kecamatan dan tokoh masyarakat.
September 2002 Pembakaran Hutan
(Oktober 2002)
Setelah Kebakaran Sinder mencari pelaku Mantri Hutan (Polisi Hutan) mencari
pelaku.
Setelah upaya Pelaku tidak tertangkap, sampai sekarang tidak diketahui
pencarian siapa pelakunya.
53
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
Tanah Warisan itu Ternyata Telah Terjual:
PPK Pemicu Konflik Potensial
Ringkasan
“Kenapa H. Rusdi1 menolak tanahnya terkena proyek aberan?... menurut saya salah satu
sebabnya adalah status kepemilikan tanahnya yang bermasalah. Mungkin dia kuatir
kalau proyek tersebut akan membuka sejarah kepemilikan tanahnya yang sebenarnya
masih bermasalah....”
Armani, Mantan FD Perempuan Ds. Padelegan
Pada tahun 2000 Desa Padelegan mendapat dana PPK sekitar Rp.60 juta. Dana
tersebut rencananya untuk membangun aberan (plengsengan di pinggir tambak
atau pantai) yang membentang di sepanjang jalan kampung antara Dusun Laok
Tambak sampai Dusun Muara, serta gorong-gorong di sepanjang jalur tersebut.
Pada saat akan dimulai kegiatan pembangunannya, ternyata H. Rusdi, warga
Dusun Laok Tambak, menolak tanah tambaknya terkena proyek. Padahal dalam
Musbangdes sebelumnya dia ikut hadir dan pada saat itu tidak ada penolakan.
Akhirnya lokasi aberan dipindah dari Dusun Laok Tambak ke Dusun Daya Tambak,
sedangkan lokasi aberan di Dusun Muara tetap seperti rencana semula. Dibalik
penolakan tersebut ternyata ada sejarah kepemilikan tanah yang bermasalah.2
Kasus penolakan pemilik tanah untuk proyek fisik PPK ini sangatlah menarik
untuk kita amati karena kasus tersebut memberi pelajaran kepada kita tentang
proses-proses musyawarah yang ternyata masih sangat dipengaruhi oleh elite
capture. Selain itu, ia juga mengindikasikan betapa pembangunan dapat memicu
konflik tanah yang dorman (tidur/tidak aktif) dan betapa sebaliknya pemilikan tanah
dapat menghambat kebutuhan pembangunan.
1. Sekilas tentang Desa Padelegan
Desa Padelegan terletak di pesisir selatan Pulau Madura; wilayahnya berbatasan langsung
dengan Selat Madura di sisi selatan; berjarak sekitar tujuh kilometer dari pusat kecamatan
dan sekitar 15 kilometer dari pusat kota kabupaten. Desa Padelegan terdiri dari lima dusun
(orang setempat kadang-kadang menyebutnya kampung). Tiga dusun diantaranya (Dusun
1 H. Ramli adalah penduduk asli Desa Padelegan. Dialah yang menolak tanah tambaknya terkena proyek
pembangunan aberan. Kebetulan tanah tambak miliknya membentang di sepanjang jalan kampung di
Dusun Laok Tambak dimana aberan akan dibangun.
2 Dibanding kasus-kasus yang lain, Kasus Tanah merupakan kasus yang paling menonjol di Desa
Padelegan.
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
54
Laok Tambak, Daya Tambak dan Muara) berada di dekat pantai; tanah tambak mendominasi
pemanfaatan lahan di ketiga dusun tersebut; sebagian besar penduduknya bekerja sebagai
nelayan atau petambak. Dua dusun yang lain (Dusun Bangkal dan Modung) letaknya agak
jauh dari pantai; wilayahnya didominasi sawah atau tegal tadah hujan; penduduknya banyak
yang bekerja sebagai petani. Selain nelayan, petambak dan petani sawah/tegal, penduduk
Desa Padelegan banyak yang bekerja sebagai pegawai.
Pada musim hujan (Oktober–Maret) tanah tambak digunakan untuk memelihara ikan dan
pada musim kemarau (April–September) berubah menjadi ladang garam. Sedangkan sawah/
tegal dimanfaatkan untuk menanam padi atau jagung pada musim hujan dan berubah menjadi
ladang tembakau pada musim kemarau.3 Ada sebuah fenomena yang menarik berkaitan
dengan siklus kehidupan ekonomi para nelayan di Desa Padelegan sebagaimana yang
diungkapkan oleh informan berikut ini:
“Kalau sedang musim paceklik [tidak ada ikan di perairan sekitar Desa
Padelegan] seperti sekarang ini para nelayan pergi ke Dungkek (nama
sebuah kawasan nelayan di Kabupaten Sumenep) untuk mencari ikan.
Disana mereka menetap 3–4 bulan dan akan balik pulang kalau disini sudah
musim ikan lagi ... Makanya sekarang ini kampung sepi, banyak ‘janda’
[sebutan guyonan untuk istri nelayan yang ditinggal pergi suaminya ke
Dungkek]…. Ada juga yang istrinya ikut ke Dungkek”
Armani, Mantan FD Perempuan, 15 Desember 2003
2. Latar Belakang Masalah Tanah: PPK sebagai Pemicu
Pada tahun 2000 Desa Padelegan mendapat dana PPK sebesar 60 juta rupiah.4 Dana tersebut
digunakan untuk membangun aberan (plengsengan di pinggir tambak atau pantai) yang
membentang di sepanjang jalan kampung antara Dusun Laok Tambak sampai Dusun Muara.5
Termasuk juga untuk membangun/ memperbaiki gorong-gorong yang ada di sepanjang jalur
aberan tersebut.
3 Lihat laporan Demografi Profil Desa Padelegan.
4 Desa Padelegan dua kali mendapat dana PPK, yaitu pada tahun 2000 dan 2001 (PPK tahun kedua dan
ketiga di Kecamatan Pademawu). Pada tahun 2000 desa tersebut mendapat dana sekitar 60 juta rupiah
untuk pmbangunan aberan (plengsengan di pinggir tambak atau pantai) dan pada tahun 2001 mendapat
dana sekitar 79 juta rupiah untuk pengadaan air bersih (pemasangan jaringan pipa untuk air bersih).
5 Wawancara No. 1210, Kepala Desa Padelegan.
55
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
“Melalui Musbangdes II di Desa Padelegan (tahun 2000) disepakati bahwa
prioritas usulan yang akan diajukan ke UDKP II adalah pembangunan
aberan dan gorong-gorong di Kampung (Dusun) Laok Tambak dan
Muara.... Kedua kampung tersebut berada di tepi pantai, menghadap ke
laut.... Rencananya aberan tersebut akan dibangun di sepanjang jalan
kampung yang berbatasan langsung tambak/laut... “
Armani, Mantan FD Perempuan, 15 Desember 2003
Sesuai dengan mekanisme yang berlaku di PPK, pengambilan keputusan di tingkat desa tentang
berbagai hal lain yang berkaitan dengan PPK dilakukan melalui forum Musbangdes. Begitupun
yang berlaku di Desa Padelegan. Namun demikian peran Kepala Desa sangatlah menentukan
pada keputusan akhir, sebagaimana yang secara lugas disampaikan oleh informan berikut ini:
“… Usulan tersebut diputuskan oleh Kepala Desa dalam forum
Musbangdes, namun sebelumnya masing-masing dusun diminta
mengajukan usulannya tetapi kita sosialisasikan bahwa usulan tersebut
belum tentu disetujui. Dan kalau tidak disetujui dusun-dusun jangan
kecewa…. Terjadi perdebatan seru dalam forum tersebut, lalu kemudian
masing-masing dusun menyerahkan keputusan akhir ke Kepala Desa….
Secara prosedur tidak ada perbedaan antara PPK dengan yang biasa
dilakukan oleh masyarakat desa dalam pengambilan keputusan, prosesnya
semua diambil berdasarkan musyawarah meskipun keputusan akhir di
tangan Pak Kades…”
H. Sukarman, Mantan FD Tahun Kedua, 14 Desember 2003
Desa Padelegan bukanlah satu-satunya tempat dimana peran Kepala Desa begitu dominan
dalam pengambilan keputusan. Di banyak desa yang lain hal yang sama juga terjadi.6 Oleh
karena itu bukanlah suatu kebetulan apabila ternyata proyek PPK yang dilaksanakan di desadesa
tersebut berlokasi di sekitar tempat tinggal atau berhubungan dengan kepentingan Kepala
Desanya. Pada tahun 2000, misalnya, proyek PPK di Desa Padelegan adalah pembangunan
aberan yang berlokasi di sepanjang jalan di depan rumah Kepala Desa; dan pada tahun
2001 proyek pengadaan air bersih juga berlokasi di sekitar tempat tinggal Kepala Desa.
Meskipun untuk masing-masing proyek tersebut ada alasan yang sangat rasional sebagai
justifikasi, tapi bagaimanapun juga terpilihnya proyek tersebut sebagai prioritas tidak terlepas
dari peran Kepala Desa.7
Orang miskin dan perempuan termasuk kelompok masyarakat yang tidak begitu antusias
mengikuti proses-proses musyawarah tersebut. Seringkali mereka tidak hadir karena berbagai
alasan. Komentar dari mantan FD berikut ini setidaknya menggambarkan hal tersebut:
6 Lihat laporan pelaksanaan PPK di beberapa desa di Kecamatan Proppo pada Phase 2B.
7 Lihat Wawancara No. 1217, Tokoh masyarakat.
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
56
“… Pada awalnya semua warga baik orang miskin maupun perempuan
diundang dalam forum Musbangdus maupun Musbangdes, tapi … orangorang
tersebut tidak datang, akhirnya yang mengundang malas. Mungkin
orang miskin atau kaum perempuan tidak hadir dalam forum karena sibuk
mencari ikan di laut …”
H. Sukarman, Mantan FD Tahun Kedua, 14 Desember 2003
Keengganan orang miskin, perempuan dan warga desa biasa dalam forum musyawarah bukan
hanya karena sibuk bekerja. Adanya kecenderungan bahwa dalam forum-forum musyawarah
seperti itu yang mendominasi pembicaraan dan pengambilan keputusan adalah para elite
pemerintah desa dan tokoh masyarakat juga menjadi penyebabnya. Mereka enggan hadir
karena toh pada akhirnya yang membuat keputusan adalah para elite desa dan tokoh
masyarakatnya. Usulan dari warga desa biasa hanya menjadi catatan dalam notulen
musyawarah tanpa ada tindak lanjut. Barangkali mereka kemudian berfikir, lebih baik bekerja
saja daripada membuang-buang waktu.8
Kadangkala forum Musbangdes hanya menjadi sarana untuk memperoleh justifikasi atau
legitimasi dari masyarakat, karena keputusan-keputusannya telah dipersiapkan sebelumnya
oleh sejumlah pihak. Komentar dari Mantan FD Tahun Kedua berikut ini dapat menjelaskan
hal tersebut:
“… Sebelum Musbangdes diadakan, sudah dilakukan pertemuan antara
FD, TPK, TTD, dan Kepala Desa untuk mencari pemecahan masalah.
Dalam forum Musbangdes hanya menyepakati (hasil-hasil dari) forum
yang terjadi sebelumnya.”
H. Sukarman, Mantan FD Tahun Kedua, 14 Desember 2003
Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek. Selain sebagai tenaga kerja, mereka
juga bergotong royong membantu mengirimkan makanan dan minuman untuk orang-orang
yang bekerja. Tidak semua tenaga kerja berasal dari warga desa setempat, sebagian berasal
dari luar desa, terutama untuk tenaga ahlinya (tukang). Material bangunan berupa batu dibeli
dari Kepala Desa karena kebetulan saat itu dia menjadi pengepul batu untuk program PPK.9
Pelaksanaan PPK di Desa Padelegan ternyata tidak terlepas dari adanya penyelewengan,
khususnya dalam hal penggunaan dana. Pernyataan-pernyataan dalam Kotak 1 di bawah ini
sedikit banyak dapat menjelaskan hal tersebut. Pemotongan dana proyek oleh berbagai
pihak tampaknya telah menjadi rahasia umum, bahkan dalam konteks tertentu hal tersebut
8 Lihat Wawancara No. 1209, Ketua BPD Padelegan; Wawancara No. 1214, Mantan FD tahun kedua;
Wawancara No. 1217, Tokoh masyarakat; Wawancara No. 1218, Kepala Dusun Modung.
9 Ibid.
57
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
sudah menjadi semacam ‘kebiasaan umum’ dan dianggap sebagai sebuah ‘kewajaran’ bukan
lagi sebuah kesalahan atau penyelewengan. Melihat pernyataan-pernyataan dalam Kotak 1
di bawah ini kita bisa menyimpulkan bahwa penyelewengan bukan hanya terjadi di Desa
Padelegan, tapi kemungkinan besar juga terjadi di desa-desa lain.
Kotak 1: Penyelewengan Dana PPK yang Sudah Menjadi Rahasia Umum
“… Baik PPK atau proyek lainnya sama saja, dana yang diterima masyarakat tidak
pernah utuh, selalu terpotong disana-sini … semuanya minta bagian. Dalam PPK
kenyataannya pihak kecamatan maupun FK juga minta bagian…ada ‘setoran’ untuk pihak
kecamatan dan FK. Jumlahnya tidak ditentukan pasti….tapi itu tidak dilakukan secara
terus terang … ya kami harus tahu sendirilah. Kalau tidak begitu nanti desa kami tidak
akan diberi proyek…”
“Sebenarnya hal semacam itu salah, tapi bagaimana lagi … itu sudah menjadi kebiasaan
umum…ya kami khan harus ikut bagaimana kebiasaan umum yang berlaku. Kalau tidak
begitu nanti kami sendiri yang akan dipersulit…. Orang disini bilang ‘Ya tidak apa-apa
lah kalau hanya dibuat cuci muka, tapi jangan sampai dibuat mandi’ [maksudnya: kalau
korupsi sedikit atau kecil-kecilan masih ditolerir, asalkan jangan terlalu besar]”
Sardi, Kepala Desa Padelegan, 12 Desember 2003
“.... Perilaku orang-orang Pemda melalui staf-staf Kecamatan itu yang membuat saya
bingung untuk melakukan pelaporan penggunaan dana program … karena orang-orang
itu meminta dana siluman [istilah menyebut dana yang tidak jelas pos pengeluarannya,
dalam konteks ini dana tersebut digunakan sebagai ilegal fee untuk staf kecamatan]
sebesar 3-5% dari total bantuan yang diterima oleh desa, hal tersebut berlaku untuk
semua desa di Pademawu, katanya instruksi dari Pemda. Ketika saya tulis dengan fee
untuk staf pemda yang datang ke desa, mereka marah dan meminta untuk mengganti
dengan menuliskan pos tersebut ke pembelian bahan-bahan material dengan jumlah yang
sedikit dilebihkan dari harga yang sebenarnya [mark up].... Saya mencoba minta pendapat
Kepala Desa saat itu mengenai dana siluman tersebut, tanggapan Kepala Desa saat itu,
“Biarkan saja lah karena kita juga butuh akses orang-orang Kecamatan apabila ada program
lagi supaya desa ini menjadi prioritas….”
“…. tidak ada yang berani mempertanyakan hal tersebut ke FK karena saya menganggap
FK pasti sudah tahu karena FK kan berkantor di kecamatan….”
H. Sukarman, Mantan FD Tahun Kedua, 14 Desember 2003
“… Pelaksanaan PPK yang kemarin dikenakan pemotongan dana PPK sebesar 3% dari
pihak Kecamatan dan dikumpulkan ke Kepala Desa Murtajih, katanya sudah merupakan
prosedur yang ditetapkan oleh kecamatan sebelumnya….”
“….ada manipulasi pengadaan bahan pondasi…. Mungkin oleh tukangnya yang kerja
sama dengan pelaksananya….”
Sumina dan Wanda, Pengguna Program, 15 Desember 2003
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
58
Pembangunan aberan dan gorong-gorong pada akhirnya memang bisa diselesaikan sesuai
dengan jadwal, namun waktu itu terjadi sebuah permasalahan krusial yang menyebabkan
pembangunan aberan harus berubah dari rencana. Yang menjadi masalah adalah proyek
untuk Dusun Laok Tambak. H. Rusdi yang tanah tambaknya akan terkena proyek tibatiba
menolak. Dia tidak bersedia kalau tanah tambaknya terkena proyek.
“Tanpa alasan yang jelas H. Rusdi tiba-tiba menolak kalau tanahnya terkena
proyek aberan. Padahal tanpa kesediaan H. Rusdi pembangunan aberan
yang berlokasi di Dusun Laok Tambak tidak mungkin bisa dilaksanakan,
karena lokasinya kebetulan berada di sepanjang tanah milik H. Rusdi ...
Saya sendiri tidak tahu apa sebenarnya alasan H. Rusdi menolak...”
Sardi, Kepala Desa Padelegan, 13 Desember 2003
3. Pemilik Tanah Menolak, Pembangunan Dialihkan
H. Rusdi adalah penduduk asli Desa Padelegan. Pekerjaan utamanya adalah pengepul ikan
(prebus)10 dan dia termasuk orang kaya di dusunnya. Rumahnya menghadap jalan kampung
Dusun Laok Tambak dimana aberan akan dibangun. Tanah tambak miliknya terletak persis
di depan rumahnya membentang di sepanjang jalan kampung Dusun Laok Tambak, hampir
300 meter panjangnya. Dia bertetangga dekat dengan Kepala Desa. Pada tahun 2000, ketika
PPK pertama kali masuk ke Desa Padelegan, yang manjadi Kepala Desa adalah H. Mahmud
(meninggal dunia sebelum masa jabatannya berakhir). Tahun 2001 diadakan Pilkades
(Pemilihan Kepala Desa) dan yang terpilih adalah Sardi. Kedua Kepala Desa tersebut
bertempat tinggal di Dusun Laok Tambak dan rumahnya bertetangga dekat dengan H. Rusdi.
Pada saat Musbangdes II yang antara lain menyepakati pembangunan aberan sebagai prioritas
usulan yang akan diajukan ke forum UDKP II H. Rusdi juga ikut hadir. Waktu itu tidak ada
penolakan dari H. Rusdi. Dia tidak keberatan atas rencana pembangunan aberan yang
melewati tanah tambak miliknya. Penolakan dari H. Rusdi muncul setelah UDKP II, pada
saat dimana sudah ada kepastian bahwa Desa Padelegan akan mendapat dana PPK senilai
60 juta rupiah untuk pembangunan aberan. Tentu saja penolakan H. Rusdi membuat bingung
banyak pihak karena tanpa kesediaan H. Rusdi maka tidak mungkin aberan di Dusun Laok
Tambak tersebut dibangun.
“Setelah melalui proses Musbangdes dan UDKP akhirnya disetujui bahwa
Desa Padelegan mendapat dana PPK untuk pembangunan aberan dan
gorong-gorong. Semula tidak ada masalah dengan rencana pembangunan
tersebut.... Ketika tim pelaksana [TPK, TTD dan Tim Verifikasi] mulai
10 Istilah prebus digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyebut pekerjaan ‘pengepul ikan’ ’, yaitu
orang yang membeli ikan dari beberapa orang nelayan untuk kemudian dijual ke pabrik pengolahan
ikan.
59
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
melakukan pengukuran, tiba-tiba H. Rusdi menolak/ tidak bersedia kalau
tanahnya dilewati proyek aberan.... Padahal katanya waktu Musbangdes
dulu H. Rusdi ikut rapat dan tidak mempermasalahkan rencana
pembangunan aberan tersebut”
Sardi, Kepala Desa Padelegan, 13 Desember 2003
Tidak begitu jelas apa sesungguhnya alasan H. Rusdi menolak. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari beberapa informan, setidaknya ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab
penolakan tersebut: Pertama, H. Rusdi menolak karena kuatir kalau proyek aberan tersebut
akan membuka sejarah kepemilikan tanahnya yang bermasalah. Apabila dia menandatangani
pernyataan hibah tanahnya, dia kuatir hal itu akan memicu munculnya masalah dengan para
ahli waris tanah yang kini dikuasainya.
“Kenapa H. Rusdi menolak tanahnya terkena proyek aberan? ... menurut
saya salah satu sebabnya adalah status kepemilikan tanahnya yang
bermasalah. Mungkin dia kuatir kalau proyek tersebut akan membuka
sejarah kepemilikan tanahnya yang sebenarnya masih bermasalah…. Dalam
proyek pembangunan sarana fisik di PPK kan salah satu syaratnya adalah
adanya pernyataan hibah atau pernyataan kesediaan dari para pemilik
tanah yang terkena proyek, nah disini tampaknya H. Rusdi kuatir kalau
pernyataan hibah/pernyataan kesediaan atas tersebut akan diprotes oleh
para ahli waris tanah tersebut, karena memang sejarah kepemilikan tanahnya
sebenarnya masih bermasalah”
Armani, Mantan FD Perempuan, 15 Desember 2003
Kedua, adanya konflik tentang batas tanah tambak dan jalan kampung. Menurut keterangan
dari informan, jalan kampung dulunya cukup lebar tapi kemudian terkikis oleh air tambak
sehingga menyempit. Ketika proyek aberan akan dibangun ada rencana untuk melebarkan
jalan tersebut seperti kondisinya semula. Pada saat itulah muncul konflik mengenai batas
tanah antara tanah tambak dengan jalan kampung. H. Rusdi tidak sepakat dengan pelebaran
jalan kampung yang – menurut pendapatnya – akan memakan tanah tambaknya.
“….(Masalahnya adalah) mengenai batas tanah yang akan dibebaskan
untuk proyek aberan [plengsengan]… Dalam Musbangdes disepakati
untuk melebarkan jalan yang akan dibangun aberan, karena jalan tersebut
sekarang mengecil terkikis oleh air tambak, jadi awalnya mengembalikan
luas jalan seperti dulu lagi. Beberapa pemilik tanah yang lain setuju untuk
merelakan beberapa bagian tanahnya diurug [ditimbun dengan tanah]
untuk memperlebar jalan, namun H. Rusdi tidak setuju karena pasti akan
menghabiskan tambaknya…. Saya [FD] sempat bertengkar dengan Paman
saya sendiri, H. Rusdi…. Kemudian saya bilang ke H. Rusdi bahwa bukan
jalannya yang makan tambak, namun tambaknya yang makan jalan karena
jalan tersebut sebelumnya sangat lebar. Mungkin H. Rusdi tersinggung
dengan perkataan saya tersebut…”
H. Sukarman, Mantan FD Tahun Kedua, 14 Desember 2003
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
60
Kalau kita amati penjelasan dari kedua informan di atas, kedua alasan tersebut muncul
beriringan dan saling menguatkan. Baik konflik mengenai batas tanah maupun status
kepemilikan tanah memicu penolakan H. Rusdi terhadap pembangunan aberan yang melewati
tanah tambaknya. Permasalahan menjadi krusial karena Desa Padelegan telah dipastikan
mendapat dana PPK dan dana tersebut siap untuk dicairkan, sementara itu H. Rusdi tetap
bersikeras menolak tanahnya dilewati proyek aberan. Setelah upaya musyawarah dan
pendekatan personal tidak berhasil merubah pendirian H. Rusdi, akhirnya lokasi pembangunan
aberan terpaksa dipindah dari yang semula di Dusun Laok Tambak dipindah ke Dusun Daya
Tambak dengan nilai dan volume bangunan yang sama. Kotak 2 berikut ini menggambarkan
penolakan pemilik tanah, proses resolusi konflik dan keputusan untuk mengalihkan lokasi
pembangunan.
Kotak 2: Penolakan Pemilik Tanah dan Pengalihan Lokasi Pembangunan
“Para petugas PPK (FD, FK, PJOK, dan TPK) dengan dibantu oleh Kepala Desa dan
masyarakat tokoh-tokoh masyarakat setempat berusaha melakukan pendekatan ke H.
Rusdi, namun dia tetap menolak... Akhirnya lokasi pembangunan aberan dipindahkan ...
dari Kampung (Dusun) Laok Tambak ke Kampung Daya Tambak. Sedangkan untuk yang
berlokasi di Kampung Muara tetap seperti semula, tidak ada perubahan”
Sardi, Kepala Desa Padelegan, 13 Desember 2003
“Klebun dan para tokoh masyarakat setempat melakukan pendekatan ke H. Rusdi. Mereka
memberikan penjelasan dan semacamnya kepada H. Rusdi tentang pentingnya aberan
tersebut ... tapi tampaknya upaya itu tidak berhasil. H. Rusdi tetap menolak pembangunan
aberan yang mengenai tanah tambaknya... Oleh karena dana PPK sudah terlanjur disetujui
dan sudah mulai dicairkan, maka akhirnya pembangunan aberan dialihkan....”
Armani, Mantan FD Perempuan, 15 Desember 2003
“…. Akhirnya diputuskan untuk tidak melewati tanah milik H. Rusdi, daripada nanti timbul
masalah dengan saudara sendiri. Sehingga proyek melewati [menghindar dari] tanah H.
Rusdi dengan harapan suatu saat H. Rusdi akan berubah pikiran setelah melihat
keuntungan dari pembangunan proyek tersebut.”
H. Sukarman, Mantan FD tahun Kedua, 14 Desember 2003
Dengan dialihkannya lokasi pembangunan aberan di satu sisi memang bisa segera
menyelesaikan masalah, namun di sisi lain hal tersebut menimbulkan gerutuan dan ketidakpuasan
masyarakat. Dusun Laok Tambak dan Dusun Muara letaknya berbatasan. Jalan kampung
dimana rencananya aberan akan dibangun letaknya lurus bersambung dari arah timur ke
barat. Dusun Laok Tambak terletak di sebelah timur Dusun Muara dan merupakan pintu
masuk ke Dusun Muara. Oleh karena itu ketika aberan di Dusun Laok Tambak tidak jadi
dibangun, kondisi jalannya tetap sempit dan terkesan kumuh, sangat kontras dengan kondisi
61
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
di Dusun Muara pasca pembangunan aberan dengan jalan yang lebar dan terkesan rapi.
Masyarakat menyalahkan H. Rusdi yang dianggap sebagai penyebab kondisi tersebut.
“… Rencana proyek harus dirubah, karena terputus di depan rumah H.
Rusdi. Sehingga hasilnya tidak begitu sempurna…”
H. Sukarman, Mantan FD Tahun Kedua, 14 Desember 2003
“Jalan Kampung Laok Tambak dan Muara itukan satu jalur, jadi begitu
aberan di Kampung Muara selesai dibangun dan jalan kampungnya
kelihatan bersih dan rapi, maka segera tampak kesan kumuh pada
pemandangan di Kampung Laok Tambak.... Akibatnya masyarakat banyak
yang menggerutu dan menyalahkan H. Rusdi yang dianggap sebagai
penyebab gagalnya pembangunan aberan di Kampung Laok Tambak....”
Sardi, Kepala Desa Padelegan, 13 Desember 2003
Entah karena sumpek oleh gerutuan tetangganya atau kerena kepentingan lain, yang jelas satu
tahun kemudian H. Rusdi dengan biaya pribadi membangun aberan di lokasi yang dulunya
dia tolak. Kepala Desa Padelegan bercerita bahwa dialah yang mendorong H. Rusdi untuk
membangun aberan tersebut. Kebetulan H. Rusdi akan menikahkan anaknya yang sedang
sekolah kedokteran di sebuah universitas di Surabaya dengan seorang taruna akademi militer,
hal itu dijadikan entry point untuk mendorong H. Rusdi segera membangun aberan agar
jalan kampung di depannya nanti tidak terkesan kumuh pada saat dia menerima tamu
undangannya. Rupanya upaya Kepala Desa tersebut cukup efektif.
“22Kira-kira satu tahun kemudian H. Rusdi membangun sendiri [dengan
biaya pribadi] aberan di sepanjang jalan Kampung Laok Tambak, tepat di
lokasi yang dulunya dia tolak .... Dengan dibangunnya aberan tersebut
kampung kelihatan bersih dan rapi”
Sardi, Kepala Desa Padelegan, 13 Desember 2003
4. Tanah Warisan itu Dijual secara Diam-diam
Berkaitan dengan sejarah kepemilikan tanah H. Rusdi yang dianggap bermasalah, Mantan
FD Perempuan Desa Padelegan mengatakan bahwa tanah tambak tersebut dulunya adalah
tanah warisan keluarganya dan dia termasuk salah satu ahli warisnya. Kotak 3 di bawah ini
menjelaskan secara singkat tentang permasalahan tersebut:
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
62
Kotak 3: Sejarah Tanah Warisan yang Dikuasai H. Rusdi11
“Tanah milik H. Rusdi itu berpeluang menjadi sengketa tanah di kemudian hari.... Tanah
itu dulu milik keluarga saya, jadi saya sebenarnya masih punya hak waris atas tanah
itu... Awalnya tanah itu digarap/ dikuasakan kepada keluarga sepupu saya. Setelah
sepupu saya itu meninggal, anak-anaknya menyewakan tanah tersebut kepada H. Rusdi”
“Saya dengar kabar rupanya anak tertua dari sepupu saya sering meminjam uang kepada
H. Rusdi... Dia itu memang pengangguran dan istrinya suka menuntut macam-macam.
Mungkin untuk memenuhi tuntutan istrinya itu akhirnya dia sering meminjam uang ke H.
Rusdi.... Pada akhirnya hutangnya kan semakin lama semakin besar. Mungkin karena
tidak lagi mampu membayar hutangnya, maka tanah tersebut akhirnya sekalian dijual ke
H. Rusdi”
“Saya sendiri, juga keluarga saya, baru tahu kalau tanah tersebut telah dibeli ke H. Rusdi
setelah kasus penolakan pembangunan aberan itu terjadi.... Sebenarnya kakek dulu
telah berwasiat agar tanah tersebut tidak dijual, tapi sekarang sudah terlanjur.... Anehnya
H. Rusdi sekarang ini katanya sudah memiliki sertifikat hak milik atas tanah tersebut,
padahal para ahli warisnya, termasuk saya, tidak pernah diberi tahu apalagi memberikan
persetujuan untuk penjualan tanah tersebut, bahkan pihak desa juga tidak pernah tahu
adanya transaksi jual beli itu... Suatu saat saya pernah bilang ke istrinya H. Rusdi bahwa
suatu saat nanti tanahnya akan jadi masalah...dia diam saja”
Armani, Mantan FD Perempuan, 15 Desember 2003
Masalah tanah merupakan masalah yang paling banyak terjadi di Desa Padelegan.12 Penguasaan
tanah tambak oleh H. Rusdi merupakan salah satu contohnya. Umumnya permasalahan muncul
akibat administrasi tanah yang tidak baik. Tidak jarang orang melakukan transaksi jual beli
tanah atau pengalihan hak atas tanah tanpa dilengkapi bukti-bukti legal, sehingga memicu
konflik di kemudian hari, terutama ketika para ahli waris tanah tersebut menuntut haknya.
Tidak jarang pula BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai instansi yang berwenang
mengeluarkan sertifikat tanah bertindak gegabah. Mereka mengeluarkan sertifikat tanpa
pengecekan sejarah tanah yang teliti di lapangan, sehingga ketika sertifikat dari BPN dikeluarkan,
justru memicu timbulnya konflik tentang status kepemilikan tanah tersebut.
11 Informasi dalam Kotak 3 ini disampaikan oleh Ibu Asmaiyah, Mantan FD Perempuan Desa Padelegan,
yang kebetulan adalah salah satu ahli waris dari tanah tambak yang sekarang dikuasai oleh H. Ramli
yang dianggap bermasalah tersebut.
12 Wawancara No. 1211, Sekretaris Desa Padelegan.
63
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
5. Kesimpulan
• Meskipun proyek pembangunan aberan dan gorong-gorong di Desa Padelegan bisa
diselesaikan sesuai dengan jadwal, namun harus berubah dari rencana semula. Lokasi
pembangunan dialihkan dari Dusun Laok Tambak ke Dusun Daya Tambak akibat adanya
penolakan pemilik tanah.
• Ada dua alasan yang mendasari penolakan tersebut, pertama adanya kekuatiran pemilik
tanah kalau proyek aberan tersebut akan membuka sejarah tanahnya yang bermasalah.
Kedua, akibat adanya konflik mengenai batas tanah tambak dan jalan kampung yang
akan dilebarkan terkait dengan pembangunan aberan.
• Peran Kepala Desa dan elite desa mendominasi proses pengambilan keputusan. Seringkali
keputusan sudah diambil di luar forum oleh para elite desa sebelum Musbangdes
berlangsung, sehingga forum Musbangdes terkesan hanya menjadi sarana untuk justifikasi
dan legitimasi bagi keputusan para elite desa.
• Dalam pelaksanaan PPK terjadi penyelewengan-penyelewengan, baik di tingkat desa
maupun kecamatan.
• PPK menjadi pemicu – bukan penyebab – terjadi konflik tanah.
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan
Penulis: Saifullah Barnawi
Peneliti: Saifullah Barnawi and Endro Probo Crenantoro; Koordinator: Rachael Diprose and Saifullah Barnawi
64
Kronologi Kasus:
Tanah Warisan Itu Ternyata Telah Terjual
Tanggal Kejadian
2000 Musbangdes mengutamakan aberan sepanjang jalan pantai antara
dua dusun
2000 H. Rusdi menolak tanahnya dibangun aberan
2000 Upaya formal dan personal attempts dilakukan untuk meyakinkan H.
Rusdi akan keuntungannya, tapi tidak membawa hasil
2001 H. Musdi membangun jalan pada bagian tanahnya sendiri dan dengan
biaya sendiri.
65
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Bukan Sekedar Tanah Ulayat:
Konflik Tanah di Desa Golo Meni
Ringkasan
Konflik Tanah Sekolah dan Tanah Lumbung Desa antara Orang Manus dan
Pemerintah Desa Golo Meni, SDK Mukun I, SDK Mukun II dan Gereja sudah
berlangsung sejak tahun 1972 dan sampai sekarang belum terselesaikan.
Rencana pemindahan lokasi pasar dari Lapangan Bola ke sebelah timur lapangan
bola telah memicu Orang Manus untuk melakukan teror dan ancaman
pembunuhan terhadap anggota AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia)
yang sedang menyiapkan Lokasi Pasar tersebut pada tahun 1991. Demikian
juga pembentukan Forum Adat Mukun yang tidak melibatkan orang Manus pada
awal Januari tahun 2003 telah memicu timbulnya Ancaman Perang Tanding antara
Orang Manus dan orang-orang Desa Golo Meni tanggal 4 Januari 2003.
Ketegangan antara kedua kelompok ini berhasil diredam untuk sementara lewat
Mediasi oleh berbagai pihak terutama Gereja Katolik. Namun bila Penyelesaian
Secara Adat dan Damai tidak terwujud maka pertumpahan darah antara sesama
saudara “Wau Pat” tidak akan dapat dihindari.
1. Pengantar: Sejarah dan Hubungan Kekerabatan
Pada tahun 1991 ada rencana Kepala Desa Golo Meni untuk memindahkan lokasi Pasar
Mukun (yang diadakan setiap Hari Jumat) dari lapangan bola ke sebelah timur lapangan bola.
Rencana tersebut bertepatan dengan kedatangan sejumlah 38 anggota AMPI dari Kupang
yang mau melaksanakan Kerja Bakti Sosial. Kepala Desa Golo Meni meminta bantuan mereka
untuk membersihkan dan membuat petak atau terasering di lokasi sebelah timur lapangan
bola untuk membangun tenda-tenda pasar. Pada hari kedua, ketika mereka sedang bekerja
datanglah serombongan besar orang Manus.
“Mereka membawa parang, pacul dan skop dan langsung menterror
anggota AMPI dan mengancam akan membunuh mereka kalau melanjutkan
pekerjaan. Para anggota AMPI lari terbirit-birit dan mencari perlindungan.
Orang-orang Manus yang datang itu dipimpin oleh Vitalis Jonga dan
Tokoh-Tokoh Adat dan Masyarakat Manus seperti Paul Ndarung (ayah
dari Vitalis Jonga) dan Arkadius Patas. Mereka mencaci-maki Kepala Desa
Golo Meni, membuat pagar, menanam pisang dan membangun rumah sewa
pakai, dan kios-kios, termasuk kios KUD yang masih ada sampai saat ini.”
Nobert Anggal, Mantan Kepala Desa Golo Meni
66
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Untuk dapat memahami peristiwa di atas, kami perlu menghadirkan Sejarah “Wau Pat”. Wau
Pat merupakan empat suku patrilineal yakni: Ngusu, Manus, Mukun dan Deru yang berasal
dari nenek-moyang yang sama yakni Meka La. Karena keperkasaan Meka La dalam menolong
orang Rembong (Suku Asli) untuk membunuh Lusa dan Lagor, maka orang Rembong
menghadiahkan tanah untuk Meka La.1
Keempat wau tersebut mendapatkan wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Wau Ngusu
dan Wau Manus mendiami wilayah sebelah timur Kali Wae Mokel atau Ata Awo Wewo
sedangkan Wau Mukun dan Wau Deru mendiami wilayah sebelah barat Kali Wae Mokel
atau Ata Sale Wewo.2
Kotak 1: Tanah Wau Manus
Tanah Wau Manus mencakup wilayah mulai dari Wae Ruwuk sebelah timur Wae Mokel
lalu masuk Susang Naru di Wae Mokel, terus ke sebelah barat Kali Wae Mokel, masuk
Wae Redong dekat Persawahan Keok, Waru Leok, Pong Taga, bagian timur Kampung
Ketal, Parimaza, masuk Wae Weer, turun loleng (sepanjang) Wae Weer, sampai Wae
Mokel, terus ke sebelah timur Wae Mokel menuju Nengga, Tango, Taor dan mencakup
semua Lodok (wilayah tanah suku) MOBONS (Mokel, Bolur, Nangge dan Sewul).3
Dalam pembagian wilayah administrasi pemerintahan, Kampung Manus dan Kampung Ngusu
termasuk dalam wilayah Desa Rana Mbeling. Kampung Rembong dan Kampung Mukun
termasuk dalam wilayah Desa Golo Meni. Sedangkan Kampung Deru, Pedak dan Podol
masuk wilayah Desa Mokel. Kewargaan ketiga desa administratif ini tidak ditentukan
berdasarkan wilayah geografis melainkan karena keturunan (klan). Karena itu tindakan Suku
Manus di atas akan berhadapan dengan klan Deru dan Mukun serta Desa Golo Meni yang
didalamnya termasuk Rembong.
2. Tanah Sekolah – Tanah Poliklinik – Tanah Lumbung Desa
Pada waktu Manggarai berbentuk Kerajaan (Raja Bagung), Pemerintah Hindia Belanda
bekerja sama dengan Gereja Katolik mulai merintis pembangunan Sekolah Rakyat (lihat Kotak
2).
“Sekolah Rakyat tersebut didirikan di Taga dengan gurunya bernama Guru
Major;4 namun kemudian dipindahkan ke Songi “demikian Nabor Kelang.
Yosef Juni, Ketua BP3, SDK Mukun II, Ketua Forum Adat Mukun
1 Wawancara No. 27, Yosef Juni, Ketua BP3 dan Forum Adat Mukan dan Wawancara No. 20, Flavianus
Garing, Warga.
2 Wawancara No. 27.
3 Wawancara No. 20.
4 Diary Peter R. Manggut.
67
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kotak 2: Pemerintahan Abad 16
Pada kurang-lebih abad 16, ketika Sultan Goa dan Bima menguasai Manggarai, mereka
menetapkan sistem dibawah ini:
Kerajaan – Kedaluan – Gelarang – Kampung
Wilayah Manggarai pada waktu itu dikepalai oleh Raja Todo. Dibawah Raja terdapat 39
Kedaluan yang masing-masingnya diperintah oleh seorang Dalu. Sedangkan Gelarang
berada dibawah Kedaluan yang menguasai wilayah tertentu dan bertugas untuk
menjembatani kepentingan Kedaluan dan masyarakat. Dibawah Gelarang adalah Kampung
yang dipimpin oleh seorang Kepala Kampung. Kedaluan Manus pun demikian. Namun
sejak tahun 1969 Sistem Kedaluan telah dihapus dan diganti dengan Sistem Desa/
Kelurahan.
Dalam tahun 1921 terjadilah penyerahan tanah oleh Suku Manus kepada Dalu Nderas.
Karena itu lokasi SR dipindahkan dari Songi ke Mukun. Namun, informan lain mengatakan
bahwa tanah sekolah ini bukan hanya diserahkan oleh Wau Manus melainkan oleh keempat
Wau (klan): Manus, Ngusu, Mukun dan Deru.5
Penyerahan tanah di atas menggunakan “Upacara Adat Kepok” dengan hukumnya “Rosang:
Ito wae ilur toe ngaseng lait kole” (Rosang: Air liur yang sudah dibuang tidak dapat dijilat
kembali). Itu merupakan Sumpah Adat dan sekaligus kutukan, “Sei lait kole ngaseng mata
ribok” (siapa yang menjilatnya kembali akan mati kutuk). Setelah tanah diserahkan baru
kemudian sekolah dibangun di atasnya. Sekolah Rakyat Mukun adalah Sekolah Induk seluruh
Kedaluan Manus.6
Pada tanggal 22 April tahun 1956 terjadi penyerahan tanah oleh orang Manus untuk mendirikan
Poliklinik seluas 65 m x 51 m yang terletak di sebelah timur lapangan bola (Lihat Kotak 1).
Pada tahun 1957, Dalu Manus (Domi Perenta) memindahkan Kantor Hamente Manus dari
Ketal ke sebelah timur lapangan bola.
Pada tanggal 19 Mei 1974, Pastor Paroki Mukun, Pater Frans Galis dalam kapasitasnya
sebagai Kepala Cabang SUKMA (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai)
mengadakan rapat bersama Ketua Dewan Pastoral Paroki, Ande Anggal, Ketua POM
(Persatuan Orang Tua Murid) SDK Mukun I, Yan Dima, Ketua POM SDK Mukun II,
Pimpinan Health Center Mukun dan Tokoh Masyarakat. Hasil kesepakatan rapat adalah
“Penukaran Tanah Sekolah dan Tanah Poliklinik untuk pembangunan Health Center.”7
5 Wawancara No. 27.
6 Wawancara No. 27.
7 Wawancara No. 20.
68
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Alasan penukaran tanah sekolah dan tanah poliklinik tersebut adalah karena Misionaris Jerman
membutuhkan tanah seluas 1 hektar untuk membangun Health Center sementara tanah yang
tersedia hanya berukuran 65m x 51m.8 Karena Tanah Poliklinik tidak jadi digunakan sebagai
lokasi untuk membangun Health Center, maka pada tanggal 29 Mei 1983 LKMD Desa Golo
Meni mengadakan rapat bersama Pastor Paroki dan 41 orang Pemuka Masyarakat Golo
Meni dan menghasilkan keputusan untuk menjadikan tanah yang diserahkan pada tanggal 22
April 1956 sebagai lokasi Pasar Mukun. Dalam rapat tersebut diusulkan agar Tanah Poliklinik
yang berukuran 65m x 51m itu peruntukannya dibagi dua, yaitu 47m x 45m untuk Lokasi
Pasar dan 45m x 18m untuk Lumbung Desa (Kantor Desa) Golo Meni. Namun usul tersebut
ditolak dan rapat memutuskan agar tanah seluas 65m x 51m itu seluruhnya dijadikan pasar
sedangkan Lumbung Desa Golo Meni dipindahkan ke Bukit Golo Meni di samping
PUSKESMAS seperti saat ini.9
Tetapi proses penukaran tanah sekolah dan tanah untuk poliklinik, yang kemudian tanah sekolah
dijadikan lagi tanah untuk Pasar dan Lumbung Desa tidak melibatkan orang Manus. Inilah
yang melatar-belakangi konflik tanah umum di Desa Golo Meni! Orang Manus tidak dilibatkan
dalam proses penukaran tanah tersebut karena secara administratif orang Manus adalah rakyat
Desa Rana Mbeling dan berdomisili di wilayah Desa Rana Mbeling. Mereka bukan rakyat
Desa Golo Meni walaupun Hak Ulayat mereka mencakup sebahagian wilayah Desa Golo
Meni.
3. Konflik Tanah Sekolah, Tanah Lumbung Desa Golo Meni, dan Tanah
Pasar
Pada tanggal 26 April 1991 sejumlah Tokoh Masyarakat Manus yaitu: Yohanes Maras,
Arkadius Patas, Anton Mandur dan Yosef Patang menanda-tangani Surat Penyerahan Tanah
di sebelah timur lapangan bola (yaitu tanah sekolah) untuk pasar. Namun pada tanggal 4 Mei
1991 Vitalis Jonga (Anak Sulung dari Paulus Ndarung, Tuan Tanah Manus) membuat surat
penolakan atas penyerahan tersebut dengan alasan para penanda-tangan tidak mewakili orang
Manus.membuat surat penolakan atas penyerahan tersebut. Hal ini memuncak ketika para
anggota AMPI sedang membersihkan tempat di sebelah timur lapangan bola yang akan
dijadikan Lokasi Pasar. Ketika mereka sedang membersihkan tempat tersebut datanglah
serombongan besar orang Manus.
“Mereka membawa parang, pacul dan skop dan langsung menterror
anggota AMPI dan mengancam akan membunuh mereka kalau melanjutkan
pekerjaan. Para anggota AMPI tersebut lari terbirit-birit dan mencari
8 Wawancara No. 23.
9 Wawancara No. 38.
69
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
perlindungan. Orang-orang Manus yang datang itu dipimpin oleh Vitalis
Jonga dan Tokoh-Tokoh Adat dan Masyarakat Manus seperti Paul
Ndarung (ayah dari Vitalis Jonga) dan Arkadius Patas. Mereka mencacimaki
Kepala Desa Golo Meni, membuat pagar, menanam pisang dan
membangun rumah sewa pakai, dan kios-kios, termasuk kios KUD yang
masih ada sampai saat ini”.
Nobert Anggal, Mantan Kepala Desa Golo Meni, Tokoh Masyarakat
Tentang peristiwa tersebut, Kepala Desa Golo Meni membuat laporan ke Camat Kota Komba
dan meminta Pemerintah Kecamatan untuk menyelesaikan masalah tersebut; namun tidak
ada tanggapan. Karena tidak ada tanggapan Kepala Desa Golo Meni kemudian membuat
laporan ulangan yang kedua dan ketiga tetapi juga tidak ada tanggapan.
Berdasarkan Laporan Camat Kota Komba, dalam kunjungan Paskah 1992, Bupati Manggarai,
Gaspar Ehok, meninjau lokasi konflik. Setelah peninjauan, Gaspar Ehok tidak memberikan
komentar apa-apa. Dia hanya berjanji untuk mengutus Camat Kota Komba ke Mukun.
Kemudian Camat Ben Lahur datang ke lokasi dan hanya mengukur Tanah Lumbung Desa.
“Waktu Barnabas Jangga sebagai PLT (Pelaksana Tugas) Kepala Desa
Golo Meni menggantikan Yosef Jama yang sakit, ada dana untuk
merenovasi Lumbung Desa. Ketika pekerjaan renovasi Lumbung Desa
baru berlangsung, pada tanggal 14 Oktober 2002 datanglah Nyonya Sofia
Bro10 bersama orang Manus dan mencegat para tukang yang sedang bekerja
dan bahkan melarang para tukang untuk melanjutkan pekerjaan itu”
Barnabas Jangga, PLT Kepala Desa Golo Meni
Sebagai tindak lanjut dari pencegatan, Sofia Bro bersama orang Manus membangun tembok
di depan dan berdempetan dengan Lumbung Desa.11
Menghadapi peristiwa ini, warga masyarakat Golo Meni memberikan reaksi tidak puas
terhadap tindakan orang Manus dan Sofia Bro dan mereka mau berhadapan langsung secara
fisik dengan orang Manus dan Sofia Bro, tetapi dilarang oleh PLT Kepala Desa, Barnabas
Jangga.12
PLT Kepala Desa Golo Meni melaporkan tentang pengrusakan dan pembuatan pagar di
dalam ruangan Lumbung Desa oleh Sofia Bro dan beberapa orang Manus (termasuk Arkadius
10 Janda Almarhum Lambert Landung, putera Sapang yang menanda-tangani penyerahan tanah poliklinik
pada 22 April 1956
11 Barnabas Jangga (PLT Kepala Desa Golo Meni) melaporkan, “Orang Manus dan Sofia Bro juga
menumbuk tembok yang sudah dibuat dan membuat pagar di dalam Lumbung Desa.” (lihat Wawancara
No. 22, Barnabas Jangga, PLT Kepala Desa Golo Meni).
12 Wawancara No. 22.
70
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Patas, Yan Natas dan Agus Jamung) kepada KAPOLPOS Wae Lengga. Berdasarkan laporan
tersebut, KAPOLPOS Wae Lengga, Silvinus Jerandu, datang melakukan pemeriksaan. Dalam
pertemuan dengan kedua belah pihak, KAPOLPOS Wae Lengga mengakui,
“Betul ada pengrusakan dan pembuatan pagar didalam ruangan Lumbung
Desa”
Dia juga meminta kedua belah pihak (Desa Golo Meni dan Sofia Bro) menunjukkan suratsurat
bukti kepemilikan tanah. Sofia Bro menunjukkan beberapa surat bukti kepemilikan
tanah, namun Kepala Desa Golo Meni belum dapat membuktikan bahwa tanah lumbung
Desa itu adalah tanah untuk kepentingan umum karena 2 peta asli penyerahan tanah tanggal
22 April 1956 itu masih berada di tangan Niko Patur dan Ande Anggal.13
Karena Masalah Tanah Lumbung Desa dan Masalah Tanah Lokasi Pasar yang belum
terselesaikan itu, maka Barnabas Jangga berkonsultasi dengan para tokoh masyarakat Golo
Meni untuk mencari alternatif penyelesaian.14 Dari hasil diskusi itu muncullah ide untuk
membentuk Forum Adat Mukun dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah apa
saja termasuk masalah tanah dan masalah keluarga secara kekeluargaan. Maka awal Januari
tahun 2003 terbentuklah Forum Adat Mukun.15
Namun Forum Adat ini tidak melibatkan orang Manus dan orang Ngusu. Akibatnya orang
Manus berkesimpulan, “Ini pasti soal tanah!”16 dan seorang tokoh yang dihormati orang
Manus, Paulus Ndarung mengatakan,
“Pada tanggal 4 Januari 2003 kami hampir ikut cara Lendo.17 Kami sudah
siapkan parang, tombak dan senjata lain untuk pergi perang di tanah sengketa.
Tapi Orang Manus masih takut Hukum. Mereka tidak sependapat dengan
saya [mereka tidak mengikuti ajakan saya untuk berperang].”
Paulus Ndarung, Mantan Kepala Desa Rana Mbeling, Tomas dan Tuan
Tanah Manus
13 Diary, Peter R. Manggut, 6 Mei 2003.
14 Wawancara No. 23.
15 Susunan Pengurus Forum yaitu: Ketua: Nabor Kelang; Wakil Ketua: Yan Pawo; Wakil Ketua I: David
Ngge; Wakil Ketua II: Niko Patur; Sekretaris I: Petrus Alo Dando; Sekretaris II: Dion Din Sait; Bendahara
I: Simon Sulu; Bendahara II: Emanuel Darmo; dan dilengkapi Seksi Dana, Seksi Hubungan Masyarakat
(HUMAS) dan Seksi Keamanan. (lihat Wawancara No. 27).
16 Wawancara No. 23.
17 Masalah Tanah Lait-Lendo di Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 2 November 2001
yang telah diputuskan di Pengadilan, namun kemudian diselesaikan lewat Perang Tanding yang
mengakibatkan 3 orang meninggal dunia.
71
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sementara itu Yosef Juni melaporkan,
“Pada hari yang sama [4 Januari 2003] orang Mukun dan Rembong (Desa
Golo Meni) dan orang Podol [Desa Mokel] sudah siap [untuk berperang].Kami
nekad. Tetapi orang Manus tidak datang.”
Nabor Kelang, Ketua BP3 SDK Mukun II, Ketua Forum Adat Mukun
Demikianpun masyarakat Golo Meni yang dimotori oleh orang-orang dari Kampung Rembong
mulai bersiap-siaga menghadapi serangan orang-orang Manus.18 Mereka mengatakan,
“Biarkan saja. Nanti pada saat orang Manus datang ukur, baru kami
serang.”
Pater Tarsi Atok SVD, Pastor Pembantu Paroki Mukun, Direktur
SMPK
Lalu pada tanggal 6 Januari 2003 orang Manus membuat Surat Pernyataan Sikap Tua Teno
(Penguasa Tanah) dan Tokoh Masyarakat Manus yang ditujukan kepada Ketua BP3 SDK
Mukun I dan Ketua BP3 SDK Mukun II yang isinya memerintahkan pembongkaran rumahrumah
BP3 Mukun I dan BP3 Mukun II di atas “tanah milik orang Manus” (bandingkan
dengan Peta Penyerahan 22 April 1956).19 Batas waktu pembongkaran sampai dengan tanggal
6 Februari 2003.
4. Upaya Mediasi oleh Gereja
Ketegangan yang terjadi dalam bulan Januari 2003 antara kelompok Mukun, Rembong dan
Podol di satu pihak melawan orang Manus dilain pihak telah mendorong para tokoh masyarakat
di Desa Golo Meni untuk melakukan upaya-upaya rapat untuk mencari solusi damai.20 Selama
diskusi, mereka memutuskan untuk mengajak beberapa tokoh masyarakat Mukun untuk
mencari jalan keluar dari masalah ini. Hasil diskusi menetapkan agar beberapa tokoh
Masyarakat Mukun berangkat ke Manus untuk menemui tokoh masyarakat Manus. Maka
berangkatlah tiga orang wakil tokoh masyarakat Mukun didampingi Pater Tarsi Atok ke Manus
untuk menemui Paulus Ndarung (pimpinan tokoh masyarakat dan tokoh adat Manus). Tiga
orang ini menyalami Paulus Ndarung dengan tata cara adat “Kepok”. Mereka juga diterima
secara adat. Pater Tarsi membuka pembicaraan,
18 Wawancara No. 23.
19 Wawancara No. 38, Paulus Ndarung, Mantan Kepala Desa Rana Mbeling, Tokoh Msyarakat dan Tuan
Tanah Manus.
20 Wawancara No. 23.
72
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“Saya seorang Pastor. Kami ingin tahu apa kemauan orang Manus yang
paling dalam.”
Ande Anggal, Ketua DPP Paroki Mukun, Tokoh Masyarakat Golo
Meni
Menjawab pertanyaan ini Paulus Ndarung dalam wawancara tanggal 17 Mei 2003 mengatakan,
“Kami hanya ingin agar orang Mukun mengakui Hak Ulayat orang Manus
dengan batas-batas yang ditentukan oleh nenek moyang dahulu. Kami
ingin tahu mengapa tanah yang nenek moyang kami serahkan untuk umum
disalah-gunakan? Yang terakhir, kalau orang Mukun tidak mengakui Hak
Ulayat kami, maka pada tanggal tertentu kami akan melaksanakan serangan.”
Paulus Ndarung, Mantan Kepala Desa, pemimpin masyarakat
Jawaban Paulus Ndarung ini mengungkapkan 3 hal penting yang menjadi kunci permasalahan
tanah di Desa Golo Meni:
Pertama, tanah umum yang diserahkan tahun 1921 merupakan milik Hak Ulayat Orang
Manus. Karena itu mengabaikan kehadiran mereka dalam pertemuan dan keputusan yang
menyangkut tanah umum itu sungguh merongrong kewibawaan mereka.
Kedua, orang Manus tidak setuju dengan kebijakan tokoh masyarakat Golo Meni yang tidak
menggunakan tanah penyerahan sesuai dengan maksudnya. Ini berarti mereka tidak setuju
dengan penukaran tanah PUSKESMAS dengan tanah sekolah yang dijadikan Lumbung Desa
dan Pasar.
Ketiga, Pasar Mukun bukan cuma milik Desa Golo Meni.21
Pater Tarsi Atok kembali ke Mukun dan mengadakan rapat dengan para tokoh Mukun.
Pater Tarsi memperlihatkan surat Paulus Ndarung tertanggal 6 Januari 2003 dan menegaskan,
“Ini yang diinginkan oleh orang Manus, akui Hak Ulayat mereka!”
Ande Anggal, Ketua DPP Paroki Mukun, Tokoh Masyarakat Golo Meni
Tidak ada diskusi panjang lebar pada saat itu. Semua yang berbicara mengakui Hak Ulayat
Orang Manus dan kembali ke rumah dengan pikiran masing-masing.22
21 Lihat Wawancara dengan Pater Tarsi Atok dan Wawancara Informal P.Adam Satu dengan Vitalis Jonga
di Ruteng.
22 Ibid.
73
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Langkah selanjutnya, Pater Tarsi, Geradus Radu dan Frans Akam pergi menemui Paulus
Ndarung di Pam (Desa Rana Mbeling), untuk menyampaikan bahwa:
1. Orang-orang di Desa Golo Meni menerima Hak Ulayat orang Manus.
2. Mengenai Retribusi Pasar agar duduk bersama untuk dirundingkan lagi.
Setelah mendengar bahwa orang Golo Meni mengakui Hak Ulayat orang Manus atas tanah di
Desa Golo Meni, Paulus Ndarung menyatakan,
“Tanah yang diserahkan Nenek Moyang dahulu untuk kepentingan
sekolah hanya berukuran 100m x 75m.”
Pater Tarsi Atok SVD, Pastor Pembantu Paroki Mukun, Direktur
SMPK
Dengan adanya perubahan tuntutan, Pater Tarsi langsung mengatakan, “Saya hanya menampung
tuntutan Bapak, yang menerima atau menolak adalah wewenang Bapak Uskup sebagai
Pemimpin Gereja Lokal.”23
Pada hari Jumat tanggal 9 Mei 2003 ada utusan dari Paulus Ndarung datang menemui Pater
Tarsi dan menanyakan bagaimana hasil pembicaraan dengan pihak Keuskupan. Pater Tarsi
menjawab, “Tunggu dulu karena sekarang saya masih sibuk dengan EBTA SMP. Saya sudah
menyerahkan persoalan tersebut kepada Romo Kanis di SUKMA.”24
Pater Tarsi menjanjikan, pertemuan tersebut akan dilaksanakan sesudah Paskah April 2003,
tetapi sampai sekarang belum dilaksanakan.25
Pada saat ini, orang-orang Manus dapat bepergian ke Golo Meni dengan leluasa, demikian
pun sebaliknya. Pada Pesta Paskah 2003 yang lalu tidak tampak tanda-tanda ketegangan
lagi. Sampai saat ini orang Manus dan orang Mukun (Golo Meni) masih menanti-nanti
pertemuan yang sangat menentukan berakhir atau tidaknya perseteruan ini. Dalam pertemuan
yang dinanti-nantikan ini, tokoh-tokoh Manus dan tokoh-tokoh Mukun direncanakan dapat
duduk bersama memecahkan persoalan tanah umum dan tanah sekolah dalam “posisi samasama
menang.”
23 Lihat Wawancara dengan Pater Tarsi Atok dan Wawancara Informal P.Adam Satu dengan Vitalis Jonga
di Ruteng.
24 Wawancara No. 39.
25 Wawancara No. 23.
74
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupatan Manggarai
Penulis: Peter Manggut
Peneliti: Peter Manggut, Yan Ghewa and Agus Mahur; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kasus Kronologi:
Bukan Sekedar Tanah Ulayat
Tanggal Peristiwa
1921 Klen Manus menyerahkan sebagian tanah mereka kepada
Dalu Nderas untuk dipergunakan sebagai sekolah.
22 April 1956 Klen Manus menyerahkan sebagian tanah mereka untuk
pembangunan pusat kesehatan masyarakat untuk dibangun oleh
misionaris Jerman.
19 Mei 1974 Pendeta desa dan kepala Puskemas Mukun serta beberapa orang
lainnya bertemu untuk menukar tanah sekolahan dengan tanah
puskesmas.
29 Mei 1983 Dewan desa memutuskan menggunakan tanah yang diserahkan
pada tahun 1956 untuk dijadikan pasar dan kantor desa. Namun
pada akhirnya tanah yang diperoleh pada tahun 1956 itu akan
digunakan hanya sebagai pasar, dan kantor desa akan
dipindahkan ke sebelah puskesmas.
26 April 1991 Sejumlah tokoh Manus yang terpandang menyerahkan lagi tanah
mereka untuk pasar.
4 Mei 1991 Avent Padu, seorang pemimpin adat, menolak pemberian
tersebut.
Paskah 1992 Bupati Manggarai mengunjungi daerah yang bertikai dan berjanji
akan mengirimkan Camat untuk menyelesaikan pertikaian
tersebut.
Sekitar Sejumlah orang Manus membangun tembok di sekeliling tanah
Paskah 1992 yang disengketakan.
Sekitar Kepala polisi di Wae Lengga melakukan penyelidikan
Paskah 1992
4 Januari 2003 Tokoh-tokoh terpandang di Golo Meni bertemu untuk
membicarakan mekanisme alternative untuk menyelesaikan
persengketaan. Pertemuan ini dianggap sebagai upaya untuk
mengambil tanah orang Manus dan sebagai persiapan untuk
berperang.
6 Januari 2003 Pemimpin-pemimpin orang Manus memerintahkan agar tanah
sekolahan dihancurkan dalam waktu satu bulan.
Januari 2003 Pastor Tarsi Atok mengupayakan mediasi untuk menghindari
pertumpahan darah.
9 Mei 2003 Pemimpin Manus meminta status dalam negosiasi kepada Pastor
Tarsi., Pastor Tarsi mengatakan mereka harus menunggu sampai
dia selesai melaksanakan ujian ebtanas SMA.
17 Mei 2003 Orang Manus meminta hak ulayat mereka diakui.
75
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Padang Mbondei Milik Siapa?
Ringkasan
Sengketa pemilikan tanah padang Mbondei melibatkan Seminari Pius XII Kisol,
sekelompok warga masyarakat kelurahan Tanah Rata yang tergabung dalam
HIMASTAN1, dan tuan tanah Suku Motu Poso. Sengketa ini dipicu oleh tindakan
anggota HIMASTAN pimpinan Anggalus yang membagi dan menggarap tanah
itu pada bulan Juni tahun 2002 tanpa sepengetahuan tuan tanah Suku Motu
Poso dan Seminari Pius XII Kisol yang secara fisik menguasai tanah itu sejak
tahun 1967 hingga saat ini. Sengketa pemilikan tanah Mbondei tersebut telah
menimbulkan keresahan dan rasa tidak aman dalam masyarakat, baik tuan
tanah, para penggarap pimpinan Anggalus maupun Seminari Kisol dan warga
masyarakat lainnya di kelurahan Tanah Rata. Fungsionaris adat dan pemerintah
kelurahan Tanah Rata serta pemerintah kecamatan Kota Komba telah melakukan
berbagai upaya untuk menyelesaikan sengketa dimaksud. Namun, penyelesaian
yang dilakukan oleh fungsionaris adat dan pemerintah tersebut tidak memuaskan
semua pihak baik Seminari Pius XII Kisol maupun kelompok penggarap dan
warga secara luas di Kelurahan Tanah Rata.
1. HIMASTAN: Pembuka Tabir Pemilikan Tanah Mbondei
Konflik Tanah Mbondei dimulai pada 2002 yang juga menimbulkan debat mengenai status
Tanah Mbondei yang telah diserahkan kepada Seminari Pius XII Kisol oleh Motu Poso, dan
tuan tanah John Sari dan Hubertus Dua pada tahun 1967.
Pada bulan Juni tahun 2002 dengan direstui tuan tanah suku Motu Poso, 137 orang anggota
HIMASTAN dan sembilan orang warga masyarakat kelurahan Tanah Rata lainnya di bawah
pimpinan Anggalus melakukan pembagian dan penggarapan tanah padang Mbondei yang
sampai saat ini merupakan padang penggembalaan ternak milik Seminari Pius XII Kisol.
Walaupun sembilan orang tersebut tidak termasuk anggota HIMASTAN tetapi karena mereka
mendapat pembagian tanah dari ketua HIMASTAN, Anggalus, maka ke 9 orang tersebut
termasuk dalam kelompok Anggalus. Kegiatan mereka membagi dan mengarap tanah tersebut
1 Himastan merupakan akronim dari (1) Himpunan Masyarakat Tani Pencari Keadilan dan Kasih
Persaudaraan Kelurahan Tanah Rata; (2) Himpunan Masyarakat Tani Pencari Keadilan; dan (3)
Himpunan Masyarakat Tani dan Adat Tanah Rata. HIMASTAN dibentuk pada tahun 2002 dengan
susunan pengurus: Ketua, Anggalus; Wakil Ketua, Kanis Samin; dan Sekretaris Vinsen Jiu.
76
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
tanpa konsultasi dan sepengetahuan tuan tanah Mbondei Suku Motu Poso dan pihak Seminari
Pius XII Kisol yang sejak tahun 1967 menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut untuk
menggembalakan ternak milik Seminari Pius XII Kisol. Oleh tuan tanah suku Motu Poso,
Tony, kegiatan kelompok penggarap pimpinan Anggalus tersebut dinilai sudah melanggar jalur
hukum adat dan jalur hukum pemerintah. Sedangkan Seminari Pius XII Kisol mengkategorikan
kegiatan kelompok Anggalus tersebut sebagai tindakan yang dengan sengaja menyerobot
tanah penggembalaan ternak milik Seminari Pius XII Kisol. Karena itu pada tanggal 19 Juni
tahun 2002 Tony, Romo Albertus Simon, dari Seminari Pius XII Kisol, Anton dan Dus
menyuruh para penggarap untuk menghentikan kegiatannya dan kembali ke rumah masingmasing.
“hentikan kegiatan dan kembali ke rumah masing-masing; kita akan
melakukan pertemuan tanggal 22 Juni 2002, sebab kegiatan kamu sudah
melanggar hukum adat dan hukum pemerintah.”
Tony, Motu Poso, Tuan Tanah dan Sekretaris Lurah
Di samping larangan secara lisan tersebut, Romo Albertus Simon, dari Seminari Kisol melalui
suratnya pada tanggal 25 Juni tahun 2002 melaporkan para penggarap pimpinan Anggalus
kepada lurah Tanah Rata (lihat Kotak 1). Dalam surat tersebut Romo Albertus Simon, selaku
ekonom Seminari Pius XII Kisol melukiskan kegiatan yang dilakukan oleh warga masyarakat
dan harapan Seminari Pius XII Kisol terhadap penyelesaian persoalan tersebut.
Kotak 1: Surat tanggal 25 Juni 2002
“Kehadapan bapak selaku kepala wilayah di tingkat kelurahan kami menyampaikan
persoalan yang tengah kami alami berkaitan dengan tindakan sejumlah oknum yang
dengan sengaja menyerobot tanah penggembalaan ternak milik kami (Seminari Pius XII
Kisol) di Bondey. Oknum-oknum tersebut memasang patok di atas tanah penggembalaan
ternak kami dan menebang pohon-pohon yang sengaja dibiarkan bertumbuh. Tampaknya
kegiatan mereka semakin menjadi-jadi. Kami sendiri belum mau berhadapan langsung
dengan oknum-oknum tersebut. Kami percaya bapak selaku orang tua kami semua
yang tinggal di wilayah Tanah Rata dapat membantu kami dalam menyelesaikan soal ini
Karena itu besar harapan kami kiranya sesegera mungkin kegiatan oknum-oknum tersebut
dihentikan. Pendekatan dan tindakan tegas bapak kiranya dapat menyelesaikan masalah
ini.”
Akibat dari kejadian-kejadian ini, aktivitas Pemberdayaan Masyarakat Tanah Rata dipegang
oleh tuan tanah Motu Poso dan fungsionaris adat
“tanah suku Motu Poso; kegiatan kami di Mbondei itu, benar dan salahnya
sama saja.”
Anggalus, ketua HIMASTAN
77
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Namun para penggarap pimpinan Anggalus tidak mau dan tetap mengerjakan tanah tersebut.
Bahkan tahun ini mereka telah menikmati hasil panen dari tanah garapan mereka di Mbondei.
Hal ini mendorong warga masyarakat lainnya ikut mematok dan membagi tanah di padang
Mbondei tersebut. Menurut Muspada bulan Desember tahun 2002 sekelompok warga
masyarakat dari dusun Leke kelurahan Tanah Rata ke Mbondei mematok-matok tanah
tersebut. Kemudian pada bulan Maret tahun 2003 sekelompok warga masyarakat kelurahan
Tanah Rata lainnya yang berasal dari lingkungan Kisol juga melakukan kegiatan yang sama.
Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kedua kelompok terakhir masih berhubungan
keluarga dengan tuan tanah suku Motu Poso dan bahkan ada di antara kedua kelompok
tersebut termasuk tuan tanah suku Motu Poso. Di samping itu tidak semua anggota dari
kedua kelompok tersebut telah menggarap tanah yang telah dipatoknya.2 Di pihak lain,
menurut Anggalus kegiatan mereka di padang Mbondei tersebut karena disuruh oleh tuan
tanah Suku Motu Poso, Tony.3
Motivasi dan tujuan dari masing-masing kelompok tersebut (HIMASTAN, Kelompok Leke,
dan Kelompok Kisol) mematok dan membagi tanah padang penggembalaan ternak milik
Seminari Pius XII Kisol di Mbondei tidak sama. Kelompok Leke dan Kelompok Kisol
motivasinya tidak semata-mata untuk memiliki tanah di Mbondei tetapi terutama untuk
mencegah pihak lain di luar kelurahan Tanah Rata membagi dan menggarap tanah di Mbondei.
Karena itu banyak anggota dari kedua kelompok ini yang hanya sekedar mematok dan
membagi tanah Mbondei tetapi sampai saat ini belum pernah menggarap atau pun mengerjakan
tanah yang telah dipatoknya itu. Di samping itu pematokan dan pembagian tanah Mbondei
oleh kedua kelompok yang terakhir ini (Kelompok Leke dan Kelompok Kisol) adalah
karena mereka tidak setuju terhadap tindakan HIMASTAN yang tetap menggarap dan
mengerjakan tanah Mbondei walaupun telah dilarang oleh pemerintah kecamatan Kota
Komba. Konsekuensi lebih lanjut dari kehadiran berbagai kelompok ini di Mbondei ialah
adanya ketegangan dan kemungkin terjadinya pertumpahan darah antara berbagai kelompok
tersebut dalam memperebutkan tanah Mbondei.
Pembagian dan penggarapan tanah Mbondei oleh kelompok Anggalus bertujuan untuk menuntut
realisasi Urun Rembuk di Rumah Adat Suku Motu Poso tahun 2000. Pada kesepakatan
tahun 2000, Tony selaku Pemilik Tanah Motu Poso mengklarifikasi status tanah Mbondeu
sebagai berikut:
“Sekitar tahun tanah 1967 Mbondei diserahkan oleh tetua-tetua adat, John
Sari dan Ignas Ingga kepada Seminari Pius XII Kisol dengan status pinjam
pakai bukan status pemilikan memngingat tidak ada diskusi yang
2 Wawancara No. 12, Wilhelmus Anggal dan Wawancara No. 17, FGD dengan laki-laki.
3 Wawancara No. 12.
78
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
dilaksanakan dengan dan disetujui oleh masyarakat kampung. Tanah ini
akan dibagi-bagi kepada warga untuk Ana-Mbu kita sedhi” [untuk cucu
kita]. Jadi tidak salah kalau Tanah Mbondei dibagikan kepada masyarakat.”
Dalam Urun Rembuk tersebut disepakati masing-masing anggota penerima tanah dikenai biaya
pendaftaran sebesar Rp 80.000, dan satu ekor ayam. Akan tetapi kesepakatan pada tahun
2000 dimaksud hingga bulan Juni tahun 2002 belum direalisasikan, padahal 21 orang anggota
HIMASTAN telah melunasi uang pendaftaran. Kemudian hal tersebut berlawanan dengan
perkataan pemilik Motu Poso, dalam pertemuan dengan Camat, yang mengkonfirmasi
penyerahan tanah tersebut kepada Seminari (lihat Kotak 2 dibawah)
Kotak 2: Alasan Anggota HIMASTAN Membagi dan Menggarap Tanah Mbondei.
a. Karena pada tahun 2000 sebagian tanah Mbondei dibagikan oleh tuan tanah Suku
Motu Poso kepada Warga masyarakat Kota Ndora kecamatan Borong. Mengapa warga
masyarakat di luar kelurahan tanah Rata diberi tanah sedangkan kami (HIMASTAN)
tidak?4 Menurut Yan Piala penyerobotan tanah padang penggembalaan ternak milik
Seminari Kisol di Mbondei ada sangkut pautnya dengan penyerahan tanah milik desa
Tanah Rata kepada orang-orang dari desa Kota Ndora (kecamatan Borong) oleh pegawai
Camat (maksudnya Lurah Tanah Rata yang pada saat itu dijabat oleh Karol R).5
b. Tanah yang begitu luas hanya dikuasai pihak Seminari untuk piara sapi, sedangkan
kami butuh tanah garapan buat menambah penghasilan keluaarga.6
c. Kami ingin mencari tahu status kepemilikan tanah padang penggembalaan Seminari
Kisol, batas-batasnya, diserahkan oleh siapa dan tahun berapa.7
d. Tanggal 9 Januari 2000 kami sudah menghadap tuan tanah Motu Poso atas nama
Tony di rumahnya, untuk “kepok” minta tanah dan jawabannya akan diberi sekitar
Mbondei, namun sampai dengan sekarang tidak ada realisasinya.8
2. Hak Milik atau Pinjam Pakai?
“Tanah ini bukan untuk menjadi milik Seminari, tetapi hanya untuk pinjam
pakai dengan jangka waktu: kalau penduduk di sini (Watunggong) sudah
banyak, maka tanah ini akan dibagi kepada masysarakat tanpa memandang
asal-usul mereka”.
Tony, pemilik tanah Motu Pos
4 Wawancara No. 12.
5 Wawancara No. 13.
6 Anggalus dalam Notulen Pertemuan Klarifikasi Masalah Penggarapan Tanah Padang Penggembalaan
Sapi Milik Seminari Kisol di Mbodei dan sekitarnya, dengan saudara Anggalus,dkk, tanggal 5 Agustus
2002, bertempat di Aula Kantor Camat Kota Komba.
7 Ibid.
8 Vinsen Jiu, dalam Notulen Pertemuan Klarifikasi Masalah Penggarapan Tanah Padang Penggembalaan
Sapi Milik Seminari Kisol di Mbodei dan sekitarnya, dengan saudara Anggalus, dkk, tanggal 5 Agustus
2002, bertempat di Aula Kantor Camat Kota Komba
79
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“Pada tahun 1967 padang Bondei diserahkan untuk penggembalaan sapi
seminari oleh Ignas Ingga dan John Sari secara adat melalui “Kapu Manuk
Kele Tuak”9 kepada orang tua kami”
Tanah Padang diserahkan kepada Seminari Pius oleh tuan tanah Suku Motu Poso atas nama
John Sari dan Ignas Ingga untuk menjadi tempat penggembalaan ternak milik Seminari Pius
XII Kisol. Penyerahan tanah padang Mbondei tersebut dilakukan atas permintaan Bruder
Arnol yang mewakili seminari Pius XII Kisol dengan cara “Kapu Manuk Kele Tuak” kepada
tuan tanah suku Motu Poso. Bruder Arnol meminta pinjam pakai padang Bondei untuk
ternak sapi dari Seminari Pius XII Kisol (lihat Kotak 3).
Kotak 3: Status Tanah Dipertanyakan
Luas tanah untuk lepas ternak dari Seminari sekitar 50 hektar.10 Sedangkan untuk kandang
diserahkan seluas satu hektar menjadi milik Seminari. Penyerahannya dilakukan secara
adat. Batas-batasnya ditunjuk yaitu, Timur: Alo Wae Lako; Barat: Tingu Mboe; Utara:
pinggir Hutan Poco Ndeki; dan Selatan: Laut Sawu.”11
Para pihak yang terlibat dalam proses penyerahan tanah Mbondei kepada Seminari Pius
XII Kisol tahun 1967 dikemukakan oleh Yan Piala sebagai berikut:
“Saya pada saat itu masih menjabat sebagai dalu Rongga Koe ikut
menyaksikan penyerahan tanah secara adat kepada seminari. Dari pihak
tuan tanah adalah John Sari. Selain itu hadir juga di padang Mbondei para
tokoh masyarakat seperti Dalu Bintang Kepala Desa, Kepala Kampung,
tuan tanah Motu Poso dan tuan tanah suku Sui. Anak Rona (Pemberi
gadis/perempuan) dan Anak Wina (Penerima Gadis/perempuan) sama hadir
dalam upacara adat itu.”
Yan Piala
Romo Lorens Sopang mengemukakan:
“karena penyerahannya dilakukan dalam secara adat sehingga tidak
mungkin ada dokumen tertulis seperti yang dituntut oleh pihak-pihak
tertentu. Adat itu di Manggarai masih diakui memiliki kekuatan hukum
dan resmi”
Romo Loren Sopangs
9 Kapu Manuk Kele Tuak artinya Membawa Ayam dan Tuak untuk menyampaikan permintaan secara
adat kepada orang yang dihormati.
10 Informan seperti Yan Piala (mantan dalu Rongga Koe yang ikut menyaksikan penyerahan tanah Mbondei
kepada seminari tahun 1967), Kasi dan Romo Loresr tidak menyebutkan secara pasti luas tanah yang
diserahkan kepada Seminari Pisu XII Kisol tahun 1967.
11 Lihat Wawancara No. 12, bandingkan dengan Y.Pandong; Wawancara No. 13; Kasi, Wawancara No.
14; Romo Lorens, Wawancara No. 15; FGD, Wawancara No. 17 dan Tony, Wawancara No. 35.
80
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Mengenai status tanah Mbondei, Kasi menuturkan:
“Tanah Mbondei yang kami tahu dari orang tua kami, diserahkan kepada
Seminari oleh orang tua kami untuk pinjam pakai untuk padang gembala
sapi. Padang Mbondei bukan saja untuk gembala hewan Seminari tetapi
juga untuk gembala hewan dari masyarakat Tanah Rata. Seminari boleh,
masyarakat boleh lepas hewan di padang Mbondei. Statusnya Pinjam
Pakai bukan menjadi milik Seminari Luas tanah Mbondei kurang lebih 700
hekto are. Tidak mungkin tanah seluas 700 hekto are itu diserahkan untuk
menjadi milik Seminari.”
Kasi
Berbeda dengan Tony dan Kasi, Yan Piala yang ikut menyaksikan penyerahan tanah Mbondei
kepada Seminari tahun 1967 oleh tuan Tanah suku Motu Poso menyatakan:
“Saya tegaskan kembali penyerahan itu sah. Tidak bisa diganggu-gugat
Itu tanah milik Seminari titik.”
Yan Piala
Dari pernyataan-pernyataan tersebut jelas, bahwa status tanah padang Mbondei sangat penting
baik bagi Seminari Pius XII Kisol maupun bagi anggota HIMASTAN pimpinan Anggalus
serta warga masyarakat kelurahan Tanah Rata lainnya seperti kelompok Leke dan kelompok
Kisol. Bagi Seminari Kisol bila Penyerahan Tanah tahun 1967 oleh tuan Tanah disertai
Penyerahan Hak Milik Atas Tanah Padang Mbondei, maka hal tersebut memberikan kekuasaan
penuh kepada pihak Seminari untuk memanfaatkan tanah itu tanpa batas waktu dan turun
temurun. Sebab Hak Milik menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan hak yang terkuat dan terpenuh dan tidak dapat
diganggu gugat oleh siapa pun. Sebaliknya bagi HIMASTAN dan warga masyarakat lainnya
bila status tanah itu adalah Pinjam Pakai seperti yang dikemukakan oleh Tony dan Kasi, maka
terbuka peluang bagi mereka untuk memiliki dan menggarap tanah tersebut. Hanya saja
kapan peluang itu dapat terwujud, tidak dapat dipastikan sebab dalam penyerahan tanah
kepada Seminari Pius XII Kisol oleh tuan tanah Suku Motu Poso pada tahun 1967 itu tidak
ditentukan jangka waktunyan dan para pelaku penyerahan tanah Mbondei tersebut sudah
meninggal. Karena dilakukan secara adat dan tidak disebutkan jangka waktunya. Peluang
tersebut semakin kecil dan sulit terealisir karena penyerahan tanah pada tahun 1967 tersebut
sudah dikukuhkan kembali secara tertulis oleh para ahli waris suku moto poso pada tanggal 7
Agustus tahun 2002. Apalagi bila penyerahan tanah kepada seminari tahun 1967 tersebut
adalah penyerahan hak milik maka mereka apapun alasannya tidak dibenarkan untuk memililki
dan menggarap tanah tersebut kecuali atas ijin seminari Pius XII Kisol. Di samping itu, untuk
membagi tanah tersebut kepada warga masyarakat saat ini agak sulit. Kesulitannya ialah
bagaimana membagi tanah-tanah itu kepada masyarakat kelurahan Tanah Rata sementara
81
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
kelompok HIMASTAN telah mendapat bagiannya dan sudah mengerjakannya; sedangkan
dua kelompok lainnya (Leke dan Kisol) juga sudah menentukan bagian-bagiannya masingmasing.
Inilah dilema bagi Seminari Pius XII Kisol untuk mengembalikan tanah tersebut,
karena bisa saja terjadi perkelahia antara kelompok-kelompok tersebut dengan warga
masyarakat yang belum mendapat bagian tanah dari padang Mbondei itu (lihat Kotak 4 di
bawah).
3. Peran Fungsionaris Adat dan Pemerintah dalam Penyelesaian Tanah
Mbondei
Sengketa pemilikan tanah padang Mbondei antara HIMASTAN dan dan kelompok penggarap
lainnya di kelurahan Tanah Rata dengan Seminari Pius XII Kisol telah menimbulkan keresahan
dan rasa tidak aman baik bagi masyarakat umum maupun bagi Seminari Kisol, Tuan Tanah
Suku Motu Poso dan anggota HIMASTAN itu sendiri. Karena itu berbagai pihak seperti
fungsionaris adat dan pemerintah baik pemerintah kelurahan Tanah Rata pemerintah kecamatan
Kota Komba maupun pemerintah kabupaten Manggarai telah berupaya untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Fungsionaris Adat dan Tuan Tanah Suku Motu Poso pada saat Pemberdayaan Masyarakat
Adat tanggal 22 Juni tahun 2002 di balai Kelurahan Tanah Rata meminta supaya para
penggarap pimpinan Anggalus membuat surat pernyataan untuk tidak melanjutkan kegiatan
agar tanah tersebut bisa diatur pemanfaatannya, tidak diterima oleh para penggarap. Menurut
pertimbangan tuan tanah suku Motu Poso, Tony dan Kasi, dan Fungsionaris Adat Anton
serta Dus, Surat Pernyataan Para Penggarap sangat penting sebagai pegangan mereka untuk
mengatur tanah tersebut untuk masyarakat dan untuk padang penggembalaan sapi milik
Seminari.12 Akan tetapi dengan nada keras Anggalus menyatakan, “kami tidak perlu membuat
surat pernyataan dan kami kerja terus. Kami tidak mengindahkan larangan lurah dan
fungsionaris adat suku Motu Poso.”13 Karena itu Tony menyuruh anggota penyerobot tanah
Mbondei, “menghentikan kegiatan di Mbondei dan kelompok penggarap silakan angkat kaki
dari sana.”14
Karena tidak dapat diselesaikan ditingkat kelurahan maka persoalan tersebut diteruskan ke
Camat Kota Komba (lihat Kotak 4).
12 Wawancara No. 35.
13 Ibid.
14 Ibid.
82
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kotak 4: Langkah-langkah yang Ditempuh Oleh Pemerintah Kecamatan Adalah
sebagai Berikut15
Pada tanggal 22 Juli tahun 2002 mengeluarkan surat larangan kepada kelompok penggarap
untuk segera menghentikan seluruh kegiatan penggarapan tanah padang penggembalaan
milik Seminari Pius XII Kisol sambil menanti penyelesaian lebih lanjut persoalan ini pada
tingkat kecamatan. Namun Romo Albertus, melalui suratnya tertanggal 29 Juli tahun
2002 melaporkan bahwa kelompok penggarap tidak mentaati larangan tersebut.
Tanggal 5 Agustus melakukan pertemuan dengan kelompok penggarap untuk
mengklarifikasi penggarapan tanah Mbondei dan sekitarnya.
Tanggal 7 Agustus 2002 melakukan pertemuan dengan dengan Pihak Seminari Kisol dan
pihak-pihak terkait lainnya seperti tuan tanah suku Motu Poso dan fungsionaris adat
kelurahan Tanah Rata. Pada pertemuan tersebut tercapai kesepakatan yang tertuang
dalam bentuk Surat Pernyataan Ahli Waris Tuan Tanah Suku Motu Poso yang menyatakan
penyerahan tanah pada tahun 1967.
Tanggal 10 Agustus tahun 2002 melakukan pertemuan dengan Seminari Pius XII Kisol,
tuan tanah suku Motu Poso dan Fungsionaris adat kelurahan Tanah Rata, yaitu, Tony,
Kasi, Frans, Anton, Sekretaris Lurah Tanah Rata, Bene, Klemens, Goris Minggu, Peter,
Dus dan kelompok penggarap pimpinan Anggalus Dalam pertemuan tersebut kelompok
penggarap membuat surat pernyataan yang isinya:
a. Kelompok penggarap patuh terhadap surat larangan camat;
b. Tanah dikembalikan pada keadaan semula;
c. Kelompok penggarap akan mencari solusi melalui cara-cara yang baik sesuai norma/
prosedur hukum yang berlaku.
Namun pernyataan kelompok penggarap tersebut ditarik kembali oleh kelompok penggarap
sendiri dengan alasan bahwa pernyataan tersebut dibuat karena dipaksa oleh bapa camat.
Selain itu kelompok penggarap juga menolak surat pernyataan pengukuhan penyerahan
tanah oleh ahli waris tuan tanah Suku Motu Poso tanggal 7 Agustus tahun 2002.
Disamping pemerintah kecamatan Kota Komba, pemerintah kabupaten Manggarai juga
telah berusaha untuk menyelesaikan masalah tanah Mbondei ini. Polisi Pamong Praja dan
Staf dari badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masayarakat serta polisi sudah
15 Laporan Camat tentang Penanganan Masalah Tanah Padang Penggembalaan Mbondei Antara Seminari
Pius XII Kisol vs Anggalus, dkk (Kelompok Penggarap); Notulen Pertemuan Klarifikasi Masalah
Penggarapan Tanah Padang Penggembalaan Sapi Milik Seminari Pius XII Kisol di Mbondei dan
Sekitarnya, dengan Saudara Anggalus, dkk; Notulen Pertemuan Klarifikasi Masalah Penggaraapan
Tanah Padang Penggembalaan Sapi Milik Seminari Pius XII Kisol di Mbondei dan Sekitarnya, dengan
Pihak Seminari Kisol dan Pihak terkait lainnya; Notulen Pertemuan Penyelesaian Masalah Tanah
Mbondei dan Sekitasrnya Antara Pihak Seminari Kisoil dengan Kelompok Penggarap/Saudara Anggalus
dkk Mus, Wawancara No. 11; Anggalus, Wawancara No.12; Kasi, Wawancara No. 14 dan Tony,
Wawancara No. 35.
83
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
beberapa kali turun ke lokasi dan bertemu dengan pimpinan HIMASTAN, namun hingga
kini para penggarap tetap saja mengerjakan tanah dimaksud. Hal ini membuka peluang
bagi warga masyarakat lainnya di kelurahan Tanah Rata untuk mematok dan membagi
tanah Mbondei sesuai dengan keinginannya sendiri.
Seminari Pius XII Kisol pun prihatin bahwa dengan tidak mengusahakan hak mereka untuk
pengembalian tanah tersebut, dapat muncul ketegangan dan konflik antar warga masyarakat
yang menerima dan tidak menerima lahan. Karena itu tindakan tegas dari Pemerintah
Kabupaten sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadi pertumpahan darah. antara
berbagai kelompok masyarakat yang ada di kelurahan Tanah Rata.
84
Padang Mbondei Milik Siapa?
Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kronologi Kasus:
Padang Mbondei Milik Siapa?
Tanggal Peristiwa
1967 Seminari Pius XII Kisol mulai menggunakan tanah untuk
menggembalakan ternak.
2000 Adat Motu Poso disetujui. Sudah disetujui namun belum
dipraktekan.
Juni 2002 Anggota LSM HIMASTAN menduduki tanah yang digunakan
seminari untuk menggembalakan ternak.
19 Juni 2002 Pastor Albertus Simon dari Seminari Pius XII Kisol, Anton dan
Dus memerintahkan para pengguna lahan untuk menghentikan
aktivitas mereka dan kembali ke rumah.
22 Juni 2002 Pada Pemberdayaan Masyarakat Adat, pengurus adat dan pemilik
tanah Motu Poso meminta pengguna lahan yang dipimpin oleh
Anggalas untuk menulis pernyataan bahwa mereka tidak akan
melanjutkan aktivitas mereka. Para pengguna lahan menolak ide
tersebut.
25 Juni 2002 Pastor Albertus Simon mengirimkan surat kepada Lurah dan
mengatakan keberatannya terhadap hal yang dilakukan
HIMASTAN.
22 Juli 2002 Pemerintah kecamatan mengeluarkan surat peringatan bagi para
petani, meminta para pengguna lahan untuk menghentikan semua
aktivitas penggunaan lahan dan menunggu msalah ini diselesaikan
di tingkat kecamatan.
5 Agust 2002 Pemerintah kecamatan mengadakan pertemuan untuk
mengklarifikasi sengketa tanah.
7 Agust 2002 Seminari Kisol dan pihak-pihak lainnya seperti pemilik tanah Motu
Poso dan pengurus adat Tanah Rata mengadakan pertemuan.
Pada pertemuan itu diperoleh persetujuan yang menguatkan
penyerahan tanah tahun 1967.
10 Agust 2002 Diadakan sebuah pertemuan, termasuk didalamnya semua pihak
yang bersengketa, dan pada saat itu diraih persetujuan bahwa
para pengguna lahan akan mematuhi surat dari kecamatan. (lihat
Kotak 4 di atas).
Tidak lama Para pengguna lahan menolak pernyataan yang telah disetujui.
setelah
Desember Kelompok masyarakat yang lain mulai menandai tanah tersebut
2002 untuk diri mereka sendiri.
Maret 2003 Kelompok masyarakat lain juga ikut menandai tanah tersebut.
85
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Seteru antara Satar Teu dan Kadung:
Lingko atau “Hutan Lindung”?
“...di hadapan kapolsek, kami [orang Kadung dan Satar Teu] bertengkar
keras karena tidak ada [orang Satar Teu] yang dapat menjelaskan sejak
kapan lingko Liang Muit1 [milik orang Kadung] itu menjadi hutan tutupan
dan [sejak kapan hutan tutupan itu menjadi] lingko Watu Aji2 milik Orang
Satar Teu...”
Anton Sear3
Ringkasan
Kasus ini menceritakan mengenai sebuah konflik yang meluas karena sebuah
hutan yang membatasi dua kampung dalam suatu desa, Desa Satar Pundaung.
Ketika sekelompok petani dari satu desa memindahkan beberapa pepohonan
untuk memperluas sawah mereka, muncullah pertanyaan mengenai status tanah
dan sumber daya di dalamnya. Pada awalnya konflik berfokus pada status
penggunaan hutan tersebut, namun sejalan dengan berbagai upaya
menyelesaikan konflik gagal, masalah utamanya berubah menjadi masalah
kepemilikan.
Berbagai upaya dikerahkan oleh berbagai lembaga yang ada, termasuk kepala
desa, gereja, Camat, serta kantor Bupati. Walaupun proses dialog tetap
dipertahankan sehingga dapat mencegah kekerasan terbuka, secara umum
mereka gagal melihat bias dan kurangnya komitmen pihak yang terlibat serta
ketidakmampuan untuk menghadapi kepentingan penggunaan dan kepemilikan
dari pihak-pihak yang bertikai.
Perselisihan ini tidak sepenuhnya terbagi ke dalam dua masyarakat; karena
beberapa warga melihat masalah ini sebagai perselisihan administratif sementara
warga lainnya mengidentifikasi kampung mereka dengan asas “kita lawan
mereka.” Selain itu, konflik inipun telah menimbulkan dampak lingkungan yang
negatif, yaitu menyebabkan erosi pada bukit yang terjal antar kampung-kampung
itu.
1 Lingko Liang Muit adalah tanah komunal di areal hutan lindung yang menurut orang Kadung adalah
milik mereka.
2 Lingko Watu Aji adalah tanah komunal di areal hutan lindung (sama dengan yang diklaim oleh orang
Kadung) yang menurut orang Satar Teu adalah milik mereka. Pemerintah kecamatan Lamba Leda
mengakui Watu Aji ini sebagai nama hutan lindung di areal yang sama. Dengan kata lain, Lingko Muit,
Lingko Watu Aji dan Hutan (Gunung) Watu Aji menunjuk pada obyek dan areal yang sama.
3 Wawancara No. B5-515, Anton Sear.
86
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
1. Pengantar: Dua Kampung itu Bertetangga
Satar Teu dan Kadung adalah dua buah kampung di dusun Wae Rea desa Satar Punda
Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai.4 Kampung Satar Teu membentang sepanjang
lembah subur yang dilewati ruas jalan aspal yang menghubungkan Reo ibukota kecamatan
Reok, Satar Punda, Dampek, Golo Mangung, Golo Munga dan melewati Benteng Jawa
ibukota Kecamatan Lamba Leda. Sedangkan kampung Kadung, terletak di puncak sebuah
bukit berkapur kurang lebih 2,5 kilometer di sebelah barat kampung Satar Teu. Batas antara
kedua kampung ini adalah sebuah kali kecil bernama kali Satar Teu, dimana ada sebuah jalan
setapak yang terjal dan curam
yang menghubungkan keduanya.
Kampung Satar Teu merupakan
pusat pemerintahan, ekonomi
dan pendidikan untuk desa Satar
Punda bagian selatan. Kepala
desa Satar Punda adalah orang
Satar Teu, tinggal di Satar Teu
dan melaksanakan kegiatan
pemerintahan desa dari rumah pribadi merangkap kantornya di Satar Teu. Kios-kios yang
berjejer sepanjang kiri kanan jalan, dan ramainya suara nyanyian anak sekolah dari SDK
(Sekolah Dasar Katolik) Satar Teu menambah semarak suasana harian wajah kampung ini.
Sedangkan Kadung adalah sebuah kampung kecil dengan penghuni sekitar 200 jiwa yang
tersebar di 40 kepala keluarga. Di kampung ini tidak ada kios dan sekolah karena orang
kampung Kadung membeli keperluan mereka di Reo dan anak-anak mereka sebagian belajar
di SDK Satar Teu dan sebagian lagi di SD di Reo.
Orang Satar Teu dan Kadung mengenal baik satu sama lain. Mereka tidak hanya bertetangga
kampung tetapi lebih dari itu, mereka mempunyai hubungan keluarga yang telah terjalin sejak
lama.
“...orang Satar Teu dan Kadung akrab sekali. Kalau ada acara adat di Satar
Teu, orang Kadung diundang dan mereka menjadi meka ceki [tamu terhormat]
nya orang Satar Teu”
Katrina Imo, dkk, FGD Perempuan Satar Teu
4 Satar Teu dan Kadung adalah nama kampung. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada warga
yang tinggal di kampung tersebut.
Kotak 1: Lingko
Lingko adalah tanah milik bersama (tanah komunal) dari
satu komunitas masyarakat yang (biasanya) tinggal
bersama dalam satu kampung. Bidang tanah ini
menyerupai lingkaran sedangkan bagian-bagian yang
menyerupai jaring laba-laba yang dibagi untuk tiap warga
disebut moso. Hutan lindung adalah hutan yang karena
tujuan pelestarian atau konservasi hutan itu sendiri, mata
air atau satwa, dilarang [oleh pemerintah] untuk ditebang.
87
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“...sebab antara orang Kadung dan Satar Teu masih ada hubungan
keluarga woe nelu...[hubungan keluarga yang terjalin karena perkawinan]”
Deddy Sear
Sayang sekali, sejak tahun 1998 keakraban dan kemesraan yang terjalin antara warga dua
kampung bertetangga ini mendadak pudar karena orang Kadung tiba-tiba mengangkat parang
dan menantang orang Satar Teu berkelahi.
“kamu [orang Satar Teu] tidak berhak melarang kami membuka dan membagi
tanah lingko [Liang Muit] ini sebab tempat ini merupakan tanah lingko dari
orang Kadung sehingga kami berhak untuk membuka dan membaginya...”
Deddy Sear dan Anton Sear
Sementara itu orang Satar Teu juga mengklaim tempat yang sama sebagai milik mereka.
2. Konteks Historis
Orang Kadung menuturkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Teker dekat Benteng
Jawa, ibukota kecamatan Lamba Leda. Nenek moyang mereka meninggalkan Teker tahun
1918 dan menetap di Mencaer beberapa tahun lamanya. Mencaer memang sangat menjanjikan
kehidupan yang sejahtera dan masa depan yang gemilang bagi nenek moyang orang Kadung
yang telah lama hidup berdesak-desakan di Teker. Mencaer memiliki tanah yang subur dan
wilayahnya luas.
Akan tetapi musibah datang juga ke Mencaer. Manusia mati tanpa alasan dan ternak musnah
tak berbekas. Mencaer tidak ramah lagi, ia terlalu “kolang” (panas). Karena itu nenek moyang
orang Kadung memutuskan untuk pindah ke Watu Lempe yang jaraknya hanya sepuluh menit
berjalan kaki ke sebelah barat dari Mencaer. Di Watu Lempe inilah nenek moyang orang
Kadung mendirikan sebuah kampung yang baru. Mereka menamakan kampung yang baru
itu Kadung (yang diambil dari nama sejenis pohon damar yang dominan menutupi hamparan
Watu Lempe pada saat itu). Pada saat ini, kampung yang terletak di hamparan Watu Lempe
itu lebih dikenal dengan nama Kampung Kadung Lama dan tidak berpenghuni lagi karena
antara tahun 1937-1940-an nenek moyang orang Kadung sudah pindah lagi ke puncak bukit
di mana mereka mendirikan kampung baru yang mereka namakan Kadung juga. Alasan yang
mendasar untuk pindah adalah letaknya yang strategis di tengah-tengah wilayah tanah Kadung
yang terbentang luas dengan jumlah 30 buah lingko5 sehingga memudahkan pengawasan atas
wilayah itu. Alasan lainnya adalah ternak orang Kadung sering dibunuh oleh orang-orang
Satar Teu.6
5 Wawancara No. B5-525, Anton Sear.
6 Wawancara No. B5-525, Anton Sear.
88
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sadar akan pentingnya pengawasan wilayah, ditambah lagi dengan seringnya ternak mereka
dibunuh oleh orang dari kampung Satar Teu, yang pada saat itu secara teritorial berdekatan
dengan Kampung Kadung Lama (jarak antara keduanya sekitar 500m) maka.
“... nenek moyang [orang Kadung] pun berunding lagi dan memutuskan
untuk menetap dan membuat kampung di tengah-tengah wilayah Kadung
...”
Anton Sear
Sementara itu informan dari Satar Teu menuturkan bahwa pada tahun 1936 nenek moyang
orang Satar Teu7 meninggalkan kampung Nawang, desa Nampar Tabang, kecamatan Lamba
Leda menuju Laci. Dari Laci mereka pindah ke Weleng dan setelah menetap beberapa lama
di Weleng mereka pindah ke Nderu dan seterusnya ke Satar Teu dan menetap di Satar Teu
hingga sekarang. Pada tahun yang sama lima orang nenek moyang orang Satar Teu itu membeli
tanah sawah dari orang Bima yang ada di Satar Teu.
“Bagian selatan sawah itu berbatasan langsung dengan hutan [Watu Aji]
yang menjadi pembatas antara lingko-lingko yang dimiliki oleh orang
Kadung [dan sawah-sawah orang Satar Teu]”
Deddy Sear
Informan Satar Teu juga menuturkan bahwa jauh sebelum tahun 1936, nenek moyang orang
Kadung bernama Hokka meninggalkan Teker dan datang ke Nawang untuk meminta gendang
dan lingko di Satar Punda.8
Karena lereng gunung Watu Aji yang ditutupi hutan itu sangat curam (kemiringannya dapat
mencapai 75 derajat di beberapa bagian) maka untuk mencegah erosi dan melindungi sumber
mata air di dalamnya, pada tahun 1940-an,
“...orang Kadung yang diwakili oleh Lopo Pantar dan Lopo Sambu dan
orang Satar Teu yang diwakili oleh Hendrik Bagung, Yasintus Anok, Lopo
Joka dan Yahya Tambo membuat kesepakatan agar hutan Watu Aji yang
berbatasan langsung dengan cicing (batas paling luar dari sebuah lingko)
milik orang Kadung dan sawah orang Satar Teu menjadi hutan tutupan/
larangan...”
Deddy Sear
Kesepakatan ini kemudian dipertegas oleh mantri9 Kehutanan Kecamatan Lamba Leda pada
tahun 1980-an. Karena itu, sejak saat itu sampai dengan Hendrik Bagung meninggal pada
7 Nama-namanya yaitu Hendrik Bagung, Yasintus Anok, Yahya Tambo, Herry Ambot, dan Lopo Joka
8 Wawancara No. B5-513, Markus Doraemon.
9 mantri kehutanan adalah sebutan untuk petugas pengawas hutan di kecamatan.
89
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
tahun 1993, kesepakatan melindungi hutan Watu Aji dipatuhi dengan tulus oleh Satar Teu
maupun Kadung dan hutan itu sama sekali tidak pernah dibuka atau dibagi untuk lahan
pertanian.
3. Hutan Watu Aji itu Tinggal Kenangan: Karena Nio Locang?
Sebuah kawasan di lereng gunung Watu Aji desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda, yang
dahulu menghijau bagai ditaburi zamrud karena dibalut rimbunan hutan aneka vegetasi kini
telah berubah gundul gersang. Batu-batu cadas putih berkilau ditimpa sang surya dan jalurjalur
tak teratur di punggung lereng yang menganga bekas aliran air hujan musim barat kini
menggantikan hijau rimbunnya pohon-pohon hutan tua yang tinggal kenangan itu.
Pada zaman dahulu, baik orang Kadung maupun orang Satar Teu tidak pernah menebang
pohon-pohon besar di kawasan lereng gunung Watu Aji itu karena mereka mengetahui bahwa
air sungai Satar Teu akan kering dan sawah-sawah tak menghasilkan padi kalau pohonpohon
ditebang. Hutan lereng gunung itu telah dilindungi bertahun-tahun guna menjamin
kelestarian mata air di dalamnya dan mempertahankan aliran air sungai Satar Teu.
“Hutan Watu Aji adalah hutan tutupan milik desa Satar Punda. Penutupan
hutan ini dilakukan atas kesepakatan nenek moyang orang Satar Teu dan
... Kadung puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lalu”
FGD Perempuan
Menurut Sem Badui, salah seorang informan dari Satar Teu, dahulu sudah ada konsensus
agar pemilik sawah tidak menebas hutan di pinggir sawah untuk mencegah erosi dan kerusakan
pada sawah. Pemilik sawah hanya boleh membersihkan semak belukar di pinggir sawah
paling jauh sepanjang 100 meter dari pinggir sawah untuk mencegah hama tikus dan babi
hutan.10
Tetapi pada tahun 1998 orang Satar Teu mulai melakukan penebasan hutan (Watu Aji) yang
orang Kadung katakan sebagai lingko Muit, tanah ulayat orang Kadung, bukan hutan tutupan
Watu Aji.
Para pemuka Kadung memberikan reaksi damai terhadap apa yang dilakukan oleh orang
Satar Teu pada lingko orang Kadung itu. Pada tahun itu juga tiga orang utusan kampung
Kadung menemui tua teno Satar Teu dan meminta tua teno itu supaya memerintahkan warga
10 Wawancara No. B1-511.
90
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Satar Teu yang telah menebas hutan dan membuka ladang di lingko Muit membayar nio
locang (lihat Kotak 2) kepada tua teno Kadung. Tetapi setelah menunggu tiga tahun orang
Satar Teu tidak pernah membayar nio locang itu. Karena itu orang Kadung mengambil
reaksi lain,
“...pada tahun 2001 orang Kadung mulai
ikut menebang pohon dari arah puncak
gunung di Lingko Muit (hutan Watu Aji)...”
Anton Sear
Orang Satar Teu menyaksikan orang Kadung
sekampung membabat hutan itu dari arah
puncak gunung Watu Aji. Dengan
menggunakan kampak dan parang seluruh
laki-laki dewasa dari Kadung menebas pohon
baik besar maupun kecil dan membiarkan lereng gunung itu terbuka. Penebangan itu dipimpin
langsung oleh tua teno11 Kadung Kornelis Koko. Penebangan hutan itu ternyata mencemaskan
warga Satar Teu terutama pemilik sawah di kaki gunung Watu Aji.
“Hutan lindung sawah tersebut ditebas oleh orang Kadung dan dijadikan
kebun sehingga kami merasa takut sawah kami akan terkena erosi.”
Michael Dua Setara
Wajar kalau orang Satar Teu takut sawahnya terkena erosi. Sawah-sawah orang Satar Teu
ini letaknya tepat di kaki lereng gunung Watu Aji itu sehingga kalau terjadi erosi maka sawah
merekalah yang menjadi sasaran.
“...terbukti erosi sudah mulai nampak pada waktu hujan baru-baru ini. Begitu
banyak batu yang tertumpuk di pinggir sawah, termasuk milik saya...”
Garius Simpul
Para pemilik sawah yang gelisah terancam erosi bergegas menghadap tua teno Satar Teu
untuk meminta pendapatnya. Tua teno Satar Teu menyarankan agar pemilik sawah melaporkan
kasus penebasan hutan tutupan itu kepada kepala desa Satar Punda.
Kotak 2: Nio locang
Nio locang adalah kewajiban adat sekaligus
bentuk pengakuan bahwa tanah yang sedang
digarap bukan tanah milik peribadi tetapi milik
suku. Nio locang biasanya berupa ayam dan
tuak yang harus diserahkan oleh pemilik
moso (bagian dari tanah lingko yang sudah
dibagi oleh tua teno kepada perorangan)
kepada tua teno.
11 Tua Teno adalah tokoh adat yang berhak membagi tanah lingko untuk warga. Ia juga bertanggung
jawab mewakili warga kampung untuk berhadapan dengan pihak lain (kampung atau pengadilan)
dalam urusan tanah lingko.
91
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“... kami bertiga pemilik sawah...berembuk dan melaporkan peristiwa
penebasan hutan [oleh orang Kadung] kepada kepala desa Satar Punda
...”
Markus Doraemon
4. Resolusi untuk Rekonsiliasi: Upaya Pertama
Setelah menerima laporan itu, kepala desa Satar Punda mengirimkan surat panggilan kepada
tua teno Kadung agar menghadap kepala desa. Surat panggilan itu berisi permintaan kepada
tua teno Kadung untuk memberikan keterangan tentang penebasan hutan tutupan oleh warga
Kadung, seperti yang dilaporkan oleh pemilik sawah Satar Teu. Pelapor, yaitu orang Satar
Teu (yang dituduh oleh orang Kadung menebas hutan dan membuat ladang di lingko Liang
Muit) sekaligus pemilik sawah (yang terancam erosi) tidak ikut dalam perundingan itu. Mereka
hanya diwakili oleh tua tenonya sendirian. Sekretaris Kepala desa Satar Punda yang diangkat
sebagai fasilitator perundingan tersebut meminta keterangan dari tua teno Kadung.
Keterangan tua teno Kadung dan tua teno Satar Teu bertolak belakang satu sama lain. Tua
teno Kadung menyatakan bahwa orang Satar Teu telah menggarap tanah di lingko Liang
Muit, tanah milik orang Kadung. Karena itu tua teno Kadung meminta kepada tua teno
Satar Teu agar orang Satar Teu pemilik ladang mengakui bahwa tanah yang orang Satar Teu
jadikan ladang (di pinggir sawah mereka) itu adalah tanah lingko orang Kadung, dan sebagai
akibatnya, orang Satar Teu yang memiliki ladang itu harus membayar nio locang kepada tua
teno Kadung setiap tahun. Tetapi tua teno Satar Teu membantah dan mengatakan bahwa
hutan yang ditebang orang Kadung itu adalah hutan tutupan sehingga tua teno Kadung wajib
memerintahkan warganya untuk menghentikan penebangan itu.
Karena kedua belah pihak saling menuding dan tidak ada kesepakatan yang dicapai dalam
perundingan itu maka:
“Pada akhir pertemuan sekretaris kepala desa memberikan arahan agar
jangan lagi menebang hutan tutupan [Watu Aji] karena sudah sejak lama
baik orang-orang tua dari Kadung maupun orang-orang tua dari Satar Teu
tidak pernah melewati hutan tersebut dan tidak pernah mengganggunya”
Garius Simpul
Gagalnya upaya damai itu membuat orang Satar Teu semakin gelisah dan orang Kadung
semakin berani dan melanjutkan penebangan ke arah utara sehingga areal lereng gunung Watu
Aji yang terbuka bertambah luas. Oleh karena perlakuan orang Kadung itu maka pada bulan
september 2001, kepala desa mengirimkan surat kepada Kapolsek Lamba Leda di Dampek
untuk melaporkan tindakan penebangan hutan tutupan Watu Aji oleh orang Kadung.
92
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
5. Usaha Kedua
Kapolsek Lamba Leda menulis surat panggilan kepada tua teno Kadung dan tua teno Satar
Teu dan meminta dua tua teno itu menghadap Kapolsek Lamba Leda di Dampek. Dalam
suratnya Kapolsek Lamba Leda juga menyebut nama orang Satar Teu dan orang Kadung
yang harus datang bersama tua teno ke Dampek. Maka tua teno Kadung dan enam
pendampingnya berangkat ke Dampek, sementara di Dampek sudah menunggu tua teno
Satar Teu dengan tiga pendampingnya. Kapolsek Lamba Leda meminta keterangan dari
pihak Kadung dan Satar Teu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang
diajukan Kapolsek kepada tua teno Kadung adalah mengenai sejarah tanah lingko Liang
Muit dan dasar orang Kadung menebang hutan tutupan. Tua teno Satar Teu juga ditanyakan
mengenai alasan mereka mencegat orang Kadung. Tua teno Kadung didukung pendampingpendampingnya
menjawab pertanyaan Kapolsek dengan mengatakan bahwa mereka membuka
lingko Liang Muit karena milik orang Kadung.
“...kami menebang hutan tersebut karena merupakan lingko kami orang
Kadung dan kami berhak untuk membagi dan membukanya menjadi kebun
kapan saja. Kalau itu merupakan hutan tutupan/larangan, kapan itu
ditetapkan, luas dan batas-batasnya di mana, dan siapa yang menetapkan?”
Kornelis Koko
Kapolsek tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap jawaban tua teno Kadung tetapi berbalik
kepada tua teno Satar Teu. Tua teno Satar Teu menjawab pertanyaan Kapolsek dengan
menjelaskan bahwa orang Kadunglah yang telah melakukan penyerobotan terhadap tanah
lingko milik orang Satar Teu bernama lingko Watu Aji.12
Orang Kadung membantah keras jawaban orang Satar Teu ini, karena sepanjang pengetahuan
mereka tidak ada lingko orang Satar Teu yang bernama lingko Watu Aji. Walaupun orang
Kadung membantah dengan keras, orang Satar Teu tetap mempertahankan bahwa orang
Kadung tidak sekedar membabat hutan Watu Aji tetapi telah menyerobot tanah lingko milik
orang Satar Teu. Kapolsek Lamba Leda tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya menghimbau
agar orang Kadung dan orang Satar Teu duduk bersama dan berunding secara damai. Tawaran
Kapolsek itu ditolak mentah-mentah oleh orang Kadung.
“... karena pertengkaran makin hebat, kapolsek melerai kami dan mengajak
kami berdamai. Kami dari Kadung tidak mau berdamai, sedangkan Satar
Teu diam saja.”
Garius Simpul and Anton Sear
12 Wawancara No. B5-526, Kornelis Koko.
93
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Dari titik itulah persoalan antara Satar Teu dan Kadung berkembang dari penebangan hutan
tutupan Watu Aji menjadi persoalan mempertahankan lingko. Orang Kadung
mempertahankan tanah (di mana terdapat hutan tutupan) itu sebagai lingko Liang Muit, milik
Kadung, sedangkan orang Satar Teu mempertahankan tanah (di mana terdapat hutan tutupan)
itu sebagai lingko Watu Aji, milik Satar Teu.
Walaupun gagal mendamaikan orang Satar Teu dan orang Kadung, Kapolsek Lamba Leda
masih menunjukkan itikad baiknya dengan membuat konsep Surat Pernyataan Damai untuk
ditandatangani oleh utusan dari Kadung dan utusan dari Satar Teu. Di hadapan Kapolsek,
utusan Satar Teu menandatangani Surat Pernyataan Damai itu. Tetapi orang Kadung, sekali
lagi menolak dengan tegas upaya damai dan tidak mau menandatangani Surat Pernyataan
Damai itu.
“Karena tidak ada kesepakatan, Kalpolsek Lamba Leda menyuruh kami pulang
ke kampung kami masing-masing untuk merundingkan peruntukan dan
pemanfaatan tanah sengketa....”
Kornelis Koko
Orang Kadung menerjemahkan himbauan Kapolsek Lamba Leda itu sebagai isyarat untuk
melanjutkan pembuatan kebun di tanah sengketa itu. Maka warga Kadung yang mendapat
pembagian moso di tanah sengketa itu
“...tetap menebas rerumputan dan menebang pepohonan pada lingko
[Liang Muit] tersebut”
Kornelis Koko
Orang Satar Teu bertambah bingung menghadapi tingkah laku orang Kadung yang seperti
dirasuk setan membabat, merambah dan terus menebang pohon-pohon di hutan Watu Aji
sehingga lereng gunung Watu Aji di sebelah Timur itu hampir gundul total. Karena itu pada
bulan September 2001, Radus Jammy, seorang warga Satar Teu bergegas menuju Dampek
dan melaporkan kepada Kapolsek Lamba Leda bahwa sedang terjadi perang tanding di
hutan Watu Aji.
6. Tampaknya Pertikaian Berlanjut!
Mendengar laporan lisan dari warga Satar Teu tersebut, Kapolsek Lamba Leda bersama
stafnya segera berangkat menuju hutan Watu Aji pada saat itu juga. Ketika tiba di kaki
gunung Watu Aji, Kapolsek dan stafnya mengeluarkan alarm [tembakan peringatan ke udara]
tetapi tidak ada reaksi apapun dari dalam hutan. Hanya suasana sunyi senyap diselingi bunyi
kampak beradu dengan pohon.
94
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kapolsek menunggu beberapa saat, tetapi suasana semakin senyap. Ia memperhatikan
keadaan di sekitarnya tetapi tidak ada tanda-tanda perang tanding. Ia melihat warga Satar
Teu bekerja di sawah seperti biasa dan anak-anak sekolah bermain dengan suka cita di
halaman sekolah. Karena itu dia memutuskan untuk masuk ke dalam hutan. Di lereng curam
gunung Watu Aji itu Kapolsek dan stafnya mendapatkan dua orang Kadung yaitu Fancy
Odong dan Simon Jorro sedang melakukan penebangan. Kapolsek Lamba Leda memanggil
kedua orang itu mendekat ke tempatnya berdiri dan bertanya:
“katanya ada perang tanding antara orang Kadung dan Satar Teu”
“bapak Kapolsek lihat sendiri, di sini hanya kami berdua dan apa yang
kami kerjakan.”
Kornelis Koko
Kapolsek Lamba Leda tampak kecewa dan berjalan menuju pondok Fancy Odong dan
Simon Jorro untuk berteduh. Kedua orang bapak beranak itu mengikuti Kapolsek dari
belakang. Di dalam pondok itu Kapolsek menghimbau agar dua orang bapak beranak itu
tidak terhasut untuk ikut perang tanding tetapi tetap berusaha mencari jalan damai. Kemudian
Kapolsek dan stafnya kembali ke Dampek.
Orang Satar Teu yang menunggu-nunggu apa yang dilakukan oleh kapolsek terhadap dua
orang Kadung itu sangat kecewa setelah mendengar ceritera bahwa Kapolsek hanya
menghimbau kedua orang itu. Mereka sebenarnya menginginkan agar Kapolsek menangkap
dan kalau perlu menghajar (memukul sampai babak belur) dua orang Kadung itu. Tetapi
Kapolsek berpikir lain, dia merasa telah ditipu dibohongi oleh orang Satar Teu. Maka sejak
saat itu tersiar khabar bahwa Kapolsek tidak mengambil tindakan keras terhadap dua orang
Kadung yang sedang melakukan penebangan itu karena dia telah menerima sogok dari orang
Kadung.
Upaya Ketiga: Kepala Desa Mengajukan Kepemilikan Ditransfer ke
Pemerintah
Sementara itu, orang Kadung menceriterakan bahwa sesudah kembali dari urusan di Polsek
Lamba Leda di Dampek, kepala desa Satar Punda menulis lagi surat panggilan kepada tua
teno Kadung dan pendampingnya untuk menghadap kepala desa Satar Punda. Tua teno
Kadung dan pendampingnya memenuhi panggilan itu dan segera datang menghadap di Satar
Teu. Di rumah kepala desa Satar Punda itu, tua teno Kadung disodori sekali lagi konsep
Surat Pernyataan Damai dari Kapolsek untuk ditandatangani. Dalam surat itu dinyatakan
pula bahwa tanah lingko Liang Muit itu diserahkan kepada pemerintah untuk tetap dijadikan
hutan tutupan. Tua teno Kadung dan lima orang pendampingnya tetap pada pendirian semula
95
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
yaitu menolak berdamai dan seketika itu juga meninggalkan rumah kepala desa untuk kembali
ke kampung Kadung.
Kepala desa Satar Punda sangat tersinggung dengan perilaku tua teno Kadung dan orangorangnya.
Seperti orang kebakaran jenggot dia mengancam untuk mengirim kembali berkas
Surat Pernyataan Damai itu kepada Kapolsek Lamba Leda. Karena itu juga, ketika orang
Satar Teu terus menerus mendesak dia agar kasus yang melibatkan orang Kadung dan Satar
Teu ini segera dituntaskan, kepala desa hanya menjawab singkat
“...masalah tersebut sudah lepas dari saya ... sudah ditangani Kapolsek,
jadi tidak boleh lagi kembali kepada saya.”
Garius Simpul
Mendengar jawaban demikian, orang Satar Teu berangkat lagi ke Polsek Lamba Leda di
Dampek menanyakan kelanjutan urusan mereka dengan orang Kadung.
8. Upaya Keempat: Polsek
Dengan demikian pada bulan September 2001 Kapolsek menulis surat panggilan lagi kepada
tua teno Satar Teu dan Kadung. Tua teno Kadung dan empat orang pendampingnya mewakili
orang Kadung berangkat ke Dampek memenuhi panggilan Kapolsek. Sementara itu, tua
teno Satar Teu juga berangkat dengan para pendampingnya. Untuk kedua kalinya dua tua
teno dan para pendampingnya itu berhadapan satu sama lain di depan Kapolsek dalam urusan
yang sama. Kali ini polisi tidak melakukan investigasi, tetapi meminta tua teno Kadung dan
Satar Teu menyampaikan perkembangan bantang dame (perundingan damai) yang dia
anjurkan dalam urusan pertama. Tua teno Satar Teu tetap berpegang pada anjuran Kapolsek
yaitu berdamai. Tetapi tua teno Kadung tetap pada pendiriannya. Apa artinya berdamai
kalau tua teno Satar Teu tetap tidak mengakui hak orang Kadung atas tanah yang digarap
oleh orang Satar Teu di lingko Liang Muit itu. Maka gagal lagi perundingan itu karena orang
Kadung tetap menolak untuk berdamai, apalagi menyerahkan tanah lingko Muit tersebut.
Oleh karena itu Kapolsek Lamba Leda mempersilahkan orang Kadung dan Satar Teu untuk
pulang saja dan menunggu sampai ada urusan selanjutnya.13
9. Upaya Kelima: Masalah Berlanjut ke Camat
Benar, pada minggu terakhir bulan September tahun 2001 tua teno Satar Teu didampingi
oleh Philip Demma dan Huber Lokas menulis surat kepada Camat Lamba Leda untuk
13 Wawancara No. B2-528, FGD dengan Laki-laki Kadung.
96
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
melaporkan perlakuan orang Kadung di hutan Watu Aji itu. Pada tanggal 1 Oktober 2001
camat melaksanakan pertemuan dengan orang Kadung dan orang Satar Teu di Benteng Jawa
ibukota kecamatan Lamba Leda. Camat sendiri memimpin pertemuan itu. Sekretaris camat,
Kepala seksi pemerintahan kecamatan, Kepala seksi pembangunan masyarakat desa,
Kapolsek Lamba Leda, dan Kapospol (Kepala Pos Polisi) Benteng Jawa hadir juga dalam
pertemuan itu.
Camat membuka pertemuan dan menjelaskan manfaat hutan lindung bagi kehidupan
masyarakat. Kemudian camat bertanya kepada orang Kadung mengenai alasan mereka
menebang hutan tutupan Watu Aji. Orang Kadung menjawab pertanyaan camat seperti mereka
menjawab pertanyaan Kapolsek Lamba Leda dalam pertemuan di Dampek dulu.
“...kami tidak pernah menebang hutan tutupan, kami hanya menebas
rerumputan dan menebang pepohonan pada lingko kami yaitu lingko Liang
Muit, dan bila lingko [Liang Muit] tersebut telah menjadi hutan tutupan,
siapa dan kapan ditetapkan serta [berapa] luas dan [di mana] batasbatasnya...”
Kornelis Koko
Camat tidak langsung memberikan tanggapan terhadap jawaban tua teno Kadung, tetapi
meminta kepada tua teno Satar Teu untuk memberikan pendapatnya. Tua teno Satar Teu
menceriterakan kembali kepada camat bagaimana pada tahun 1940-an nenek moyang orang
Satar Teu dan Kadung membangun kesepakatan untuk menetapkan hutan Watu Aji menjadi
hutan tutupan dan bagaimana orang Kadung dan Satar Teu menjaga hutan tersebut sampai
pada saat orang Kadung menebang hutan itu secara besar-besaran.
Menurut orang Kadung, orang Satar Teu juga memberikan keterangan kepada camat bahwa
tanah lingko yang sedang digarap oleh orang Kadung itu adalah tanah lingko Watu Aji milik
orang Satar Teu.
“persoalannya menjadi berubah bukan lagi soal penebangan hutan tutupan
tetapi perebutan lingko antara orang Kadung dan orang Satar Teu”
Kornelis Koko
10. Bijakkah Sikap Camat Lamba Leda?
Camat melihat perbedaan pendapat antara orang Satar Teu dan orang Kadung menjadi semakin
tajam sehingga dia mengancam untuk melakukan tindakan tegas terhadap orang Kadung sesuai
dengan peraturan hukum yang berlaku. Orang Kadung yang yakin tindakannya benar sangat
kecewa dengan sikap camat yang cenderung memihak orang Satar Teu.
97
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“pernyataan camat [Lamba Leda]
itu seakan-akan membenarkan
bahwa orang Kadung telah
melakukan kesalahan menebang
hutan seperti yang dilaporkan
oleh kepala desa Satar Punda.”
Kornelis Koko
Karena itu orang Kadung dengan
tegas menolak ancaman camat yang
hendak memproses kasus ini
melalui jalur hukum. Sedangkan
orang Satar Teu mendukung
ancaman camat itu dan menyatakan
bahwa mereka menerima
penyelesaian masalah ini melalui
jalur hukum.
Camat menemui jalan buntu karena
pihak Satar Teu dan Kadung tetap
pada pendiriannya masing-masing.
Karena itu camat mempersilahkan
orang Kadung untuk berunding
mencari jalan penyelesaian yang
paling baik. Lima menit kemudian
orang Kadung kembali ke dalam
ruang pertemuan dengan satu
kesepakatan
“...untuk menghindari
pertumpahan darah dalam arti
terjadinya perang tanding [raha
dalam bahasa setempat] antara orang Satar teu dan Kadung, maka pada saat itu
utusan dari Kadung memutuskan menyerahkan tanah tersebut kepada
pemerintah kecamatan untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatannya.”
Kornelis Koko
Mereka mengambil keputusan itu karena mereka sudah mendengar ceritera tentang banyak
keputusan pengadilan dalam kasus tanah di Manggarai berakhir dengan perang tanding.
Mereka tidak mau mereka sendiri atau sanak keluarganya menderita atau mengalami kematian
akibat perang tanding.
Kotak 3: Isi Surat Pernyataan 1 Oktober
2001 yang Ditolak itu:
(1) Bahwa tanah tersebut yang disengketakan di
atasnya terdapat hutan lindung secara sukarela
diserahkan kepada pemerintah Kecamatan
Lamba Leda dan selanjutnya menjadi milik
pemerintah termasuk peruntukannya selamalamanya,
(2) Bahwa baik warga kampung Kadung maupun
warga Kampung Satar Teu tidak akan
mengganggu gugat keberadaan tanah tersebut
secara turun temurun,
(3) Bahwa untuk satu musim (musim tanam Tahun
2001/2002) lokasi yang disengketakan yang
telah ditebang pepohonannya oleh warga
kampung Kadung diberikan kesempatan bagi
orang Kadung untuk mengolah dan mengambil
manfaat dan atau hasilnnya dan berakhir dengan
sendirinya apabila jangka waktu musim tanam
tahun 2001/2002 berakhir [setelah memanen
hasil pada tahun 2002 yang diperkirakan pada
bulan Agustus 2002] orang Kadung secara
otomatis melepaskan tanah/lokasi tersebut,
dengan demikian lokasi tersebut selanjutnya
menjadi milik pemerintah kecamatan Lamba
Leda,
(4) Bahwa pepohonan yang masih tersisa dan belum
ditebang oleh warga Kampung Kadung pada
lokasi yang disengketakan tidak boleh idtebang
lagi,
(5) Bahwa untuk kepastian hukum atas tanah/lokasi
tersebut akan dilakukan pemasangan pilar batas
oleh Pemerintah Kecamatan Lamba Leda pada
bulan Oktober 2002.
98
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Camat menetapkan keputusan orang Kadung ini dalam sebuah Surat Pernyataan yang
ditandatangani oleh orang Kadung dan orang Satar Teu disaksikan oleh camat beserta stafnya,
Kapolsek Lamba Leda dan Kapospol Benteng Jawa. Camat dan orang Satar Teu sangat
puas dengan hasil pertemuan yang dicapai hari itu. Sedangkan orang Kadung pulang ke
kampung Kadung untuk melaporkan keputusan yang telah mereka buat di hadapan camat.
“semua warga [Kadung] tidak menyetujui keputusan tersebut. Karena itu
warga kampung Kadung membuat surat kepada camat untuk menolak
keputusan tersebut dan menarik kembali pernyataan yang telah dibuat
dan ditandatangani di hadapan camat dan Kapolsek Lamba Leda tersebut.”
Kornelis Koko
Karena camat Lamba Leda tidak memberikan reaksi atas surat penolakan warga Kadung
dan tidak memasang pilar seperti yang ditegaskan dalam butir kelima surat kesepakatan 1
Oktober 2001, warga Kadung menganggap persoalan ini sudah selesai.
11. Dua Tahun Kemudian
Karena itu pada tanggal 11 Januari 2003 orang Kadung beramai-ramai turun dari kampung
Kadung dan membuat pagar pembatas antara tanah lingko Liang Muit milik mereka dan
tanah milik orang Satar Teu. Kayu pagar itu ditancapkan langsung di sepanjang pinggir sebelah
barat sawah orang Satar Teu dan dengan demikian ladang orang Satar masuk dalam wilayah
lingko Muit, milik orang Kadung.
Orang Satar Teu hanya dapat menonton orang Kadung mencaplok ladang mereka dari jarak
jauh karena masih sibuk dengan penerimaan uskup. Tetapi karena tidak tahan dengan tingkah
laku orang Kadung, tua teno satar Teu mengambil gong di rumah gendang14 dan memukulnya
berulang-ulang untuk mengundang orang Satar Teu berkumpul. Dalam sekejap mata saja,
orang Satar Teu telah memenuhi halaman rumah tua teno Satar Teu. Tua teno Satar Teu
menyampaikan pengumuman resmi bahwa ada orang yang mengganggu tanah milik orang
Satar Teu.15
“...gong dipukul, orang-orang Satar Teu berkumpul diikuti dengan teriakan
ayo...mari sama-sama pergi menyerang di sebelah [kampung Kadung]...”
Sem Badui
14 Rumah gendang adalah rumah tempat tua teno dan pemuka adat melakukan pertemuan adat untu
mengambil keputusan-keputusan penting, termasuk keputusan yang menyangkut tanah lingko.
15 Wawancara No. B5-513, Markus Doraemon; Wanwacara No. B5-513, Garius Simpul; dan Wawancara
No. B5-511, Sem Badui.
99
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Orang Kadung yang sedang menyelesaikan pemancangan pagar pembatasnya langsung
menyingkir ke arah kampung Kadung tepat ketika mereka mendengar bunyi gong dan teriakan
orang Satar Teu untuk menyerang. Dengan demikian terhindarlah warga dari dua kampung
ini dari perang tanding.
Orang Satar Teu yang merasa berhasil menghalau orang Kadung dari ladang mereka, serentak
turun ke perbatasan dan mencabut semua pagar pembatas itu. Hal ini mereka lakukan berulangulang.
Setiap selesai orang Satar Teu mencabut pagar, orang Kadung datang memancangnya
kembali. Sampai pada suatu ketika, karena sudah putus asa dengan ulah orang Kadung itu,
orang Satar Teu membiarkan saja pagar itu tetap berdiri.
Melihat suasana yang semakin memanas itu, tiga orang Satar Teu mendesak kepala desa
Satar Punda untuk menulis Surat kepada camat Lamba Leda agar turun ke lokasi, melihat
apa yang sedang terjadi. Berdasarkan laporan kepala desa itu maka
“camat dan Kapolsek [Lamba Leda] turun ke Satar Punda untuk melihat
lokasi. Setelah itu mereka [camat dan Kapolsek] pulang, tidak ada reaksi
dari mereka [camat dan Kapolsek] padahal mereka [camat dan Kapolsek]
turut menandatangani kesepakatan [di Kantor camat Lamba Leda] itu.”
Garius Simpul
Sikap camat dan Kapolsek Lamba Leda yang tidak segera memberikan reaksi terhadap
tindakan orang Kadung (yang melakukan pemagaran di pingggir sawah orang Satar Teu) ini
juga menimbulkan kekecewaan di kalangan kaum perempuan Satar Teu.
“Kalau pemerintah mau sungguh-sungguh, masalahnya [Satar dan
Kadung] sebenarnya sudah selesai [tetapi] camat kelihatannya masa bodoh
...”
Katrina Imo
Sementara itu tiga orang Satar Teu yang tanah ladangnya dipagari oleh orang Kadung
mengadakan pertemuan di antara mereka dan memutuskan untuk melaporkan kepada Bupati
Manggarai semua upaya mediasi yang telah dilaksanakan untuk mencari solusi dalam sengketa
perebutan tanah lingko antara Satar Teu dan Kadung, termasuk upaya mediasi yang telah
dilakukan oleh camat Lamba Leda pada tanggal 1 Oktober 2002. Tiga orang itu berangkat
ke kantor bupati Manggarai di Ruteng pada bulan Februari 2003 namun tidak dapat bertemu
bupati karena dia sedang mengikuti rapat dengan DPR. Karena itu ketiga orang tersebut
menemui assisten I Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai dan mengutarakan laporan
mereka. Sayang sekali, setelah mendengar laporan mereka, assisten I yang menerima mereka
memberi saran agar mereka menemui Kepala Bagian Urusan Desa saja karena dia juga harus
100
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
mengikuti rapat dengan DPR. Seorang staff Bagian Urusan Desa menerima mereka dan
memeriksa surat-surat yang masuk dari kecamatan Lamba Leda tetapi tidak ada surat tentang
sengketa tanah antara Satar Teu dan Kadung. Dengan demikian tidak ada yang dapat dilakukan
oleh staff itu. Dia hanya berjanji untuk mengirimkan teleks dan memanggil camat Lamba
Leda.16
“Kami akan koordinasikan dengan Kantor Dinas Kehutanan. Kami akan
minta Dinas Kehutanan untuk turun ke lokasi karena menyangkut hutan
lindung sawah. Bapak boleh pulang. Dalam waktu dekat tim terpadu kami
dari Pemerintah Daerah akan turun bersama pihak Kecamatan dan Dinas
Kehutanan.”
Markus Doraemon
Untuk menkonfirmasi janji staff Bagian Urusan Desa itu mereka melanjutkan perjalanan menuju
Kantor Dinas Kehutanan dan bertemu dengan wakil Kepala Dinas yang setelah mendengar
laporan mereka, berjanji akan turun ke lokasi juga.17 Sesudah itu mereka pulang ke Satar
Teu dan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut janji tim terpadu itu,
tetapi
“...bukan tim terpadu yang turun melainkan tembusan Surat Perintah Bupati
Manggarai kepada camat Lamba Leda untuk turun menangani masalah
tersebut. Tetapi sampai hari ini [saat penelitian dilaksanakan] camat belum
menggubris [menganggap enteng] surat bupati tersebut ... setelah itu tidak
ada reaksi apa-apa dari camat. Dia tidak pernah menyinggung soal itu
lagi.”
Garius Simpul
Karena sampai dengan penelitian ini dilaksanakan tidak ada tanggapan positif dari pemerintah
(tingkat kabupaten maupun kecamatan) maka ketiga orang Satar Teu itu berniat menempuh
jalur pidana dengan melaporkan kepada polisi (baik Polsek maupun Polres) tindak pidana
penyerobotan ladang milik orang Satar Teu oleh orang Kadung. Tetapi niat baik itu juga
kandas karena kepolisian tidak dapat memproses kasus itu kalau orang Satar Teu tidak dapat
menunjukkan sertifikat hak milik atas tanah sengketa itu.18 Pupuslah (tida ada harapan lagi)
sudah upaya damai dari orang Satar Teu ini. Mereka tidak tahu ke mana lagi mereka mencari
keadilan tetapi mereka tetap berharap
16 Wawancara No. B5-513, Markus Doraemon.
17 Wawancara No. B5-513, Markus Doraemon.
18 Wawancara No. B5-513, Markus Doraemon.
101
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“...pemerintah segera turun menyelesaikan masalah hutan tersebut. Sebab
kalau terlambat nanti salah satu atau kedua belah pihak emosi dan itu
sangat berbahaya. Nanti bisa terjadi baku [saling] bunuh...”
Markus Doraemon
Dengan nada putus asa, kepala desa Satar Punda menyimpulkan bahwa orang-orang Kadung
sudah tidak percaya lagi kepada kepala desa Satar Punda karena selain memiliki sawah di
lokasi sengketa dan dia sendiri juga orang Satar Teu.19 Dengan cara apa lagi sengketa ini
didamaikan karena pastor bahkan uskup Ruteng juga sudah berusaha menghimbau melalui
mimbar gereja dan mengajak mereka (orang Kadung) untuk tidak melanjutkan penebangan
hutan tetapi orang Kadung tidak menghiraukan suara gereja.20
12. Ketika saling Menampik Damai: Bagaimanakah Keakraban yang
Indah itu?
Orang Satar Teu menggambarkan hubungan mereka dengan orang Kadung selama konflik
berlangsung sebagai berikut,
“Suasana masih biasa-biasa saja karena orang Kadung bukan orang lain.
Kami mempunyai hubungan kawin mawin. Mereka mengambil kami punya
saudara ... secara pribadi saya [informan dari Satar Teu] baik dengan orang
Kadung... “
Markus Doraemon
“Kenapa takut? Masalah itu di kantor, sedangkan di luar [kantor] kita
tetap saudara [karena] orang Satar Teu ada yang kawin dengan orang
Kadung, demikian pula sebaliknya.”
Yeni Helas
Ungkapan itu memang melegakan banyak orang, tetapi apa yang terjadi dalam masyarakat
Satar Teu dan Kadung menunjukkan hal sebaliknya. Salah satu contoh, pada tanggal 11
Januari 2003 ketika Yang Mulia Uskup Ruteng Mgr.21 Edward Samuel, SVD22 mengunjungi
Satar Teu, tidak ada satu orangpun dari Kadung (100% penduduknya beragama Katolik)
datang menghadiri misa di kapela Satar Teu, padahal orang Satar Teu dan orang Kadung
terhimpun dalam satu Paroki yaitu Paroki Reo. Sebaliknya, pada hari itu orang Kadung
membuat pagar pembatas yang hanya beberapa meter saja jaraknya dari Kapela Satar Teu.
Demikian pula, penolakan orang Kadung atas undangan orang Satar Teu menghadiri acara
19 Wawancara No. B1-530, Garius Simpul.
20 Wawancara No. B1-530, Garius Simpul.
21 Mgr artinya monsigneur dalam bahasa Latin dan dalam bahasa Indonesia artinya Yang Mulia
22 Serikat Sabda Allah
102
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
cepa (pesta syukur sehabis panen) di Satar Teu pada tahun 200223 adalah indikasi lain bahwa
suasana tidak biasa-biasa saja.
Sedangkan terhadap sikap pemerintah desa kepada mereka, orang Kadung menuturkan bahwa
perlakuan pemerintah desa sangat menyakitkan hati mereka:
“Kami orang Kadung seperti anak liar. Pemerintah tidak pernah datang
lagi ke sini, sejak kami merencanakan lodok [kegiatan membagi tanah lingko]
di lingko Liang Muit pada tahun 1999 ... kami tidak juga tidak mendapat
jatah beras OPK selama dua periode karena staf desa tidak datang menagih
uang di sini [Kadung] ... kepala desa dulu rajin datang ke Kadung [tetapi]
sekarang seperti orang asing terhadap kami, mengapa dia memihak orang
Satar Teu?...”
Anton Sear
13. Pemerintah Sebaiknya ...
Dalam pandangan penulis, sikap kepala desa Satar Punda yang terkesan prejudice dan
cenderung mempersalahkan orang Kadung dan sikap camat Lamba Leda yang juga cenderung
memojokkan orang Kadung dalam pertemuan 1 Oktober 2001 telah menjadi pemicu
menguatnya sikap defensif orang Kadung yang mereka (orang Kadung) tunjukkan dengan
menolak upaya damai.
Andaikata kepala desa Satar Punda dan camat Lamba Leda bisa memainkan peran mediasi
mereka secara lebih bijak dan adil mungkin penolakan kesepakatan 1 Oktober itu tidak
terjadi dan sengketa tanah antara Satar Teu dan Kadung sudah selesai.
Sedangkan tindakan pemerintah kabupaten Manggarai (Bupati dan Dinas terkait) yang tidak
peduli terhadap laporan orang Satar Teu sama saja dengan menyimpan bom waktu yang
dapat meledak setiap saat. Kalau demikian maka kecemasan akan terjadinya perang tanding
bukanlah sesuatu yang berelebihan.
23 Wawancara No. B5-530, Garius Simpul.
103
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kronologi Kasus:
Sengketa Antara Satar Teu dan Kadung
Tanggal Peristiwa
Sejak Nenek moyang orang Kadung tinggal di Teker sebuah kampung
sebelum dekat Benteng Jawa di kecamatan Lamba Leda.
1918
1918 Ketika terjadi kabote (wabah kolera dan disentri) nenek moyang
orang Kadung meninggalkan Teker untuk mencari wilayah yang
masih kosong, luas dan ada air karena wilayah kampung Teker
saat itu sudah sesak.
1936 -1937 • Orang Kadung dr Teker Lamba Leda ke Laci menghadap kepala
Suku Nawang meminta gendang dan lingko di Satar Punda untuk
orang Kadung. Suku Nawang mengabulkan permintaan itu.
• Hendrik Bagung membeli tanah sawah dari orang Bima di Reo
yang sudah leih dulu membuka sawah di dekat tanah sengketa.
1940-4 • Hendrik Bagung, Herry Ambot, dan Tambo melanjutkan
pembelian tanah sawah (dekat tanah sengketa) dari orang Bima.
• Ada konsensus antara pemilik sawah dan orang kadung bahwa
hutan tidak boleh dijadikan sawah atau kebun untuk mencegah
erosi dan kerusakan sawah.
1970-an • Sebidang tanah yang di dalamnya ditumbuhi pohon di llokasi
Watu Aji dikukuhkan sebagai hutan lindung oleh pejabat Dinas
Kehutanan bernama Herman Hatul dan kemudian dikukuhkan
kembali pada Tahun 1980-an sebagai hutan lindung oleh Dinas
Kehutanan Aloysius Undar karena ada mata air yang mengairi
sawah Watu Aji dan untuk menghindari bahaya longsor.
1989 Ketika Fitalis Hemo [orang dari Kadung] melepaskan jabatannya
sebagai RT Kadung, orang-orang tua di Kadung meminta kepada
tua Teno Kadung agar Lingko Watu Lempe itu dilodok [dibagi-bagi
kepada warga] untuk dijadikan kebun.
1989 Orang Kadung melakukan lodok di lingko Watu Lempe. Kepala
desa Satar Punda melarang tetapi tidak diindahkan oleh orang
Kadung.
1998 orang Satar Teu menebas dari arah bawah [kali Satar Teu].
104
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Tahun 1998 Lorens Ladam dan wilhelmus Toto [dari Kadung] pergi bertemu
Tua Teno Satar Teu, Deddy Sear agar ia memerintahkan warganya
memenuhi kewajiban adat “nio locang” pada tua teno Kadung.
Tahun 2001 Karena kesal atas sikap masa bodoh Satar Teu, orang Kadung
mulai ikut menebang pohon dari arah puncak gunung di Lingko
Muit untuk membuka tanah lingko itu dan menanamnya dengan
tanaman pangan dan perdagangan.
Tahun 2001 Kepala desa Satar Punda mencegat orang Kadung yang
membabat hutan di lingko Muit dengan alasan merusak hutan
lindung. Kades Satar Punda memanggil tua Teno dari Kadung
dan Satar Teu untuk dimintai keterangan.
Tahun 2001 Tua teno Kadung secara resmi membagi tanah lingko Liang Muit
itu dalam bentuk perwalang [bidang empat persegi panjang]
kepada 6 orang Kadung yaitu Markus Ot, Hubert Lamas, Lorens
Ladam, Simon Jerro, Frans Got, dan Nober Sembang.
Agustus 2001 4 orang Satar Teu menegur orang Kadung yang membuka hutan
dari arah puncak gunung tetapi tidak dihiraukan oleh orang
Kadung bahkan orang Kadung mengancam dengan parang
sehingga 4 orang Satar Teu itu pulang.
23 Agustus’01 Orang Satar Teu diwakili Bene Raha, dkk [pemilik sawah] mengirim
surat ke kades Satar Punda perihal penebangan hutan pelindung
sawah oleh tua teno Kadung.
28 Agustus’01 Kades Satar Punda melimpahkan kasus ini ke Kepolisian Sektor
Lamba Leda.
September Setelah urusan di Polsek, orang Kadung melanjutkan pekerjaan
2001 di tanah masalah itu seperti tidak terjadi apa-apa.
September Pada hari yang sama dalam bulan itu, Kapolsek Lamba Leda
2001 berangkat dari Dampek bersama sejumlah stafnya ke tempat yang
disebut Remigius Jemeon [dari Satar Teu] sebagai tempat perang
tanding.
8 September KAPOLSEK Lambaleda untuk kedua kalinya mempertemukan
2001 Satar Teu dan Kadung di Dampek.
27 Sept 2001 Camat memanggil tua teno Satar Teu dan Kadung dkk.
menghadap dlam rangka menyelesaikan persoalan.
11 Januari Orang Kadung membuat pagar di perbatasan dengan sawah-
2003 sawah orang Satar Teu.
105
Seteru Antara Satar Teu dan Kadung
Desa Satar Pundaung, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Penulis: Yan Ghewa
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Februari 2003 Pemilik sawah berangkat ke Ruteng dan berusaha menghadap
bupati Manggarai untuk melaporkan kasus tanah itu tetapi bupati
tidak bisa ditemui karena sedang ikut sidang DPR. Kepolisian
menjawab bahwa tanpa sertifikat pihak polisi tidak bisa
memproses laporan itu. Sejak saat itu kasus perebutan lingko
Liang Muit = Lingko Watu Aji = Hutan Tutupan Watu Aji antara
Satar Teu dan Kadung belum diproses lagi. Sedangkan
ketegangan yang berpotensi perang tanding sangat tinggi.
106
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Konflik Pemilikan Tanah SLTP
St. Paulus Benteng Jawa
Ringkasan
Konflik Pemilikan Tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa seluas sekitar ¾ ha
melibatkan gereja/Paroki Benteng Jawa YPTL.1 Konflik ini dipicu oleh keinginan
kedua belah pihak untuk mensertifikatkan tanah dimaksud pada tahun 2001 serta
perbedaan pemahaman terhadap pemisahan tanah misi tahun 1956 menjadi
Tanah Sekolah dan Tanah Stasi atau Paroki dan pembagian aset antara SDK
(Sekolah Dasar Katolik) dan SLTP St. Paulus Benteng Jawa oleh pastor Paroki
Benteng Jawa yaitu Pater Geradus M. Mollen pada tahun 1978.
Kepala desa Tengku Leda dan camat Lamba Leda telah berupaya untuk
menyelesaikannya persoalan ini. Namun hasilnya belum memuaskan terutama
bagi Stefanus D. Asong, mantan ketua badan pengurus YPTL yang dibekukan
berdasarkan hasil pertemuan tanggal 14 Januari 2003 yang dipimpin oleh camat
Lamba Leda. Dalam konflik ini tidak ada korban jiwa, kecuali dua orang guru
yang luka kena pukulan massa di luar kantor camat Lamba Leda pada tanggal
14 Januari 2003.
Kasus ini sangat menarik karena menunjukkan betapa kondisi ketidakjelasan
pemilikan tanah dapat dimanipulasi dan masuk ke dalam pertarungan dan politik
lokal. Dalam kesimpulannya, penulis kasus ini mencatat bahwa perbedaan antara
penggunaan hak tanah dan hak pemilikan menjadi sumber ketidakjelasan, dan
selanjutnya, sumber konflik.
1. Sertifikasi Tanah Pembuka Tabir Status Tanah SLTP St. Paulus
“ Tanah diserahkan oleh Bapak Umar Achmad Mbolang tahun 1931. Bapak
itu orangnya bijaksana; dia memberi tanah untuk misi. Bagi kami tabu
untuk mengungkit-ungkit apa yang telah dilakukan oleh orang tua kami
dahulu.”2
Achmad Djamal
1 Yayasan Pendidikan Tengku Leda
2 Bandingkan dengan pernyataan Krispinus M. Modes (Wawancara No. 523) berikut, “Persoalan ini
semata-mata antara gereja dan YPTL, sedangkan kami sebagai ahli waris hanya sebagai wasit untuk
memperjelas status tanah gereja serta batas-batasnya berdasarkan ceritera orang tua kami; sehingga
bagi ahliwaris sebenarnya tidak ada persoalan.”
107
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Pada tahun 1931, dalu3 Lamba Leda bernama Umar Achmad Mbolang menyerahkan secara
lisan dua buah lingko (sebidang tanah yang dimiliki satu wa’u4 yang tinggal dalam satu golo
atau beo5) yakni Lingko Pong Jengok dan Lingko Watang Tonggang kepada misi atau gereja.
Penyerahan tanah tahun pada 1931 tersebut dikukuhkan kembali secara tertulis oleh dalu
yang sama pada tahun 1960 dan disaksikan oleh 18 orang kepala kampung atau gelarang6.
Dalam perkembangannya tanah tersebut dimanfaatkan selain untuk kepentingan gereja juga
untuk penyelenggaraan pendidikan. Karena itu pada tanggal 26 September tahun 19567
berdasarkan hasil musyawarah antara warga masyarakat, pemerintah dan gereja/paroki Benteng
Jawa dilakukan pembagian tanah tersebut menjadi Tanah Stasi (yang kemudian menjadi tanah
Paroki) Benteng Jawa dan Tanah Sekolah. Konsekuensi dari pemisahan peruntukan tanah
misi/gereja pada tahun 1956 tersebut, adalah pada tahun 1967 sebagian tanah sekolah seluas
sekitar ¾ ha (hekto) dipergunakan untuk penyelenggaraan proses belajar mengajar pada
SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Pemanfaatan tanah sekolah oleh SLTP St. Paulus Benteng
Jawa itu berdasarkan kesepakatan antara camat Lamba Leda, Pius Musa (perintis dan pendiri
SLTP St. Paulus Benteng Jawa) dengan pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Petrus Rahmat,
dan hanya bersifat sementara sambil diupayakan tanah baru.8
Persoalan mulai muncul tatkala pada tahun 1978 salah satu gedung SDK Benteng Jawa rubuh.
Ketua BP3 (Badan Pembina Penyelenggara Pendidikan) SDK Benteng Jawa, Aleksander
Muda, mengirim surat kepada YPTL – pengelola SLTP St. Paulus Benteng Jawa – meminta
kembali gedung milik SDK Benteng Jawa yang dipinjamkan kepada SLTP St. Paulus pada
tahun 1967. Menanggapi surat BP3 SDK Benteng Jawa tersebut, ketua YPTL, Klemens
Kabur justru bersurat kepada Pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen untuk
meminta pembagian aset antara SDK dengan SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Berdasarkan
surat dari Ketua YPTL itu, Pater Geradus M. Mollen melakukan pembagian aset yaitu tanah
dan gedung-gedung sekolah antara SDK dengan SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Pembagian
aset ini menjadi alasan bagi YPTL untuk mengklaim tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa
sebagai miliknya (lihat Kotak 1).
3 Dalu adalah penguasa atas suatu wilayah administrasi pemerintahan pada zaman Bima di bawah Raja
dan di atas Gelarang.
4 Wa’u adalah keturunan laki-laki dari nenek moyang yang sama (Robert Lawang, Konflik Tanah di
Manggarai, Flores Barat; UI Press, 1999, hal.56).
5 Beo/golo ialah satuan permukiman tradisional Manggarai yang umumnya terdiri atas satu wa’u.
6 Gelarang ialah Kepala wilayah administrasi pemerintahan pada zaman Bima di bawah dalu.
7 Menurut Stefanus D. Asong pemisahan pemanfaatan tanah yang diserahkan oleh dalu Umar Achmad
Mbolang menjadi tanah stasi atau gereja dan tanah sekolah dilangsungkan pada tahun 1958.
8 Bandingkan dengan pernyataan Karlos Mbada (Wawancara No. 521), bahwa tanah gereja dan gedung
SDK Benteng Jawa milik YASUKMA dipakai sementara untuk kegiatan proses belajar mengajar sambil
menanti pembangunan gedung yang khusus untuk SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
108
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kotak 1: Tindakan Awal Terhadap Pembagian - 1978
Apa yang dilakukan oleh pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen itu tidak
dipersoalkan oleh BP3 SDK Benteng Jawa, sebab dalam struktur YASUKMA, pastor
paroki adalah sekaligus sebagai Kepala Cabang YASUKMA (Yayasan Persekolahan Umat
Katolik Manggarai) untuk wilayah parokinya yang bertanggung jawab atas seluruh
penyelenggaraan pendidikan pada Sekolah Katolik milik YASUKMA yang ada di paroki
tersebut
Persoalan pemilikan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa ini makin mengemuka ketika pada
tahun 2001 Ketua YPTL, bapak Stefanus D. Asong, melalui suratnya9 mengajukan proses
pensertifikatan tanah SLTP St. Paulus kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten
Manggarai dengan alasan sebagai berikut: Pertama, adanya pemisahan peruntukan tanah misi/
gereja yang diserahkan oleh dalu Lamba Leda tahun pada 1931 menjadi Tanah Sekolah dan
Tanah Stasi atau Gereja pada tanggal 26 September 195610. Menurut pemahaman Ketua
YPTL, Stefanus D. Asong, Tanah Sekolah tidak saja untuk SDK, tetapi juga untuk jenjang
pendidikan lainnya, termasuk SLTP. Kedua, pada tahun 1978 pastor paroki Benteng Jawa,
Pater Geradus M. Mollen membuat surat pembagian tanah dan gedung antara Paroki Benteng
Jawa dengan YPTL.11 Dalam surat itu ditegaskan bahwa tanah gereja/misi yang di atasnya
ada bangunan SLTP St. Paulus Benteng Jawa adalah untuk SLTP St. Paulus Benteng Jawa.12
Ketiga, pada tahun 1982 Frumens Iso (salah satu ahli waris dari dalu Umar Achmad Mbolang)
melakukan pemagaran atas tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa dan mengklaim tanah SLTP
St. Paulus Benteng Jawa sebagai milik dari orang tuanya. Ketika masalah ini diselesaikan
oleh camat Lamba Leda, camat memutuskan supaya YPTL membayar kepada Frans Isakar
sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) sebagai ganti rugi. Keputusan camat tersebut
diterima YPTL dengan membayar uang sejumlah Rp. 1.000.000,- kepada Frumens Iso.
Dengan membayar ganti rugi kepada Frumens Iso itu, YPTL merasa memiliki tanah SLTP. St.
Paulus Benteng Jawa. Keempat, diundangkannya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001
tentang Yayasan. Undang-undang ini menghendaki kejelasan dan kepastian status dari asetaset
yang dimiliki oleh suatu yayasan, termasuk status tanah. Sesuai tuntutan undang-undang
9 No. surat adalah No. 433/H 21 10 20/YPTL D B 4/VII/2001.
10 Stefanus D. Asong (Wawancara No. 502) mengatakan: “menurut sejarah tanah gereja dan tanah SLTP
adalah tanah umum yang mencakup area dari Wae Ngkongo sampai Wae Buka. Tanah tersebut
diserahkan oleh dalu Unu (ayah dari Pius Musa ) dalam suratnya tahun 1958. Dalam surat tersebut
disebutkan pembagian tanah umum itu untuk tanah sekolah dan tanah stasi atau gereja. Tanah
Sekolah adalah untuk SD (Sekolah Dasar) dan SLTP.
11 Menurut Rinus Ruba (Wawancara No. 520) surat pembagian aset oleh Pater Geradus M. Mollen tahun
1978 antara SLTP St. Paulus dan SDK Benteng Jawa adalah janggal dan lucu sebab dibuat oleh YPTL
dan ditanda-tangani pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen tanpa sepengetahuan dan
persetujuan BP3 SDK Benteng Jawa sebagai pihak yang meminta kepada YPTL agar gedung yang
dipnjamkan kepada SLTP St. Paulus Benteng Jawa tahun 1967 dikembalikan kepada SDK Benteng
Jawa.
12 Wawancara No. 502, Stefanus D. Asong.
109
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
tersebut, maka pengurus YPTL sebagai pengelola SLTP St. Paulus Benteng Jawa berkeinginan
untuk memperjelas status hukum dan batas-batas tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
Kelima, baik gereja/Paroki Benteng Jawa maupun YPTL ingin mengklarifikasi status dan
batas-batas tanah yang dikuasainya masing-masing.
Proses sertifikasi tanah SLTP St. Paulus atas nama YPTL itu dicegat oleh gereja/Paroki Benteng
Jawa dengan membuat surat keberatan kepada kepala desa Tengku Leda. Dalam surat itu
pihak gereja/paroki menolak pensertifikatan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa atas nama
YPTL dan menuntut supaya tanah tersebut dikembalikan kepada gereja/paroki Benteng Jawa
karena tanah itu adalah milik gereja/paroki Benteng Jawa. Tembusan surat itu dikirim kepada
BPN kabupaten Manggarai di Ruteng, camat Lamba Leda di Benteng Jawa dan uskup Ruteng
di Ruteng. Keberatan dari gereja/paroki terhadap pensertifikatan tanah SLTP St. Paulus atas
nama YPTL berdasarkan pertimbangan berikut. Pertama, pengertian tanah sekolah dalam
pemisahan pemanfaatan tanah misi/gereja tahun 1956 adalah tanah SDK Benteng Jawa atau
YASUKMA sehingga tetap merupakan aset keuskupan. Kedua, sebagai aset keuskupan,
maka pengalihan status tanah tersebut harus disetujui oleh uskup. Karena itu surat Pater
Geradus M. Mollen tahun 1978 tentang pembagian aset antara SLTP St. Paulus dan SDK
Benteng Jawa, menurut Romo Lambert Jalang – pastor Paroki Benteng Jawa saat itu – dan
Ketua DPP (Dewan Pastoral Paroki) Paroki Benteng Jawa, Rinus Ruba, adalah tidak benar
karena bertentangan dengan Hukum Kanonik (Hukum Gereja Katolik). Sedangkan menurut
camat Lamba Leda, Andreas Embong, surat Pater Geradus M. Mollen itu adalah cacat hukum
(lihat Kotak 2).13 Selanjutnya Stefanus D. Asong menuturkan bahwa dalam surat keberatan
tersebut, pihak gereja/paroki Benteng Jawa tidak saja menolak pensertifikatan tanah SLTP
St. Paulus atas nama YPTL dan menuntut pengembalian tanah tersebut kepada gereja/paroki
Benteng Jawa, tetapi juga menegaskan agar SLTP St. Paulus Benteng Jawa ditutup atau
dipindahkan.
Kotak 2: Surat Pater Geradus M. Mollen mengenai Pembagian Aset
Menurut Rinus Ruba, sertfikat yang dibuat oleh Pater Geradus M. Mollen mengenai
pembagian aset antara SLTP dan SDK 1978 aneh dan membingungkan karena dibuat
oleh YPTL dan ditandatangani oleh Pastor Paroki Benteng Jawa, Pater M. Mollen tanpa
persetujuan atau pengakuan dari SDK BP3 Benteng Jawa. SDK BP3 Benteng Jawa adalah
pihak yang merekomendasikan YPTL untuk mengembalikan SLTP ke SKD.14
13 Wawancara No. 502, Stefanus D. Asong.
14 Wawancara No. 520.
110
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
2. Kolusi dan Nepotisme: Komitmen Terabaikan dalam Pengelolaan YPTL
dan SLTP St. Paulus Benteng Jawa
“Dalam perjalanannya SLTP St. Paulus Benteng Jawa dikelola oleh YPTL
yang pengurusnya silih berganti. Seiring dengan perubahan kepengurusan
tersebut, kebijakan dan program YPTL juga berubah.”
Krispinus M. Modes
“Selama Pius Musa menjadi ketua YPTL, tidak pernah mengklaim bahwa
tanah yang di atasnya ada SLTP St. Paulus adalah milik YPTL. Karena
sebagai pendiri SLTP St. Paulus Benteng Jawa dia (Pius Musa) tahu persis
status tanah tersebut dan keberadaan SLTP St. Paulus Benteng Jawa.”
Rinus Ruba
Kontroversi seputar pensertifikatan tanah SLTP St. Paulus Banteng Jawa antara YPTL dengan
gereja/paroki Benteng Jawa sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai persoalan
dalam pengelolaan YPTL dan SLTP St. Paulus Benteng Jawa selama YPTL dipimpin oleh
Stefanus D. Asong sejak tahun 1992 hingga tahun 2003. SLTP St. Paulus Benteng Jawa
didirikan atas kerja sama antara pemerintah kecamatan, gereja dan masyarakat.15 Peran
misi/gereja dalam pendirian SLTP St. Paulus Benteng Jawa sangat besar. Pastor Paroki
Benteng Jawa, Pater Petrus Rahmat tidak saja meminjamkan tanah dan gedung SDK Benteng
Jawa, tetapi juga membantu membangun tiga buah rumah guru.
Dalam perjalanannya SLTP St. Paulus Benteng Jawa dikelola oleh YPTL yang didirikan
berdasarkan akte notaris pada tahun 1974. Namun dalam akte pendirian YPTL tidak tercantum
gereja/paroki Benteng Jawa, pada hal banyak asset gereja/paroki dimanfaatkan untuk
penyelenggaraan pendidikan di SLTP St. Paulus Benteng Jawa; sementara YPTL hanya
bermodalkan akte. Bertolak dari kenyataan tersebut, menurut infoman, Krispinus M. Modes,
keluarga ahliwaris tidak terlalu ngotot untuk memiliki sekolah tersebut. Apalagi setelah bapak
Pius Musa (ayah dari Krispinus M. Modes) meninggal, mereka tidak pernah terlibat ataupun
dilibatkan dalam kepengurusan YPTL, dan kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pendidikan di SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Lebih lanjut Krispinus M. Modes mengatakan:
15 Menurut Amis Machmud (Wawancara No. 522), untuk membangun SLTP St. Paulus Benteng Jawa
masing-masing warga masyarakat di kecamatan Lamba Leda dipungut biaya sebesar Rp. 25,- yang
pembayarannya dicicil selama tiga tahun. Tetapi menurut Yosef Timbuk, Bernadus Radu dan Paskalis
Jodat (Wawancara No. 510) bahwa untuk membuka SLTP St. Paulus Benteng Jawa tahun 1967 seluruh
masyakat Lamba Leda menyumbang masing-masing uang sebesar Rp. 3500,- , satu batang balok dan
satu lembar papan.
111
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“Kami tidak berhasrat untuk melibatkan diri dalam kepengurusan YPTL,
karena dalam akte pendirian YPTL jelas bahwa YPTL bukan merupakan
milik dari segelintir orang tetapi merupakan milik dari seluruh warga
masyarakat di kecamatan Lamba Leda. Karena itu kami tahu diri dan tidak
merasa memiliki YPTL dimaksud; demikian pula SLTP St. Paulus Benteng
Jawa.”
Krispinus M. Modes
Sementara itu dalam prakteknya akhir-akhir ini ada sejumlah kebijakan dari pengurus YPTL
pimpinan Stefanus D. Asong yang menyimpang dari tujuan pendirian SLTP St. Paulus Benteng
Jawa tahun 1967. Antara gereja/paroki dengan YPTL tidak terjalin kerja sama yang baik.
Demikian pula antara pengurus YPTL, pemerintah, masyarakat dan gereja tidak ada sikap
saling menghargai dan tidak terjalin komunikasi yang baik; bahkan sebaliknya saling curigamencurigai
serta apriori (prasangka) satu sama lain. YPTL tidak pernah melibatkan gereja/
paroki dalam setiap kebijakan dan program kerjanya mengenai SLTP St. Paulus Benteng
Jawa, termasuk ketika YPTL mau mensertifikatkan tanah SLTP St. Paulus atas nama YPTL
pada tahun 2001.16 Informan, Amir Machmud menegaskan:
“Pada saat Stefanus D. Asong menjadi ketua YPTL, pengelolaan SLTP St.
Paulus Benteng Jawa tidak sesuai lagi dengan kesepakatan dan
perundingan awal tahun 1967 yaitu bahwa SLTP St. Paulus Benteng Jawa
merupakan milik dari seluruh warga masyarakat kecamatan Lamba Leda
yang pengelolaannya merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah kecamatan Lamba Leda, gereja/paroki Benteng Jawa dan seluruh
warga masyarakat kecamatan Lamba Leda. Seolah-olah sekolah dimaksud
menjadi milik pribadi dari keluarga Stefanus D. Asong. Sebagai ahli waris
kami merasa tidak puas terhadap kepemimpinan Stefanus D. Asong karena
dalam penerimaan guru-guru hanya orang Congkar dan Larantuka saja
sedangkan kami tidak diterima.”
Memperkuat apa yang dikemukakan oleh Amir Machmud tersebut, Rinus Ruba, menuturkan
sebagai berikut.
“Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, ketua YPTL, Stefanus D. Asong
tidak demokratis. Misalnya penerimaan guru-guru atau pegawai YPTL
diputuskannya sendiri tanpa berunding dengan pengurus YPTL lainnya.
Guru-guru yang diterima tidak sesuai dengan kualifikasi guru yang
dibutuhkan dan lebih mengutamakan keluarganya sendiri.”
16 Karlos Mbada; Wawancara No. 521.
112
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
3. Penyebab Konflik Antara Gereja dan YPTL
Konflik pemilikan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa bermula dari perpecahan dalam tubuh
pengurus YPTL yaitu antara Ketua, Stefanus D. Asong dan Sekretaris, Rinus Ruba (yang
pada saat yang sama menjabat sebagai Ketua DPP Paroki Benteng Jawa dalam berebut
posisi ketua YPTL. Perebutan Posisi Ketua YPTL ini berbuntut pada pemindahan Rinus
Ruba dari SDK Benteng Jawa (yang dipimpin oleh Marselina Asi, famili dari Stefanus D.
Asong; sementara Stefanus D. Asong sendiri adalah ketua BP3 dari sekolah tersebut) ke SDI
(Sekolah Dasar Inpres) Bea Nanga. Akibatnya hubungan antara Rinus Ruba dan Stefanus D.
Asong menjadi buruk dan tidak harmonis. Konsekuensi lebih lanjut dari hal tersebut, menurut
Stefanus D. Asong ialah Rinus Ruba dalam kapasitasnya sebagai ketua DPP Paroki Benteng
Jawa, membuat surat kepada YPTL agar YPTL mengelola SLTP St. Paulus Benteng Jawa
hanya sampai pada tahun anggaran 2002/2003 saja dan selanjutnya gereja akan mengambil
alih pengelolaan SLTP itu. Pernyataan Stefanus D. Asong dibantah informan lainnya, Karlos
Mbada, bahwa sesungguhnya gereja/paroki Benteng Jawa tidak bermaksud untuk mengambil
alih SLTP St. Paulus Benteng Jawa, tetapi semata-mata untuk menjernihkan status tanah
gereja yang di atasnya ada SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
Uskup Ruteng dalam pertemuannya dengan tokoh masyarakat separoki Benteng Jawa pada
tanggal 25 Oktober 2003, sebagaimana dikutip Paulus Toda (Kepala SLTP St. Paulus Benteng
Jawa), mengatakan:
“inti masalah antara YPTL dan gereja/paroki Benteng Jawa adalah masalah
perorangan, sentimen keluarga dan merambat ke masalah tanah SLTP St.
Paulus Benteng Jawa”17
Informan lainnya, Karlos Mbada, mengemukakan:
“sesungguhnya persoalan ini kecil sekali bila ada sikap saling menghargai
dan ada komunikasi yang baik antara pengurus YPTL, gereja, pemerintah
dan masyarakat.”18
Krispinus M. Modes menegaskan:
“persoalan ini semata-mata antara gereja dan YPTL, sedangkan kami sebagai
ahli waris hanya sebagai wasit untuk memperjelas status tanah gereja serta
batas-batasnya berdasarkan ceritera orang tua kami; sehingga bagi
ahliwaris sebenarnya tidak ada persoalan.”19
17 Paulus Toda, Wawancara No. 31 Pra Penelitian.
18 Wawancara No. 521.
19 Wawancara No. 523.
113
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
4. Mekanisme Penyelesaian Konflik
Berbagai persoalan di atas mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat, pertentangan serta
saling mengklaim antara gereja/paroki dan YPTL mengenai status dan pemilikan tanah SLTP
St. Paulus Benteng Jawa sehingga menimbulkan suasana yang tidak aman dan keresahan
dalam masyarakat.
Menyikapi persoalan antara YPTL dengan gereja/paroki Benteng Jawa ini, camat Lamba
Leda bersama komponen terkait di tingkat kecamatan Lamba Leda dan Desa Tengku Leda
melakukan pendekatan secara kekeluargaan. Hasil pendekatan ini berupa perundingan antara
kedua pihak yang bersengketa yang difasilitasi oleh kepala desa Tengku Leda, Edy Komeng,
pada tanggal 2 Agustus 2001. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan berikut ini.
Pertama, pihak YPTL mengakui bahwa tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa adalah tanah
milik gereja/paroki. Konsekuensi dari pengakuan tersebut ialah bahwa apabila YPTL mau
membangun gedung baru di atas tanah yang bersangkutan harus dikonsultasikan dan disetujui
oleh pemilik tanah yaitu gereja/paroki Benteng Jawa. Kedua, pihak YPTL tidak berkeberatan,
apabila tanah tersebut disertifikat oleh agraria atas nama keuskupan Ruteng yang diperuntukkan
bagi penyelenggaraan pendidikan SLTP St. Paulus
Apa yang disepakati pada tanggal 2 Agustus 2001 tidak ditaati oleh pengurus YPTL. Hal ini
terbukti ketika pada tahun 2002 ada bantuan dana Imbal Swadaya untuk pembangunan gedung
ruang kelas baru bagi SLTP St. Paulus senilai sekitar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah). Pada saat itu ketua YPTL, Stefanus D. Asong, membangun gedung tersebut di atas
tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa milik gereja/paroki tanpa konsultasi dan persetujuan
gereja/paroki. Akibatnya ketika bahan-bahan material didrop, pastor Paroki Benteng Jawa,
Romo Lambert Jalang, mencegat mobil truck yang mengangkut bahan-bahan material
dimaksud. Namun tindakan pencegatan dari Romo Lambert Jalang itu tidak dihiraukan oleh
YPTL. Bahkan ketua YPTL, tetap melanjutkan pembangunan gedung tersebut. Karena itu
pihak gereja/paroki mengeluarkan surat larangan kepada YPTL untuk membangun di atas
tanah gereja dan hanya boleh menggunakan tanah gereja/paroki sampai dengan bulan Juli
pada tahun 2003. Tetapi karena larangan tersebut tidak dihiraukan oleh pihak YPTL, maka
pihak gereja/paroki melalui DPP Paroki Benteng Jawa meminta camat Lamba Leda
memfasilitasi pertemuan antara gereja/paroki dan YPTL.
114
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
5. Peristiwa 14 Januari 2003: Titik Akhir Konflik Antara Gereja dengan
YPTL?
Berdasarkan permintaan DPP Paroki Benteng Jawa tersebut, camat Lamba Leda
melangsungkan pertemuan pada tanggal 14 Januari 2003 di kantor camat Lamba Leda dalam
rangka penyelesaian persoalan antara gereja/paroki dengan YPTL. Pertemuan dipimpin oleh
camat Lamba Leda sendiri dan dihadiri oleh Kapolpos (Kepala Polisi Pos Pelayanan) Benteng
Jawa, Babinsa (Bintara Pembina Masyarakat), fungsionaris adat, staf camat, pengurus YPTL,
DPP dan Majelis Gereja Paroki Benteng Jawa, dua orang anggota DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) kabupaten Manggarai dari kecamatan Lamba Leda, kepala SLTP St. Paulus
Benteng Jawa dan beberapa guru YPTL, dua orang pastor dari paroki Benteng Jawa serta
ahli waris dari dalu Umar Achmad Mbolang. Selain itu juga banyak warga masyarakat lainnya
yang ikut menyaksikan pertemuan tersebut dari luar kantor camat Lamba Leda.
Dalam pertemuan tersebut, camat Lamba Leda memberikan pengarahan dan mengingatkan
kembali hasil pertemuan pada tanggal 2 Agustus 2001 yang difasilitasi oleh kepala desa Tengku
Leda, Edy Komeng. Kemudian camat memberikan kesempatan kepada pihak gereja dan
pihak YPTL untuk menyampaikan penjelasan dan pendapatnya masing-masing. Pihak gereja/
paroki melalui DPP Paroki Benteng Jawa menyampaikan bahwa tanah di mana di atasnya
ada bangunan SLTP St. Paulus Benteng Jawa adalah milik gereja/paroki Benteng Jawa dan
mengambil kembali tanah dimaksud untuk kepentingan gereja/paroki Benteng Jawa. Sementara
itu ketua YPTL, Stefanus D. Asong, hanya membacakan empat butir pernyataan YPTL, sebagai
berikut. Pertama, YPTL hadir saat ini merupakan perwujudan sikap hormat YPTL terhadap
undangan Pemerintah Kecamatan Lamba Leda. Kedua, YPTL mempertahankan hasil
perjuangan leluhur mendirikan SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Ketiga, musyawarah hari ini
YPTL menolak, dengan alasan sudah dilakukan musyawarah seperti ini menyangkut hal yang
sama, namun semua kesepakatan tidak ada nilainya. Keempat, jika ada pihak yang merasa
dirugikan dengan kehadiran SLTP St. Paulus Benteng Jawa, silahkan mengadu lewat jalur
hukum. Selesai membacakan pernyataan tersebut dia keluar dari ruang pertemuan dan diikuti
oleh dua orang guru yayasan yaitu Rikus Aso (anak dari Stefanus D. Asong) dan Dami Endok.
Sikap dan perilaku Stefanus D. Asong yang meninggalkan ruang pertemuan tersebut sangat
disesalkan oleh peserta rapat lainnya, Achmad Djamal (salah satu pengurus YPTL) menuturkan:
“…saya sangat malu; baru kali ini saya mengalami dalam hidup, seorang
pemimpin dengan tingkah laku seperti itu. Dia sama sekali tidak menghargai
camat. Saya malu sekali. Tetapi peserta rapat tidak perduli dengan dia
(Stefanus D. Asong ), rapat tetap dilanjutkan”20
20 Wawancara No. 503.
115
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sedangkan suasana ketika Stanis Dani Asan keluar dari ruang pertemuan dilukiskan oleh
Achmad Djamal sebagai berikut:
Saya (Achmad Djamal) lihat pengurus lain kebingungan memandang ke
arah saya. Saya memutuskan tetap tinggal dalam ruangan. Saya kuatir
kalau saya ikut keluar dari ruang pertemuan, keadaan bisa kacau dan
pertumpahan darah bisa terjadi. Kekuatiran saya menjadi kenyataan.
Beberapa saat kemudian terdengar teriakan di luar ruangan, tepatnya di
lapangan depan kantor camat bahwa dua orang guru SLTP St. Paulus kena
pukul.”21
Informan lain, Ferdi Manus menambahkan bahwa mendengar ada orang yang dipukul,
“Orang- orang sekitar kantor camat berbondong-bondong datang
menyaksikan apa yang terjadi. Mereka berteriak-teriak, berlari kesana
kemari, sehingga suasana menjadi tegang.”
Rinus Ruba dan Amir Machmud menuturkan bahwa setibanya mereka (Stefanus D. Asong,
Rikus Aso dan Dami Endok) di luar ruang rapat, mereka dihadang oleh sekelompok warga
yang sedang menyaksikan pertemuan itu. Warga masyarakat yang berada di luar kantor
camat meminta mereka agar masuk kembali ke dalam ruang pertemuan tetapi mereka tidak
mau. Akhirnya antara Dami Endok dan Rikus Aso dengan warga masyarakat yang ada di
luar ruang pertemuan saling dorong-mendorong dan tolak-menolak sehingga suasana menjadi
kacau dan terjadi perkelahian. Dua orang guru SLTP St. Paulus Benteng Jawa yaitu Dami
Endok dan Rikus Aso terkena pukulan massa22 sehingga muka dan badan mereka luka. Bahkan
seorang di antaranya yaitu Rikus Aso, lukanya cukup berat sampai keluar darah dari hidung.
Apa yang dituturkan oleh Rinus Ruba dan Amir Machmud tersebut berbeda dengan yang
disampaikan Dami Endok berikut ini.
“Seusai membacakan surat pernyataan yayasan, ketua YPTL, Stanis Dani Asan
keluar dari ruang rapat. Sampai di luar kantor camat, dia (Stefanus D. Asong)
dihadang oleh massa. Karena itu saya (Dami Endok) dan pak Sius Doro
(Babinsa) keluar dari ruang rapat untuk melerai massa agar tidak memukul
bapak Stefanus D. Asong. Tetapi justru saya sendiri yang bernasib sial, saya
dipukul massa sampai jatuh.”23
21 Ibid.
22 Menurut Stanis Dani Asan (Wawancara No. 502) bahwa Rikus Aso dan Dami Endok dianiaya dan
dipukul oleh massa di luar ruang rapat. Keduanya dipukul sampai bengkak. Pemukulan tersebut ada
kaitannya dengan musyawarah yang diprakarsai oleh camat Lamba Leda saat itu.
23 Wawancara No. 505.
116
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Berbeda dengan Rikus Aso, Dami Endok menerima kenyataan ini sebagai suatu nasib dan
tidak berniat untuk membalas serta memprosesnya lebih lanjut. Sebaliknya Rikus Aso telah
melaporkan peristiwa pemukulan dan penganiayaan terhadap dirinya kepada polisi. Hanya
saja sampai saat ini belum ada proses penyelesaiannya dan sepertinya masalah ini didiamkan
saja oleh polisi.
Suasana di luar kantor camat Lamba Leda ini mempengaruhi jalannya pertemuan di dalam
ruangan kantor camat, sehingga untuk sementara pertemuan dihentikan oleh camat. Kapolpos
dan Babinsa menasihati, melerai dan menyuruh warga masyarakat menghentikan perkelahian.
Pertemuan dilanjutkan setelah suasana keamanan dapat dikendalikan oleh Kapolpos dan
Babinsa. Dalam pertemuan lanjutan tersebut akhirnya baik ahli waris dari dalu Umar Achmad
Mbolang maupun pengurus YPTL yang masih ada membuat pernyataan sikap untuk
membubarkan badan pengurus YPTL di bawah pimpinan Stefanus D. Asong dan membentuk
caretaker badan pengurus untuk mengelola SLTP ST. Paulus Benteng Jawa. Mereka (ahli
waris dan pengurus YPTL) tidak percaya lagi kepada kepemimpinan ketua YPTL, Stefanus
D. Asong karena sikapnya yang tidak menghormati peserta rapat lainnya dan keluar dari
ruang pertemuan. Pernyataan sikap dari ahli waris dan pengurus YPTL itu disetujui oleh
semua peserta pertemuan.
Isi pernyataan sikap dari Pengurus YPTL adalah : Pertama, tanah SLTP St. Paulus Benteng
Jawa adalah benar tanah milik Paroki St. Yusuf Benteng Jawa, sesuai kesepakatan bersama
tanggal 2 Agustus 200. Kedua, membubarkan dengan resmi YPTL dan menyatakan tidak
berhak lagi untuk mengelola SLTP St. Paulus Benteng Jawa dan dengan demikian YPTL
dinyatakan demisioner. Ketiga, memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menunjuk
Care taker guna mengelola keberlangsungan proses belajar mengajar pada SLTP St. Paulus
Benteng Jawa terhitung hari dikeluarkannya surat pernyataan ini. Pernyataan sikap dari
pengurus YPTL dibuat dan ditanda-tangani oleh segenap komponen dalam YPTL yaitu
Pelindung, Pengawas dan Badan Pengurus.
Penyataan sikap pengurus YPTL juga ditunjang oleh pernyataan sikap dari ahli waris Dalu
yang isinya: Pertama, tanah SLTP St. Paulus adalah milik gereja; Kedua, proses belajar
mengajar pada SLTP St. Paulus tetap berjalan tetapi harus berada di bawah asuhan misi
dengan bekerja sama dengan penjasa; dan Ketiga, segera membentuk caretaker.
Keputusan pertemuan pada tanggal 14 Januari 2003 tersebut menurut camat Lamba Leda,
Andreas Embong, Krispinus M. Modes; dan Amir Machmud tidak saja diterima oleh seluruh
peserta pertemuan tetapi juga diterima oleh pengurus YPTL serta ahli waris tanah. Hal ini
berarti konflik pemilikan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa dengan YPTL telah diselesaikan
117
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
secara tuntas, sehingga dengan demikian seharusnya tidak ada persoalan lagi mengenai status
dan pemilikan tanah tersebut
Tetapi menurut Stefanus D. Asong, keputusan hasil musyawarah tanggal 14 Januari 2003
belum merupakan keputusan final. Hal ini berarti konflik mengenai status dan pemilikan
tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa antara gereja/paroki Benteng Jawa sebenarnya belum
diselesaikan secara baik dan tuntas. Alasannya ialah: (1) tembusan surat keputusan tersebut
sampai saat ini belum diberikan kepadanya sebagai ketua Badan Pengurus YPTL; (2) sampai
saat ini belum ada serah terima jabatan antara Stefanus D. Asong dengan ketua caretaker,
Krispinus M. Modes. Sikap Stefanus D. Asong tersebut dipertegas lagi dalam suratnya
kepada tanggal 15 Mei 2003 perihal Sikap Tidak Terpuji Camat Lamba Leda pada rapat
yang diprakarsainya pada tanggal 14 Januari 2003 dalam rangka penyelesaian konflik pemilikan
tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa antara YPTL dan gereja/paroki Benteng (lihat Kotak
3).
Kotak 3: Kritik Stefanus D. Asong kepada Camat
Surat kepada Bupati mengkritik upaya penyelesaian oleh camat termasuk:
1. Camat tidak bertindak sebagai seorang fasilitator dan penengah yang baik;
2. Camat cenderung berat sebelah yaitu memihak pada kepentingan Dewan Paroki,
menyudutkan dan merugikan posisi pihak YPTL, serta tidak berusaha mencari titik
temu tercapainya kesepakatan di antara kedua pihak;
3. Camat selalu mempersalahkan pengurus YPTL dalam hal pengangkatan pegawai dan
anggota pengurus lainnya;
4. Tanpa alasan yang cukup, camat menilai bahwa semua surat dan dokumen yang
dipegang YPTL adalah cacat hukum;
5. Camat bersikap masa bodoh terhadap peristiwa penganiayaan dua orang guru SLTP
St. Paulus Benteng Jawa yaitu Rikus Aso dan Dami Endok di luar kantor camat Lamba
Leda pada pertemuan tanggal 14 Januari 2003 yang diprakarsai dan dipimpin oleh
camat sendiri;
6. Tanpa melalui proses aturan yang wajar telah membubarkan kepengurusan YPTL dan
membentuk kepengurusan sementara (Caretaker).
Tembusan surat Stefanus D. Asong, dikirim kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
kabupaten Manggarai di Ruteng dan kepada Yang Mulia Uskup Ruteng di Ruteng. Sampai
sekarang baik Bupati, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai
maupun Uskup Ruteng belum memberikan tanggapan terhadap surat Stefanus D. Asong
tersebut. Dengan demikian persoalan pemilikan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa antara
gereja/paroki Benteng Jawa sebenarnya belum diselesaikan secara baik dan tuntas, dalam
arti diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam koflik tersebut.
118
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
6. Dampak Konflik
Konflik ini berdampak pada kurang harmonisnya hubungan antara paroki dengan keluarga
Stefanus D. Asong dan beberapa guru SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Beberapa guru dan
keluarga Stefanus D. Asong saat ini jarang ke gereja. Dalam doa kelompok dan kegiatan
lainnya dalam kelompok, keluarga Stefanus D. Asong jarang hadir. Tidak itu saja, sejak
peristiwa 14 Januari 2003, sebagai pegawai negeri pada kantor camat Lamba Leda, Stefanus
D. Asong tidak pernah masuk kerja lagi. Akibatnya gajinya sampai saat ini ditahan dan
belum dibayar.
Sebaliknya proses belajar mengajar pada SLTP St. Paulus Benteng Jawa tidak terganggu
dengan persoalan ini dan berjalan seperti biasa. Guru-guru tetap mengajar seperti biasa,
kecuali Rikus Aso. Rikus Aso, hingga saat ini tidak pernah mengajar lagi di SLTP St. Paulus
Benteng Jawa.
Mengenai hubungan antara ketua DPP Paroki Benteng Jawa, Robert Boe dengan keluarga
Stefanus D. Asong, Rinus Ruba menuturkan :
“Hubungan keluarga saya (Rinus Ruba) dengan keluarga Stefanus D.
Asong akhir-akhir ini sangat jelek; pada hal antara keluarga saya dengan
keluarga Stefanus D. Asong masih mempunyai hubungan keluarga. Kami
(maksudnya keluarga Asan dan keluarga Rinus Ruba) tidak saling
mengunjungi, dan mereka (keluarga Stefanus D. Asong) tidak mengundang
saya (Rinus Ruba) ketika ada acara penting dalam keluarga mereka, pada
hal sebelumnya saya dianggap yang dituakan. Mereka menganggap saya
sebagai pembuat skenario atau biang keladi persoalan tanah antara YPTL
dengan gereja/paroki, karena saya adalah ketua DPP Paroki Benteng Jawa.
Saya sering diteror, dicaci maki serta dianggap sebagai orang yang belum
berpengalaman [Tekur cai Retuk lawo cai bao artinya tekukur dan tikus
yang baru lahir; maksudnya belum berpengalaman].”24
Lebih jauh dari itu konflik ini telah menimbulkan polarisasi dalam masyarakat, tidak saja
terhadap masyarakat umum tetapi juga para ahli waris. Ada yang mendukung gereja/paroki
dan ada pula yang mendukung YPTL. Karena itu apa yang akan terjadi sangat bergantung
pada tanggapan dari Bupati atas surat dari Stanis Dani Asan pada tanggal 15 Mei 2003. Kita
lihat saja.
24 Wawancara No. 520, Rinus Ruba.
119
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
7. Kesimpulan: Membedakan Hak Penggunaan dan Pemilikan
Menurut penulis, untuk menyelesaikan kasus ini secara baik, tuntas dan memuaskan perlu
mendalami apa makna dari pemisahan peruntukan tanah misi/gereja menjadi tanah sekolah
dan tanah stasi atau gereja/paroki pada tahun 1956 dan pembagian aset antara SDK dan
SLTP St. Paulus Benteng Jawa oleh pastor paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen
pada tahun 1978. Makna apa yang terkandung dalam kedua peristiwa itu memberikan
kepastian tentang siapa yang mempunyai hak milik atas tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa;
apakah gereja/paroki atau YPTL. Kepastian mengenai siapa yang mempunyai hak milik atas
tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa ini sangat krusial dan menentukan proses penyelesaian
kasus ini secara tepat dan benar.
Pemisahan peruntukan Tanah misi/gereja pada tahun 1956 menjadi Tanah Sekolah dan Tanah
Stasi atau paroki mengandung minimal dua makna dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Makna yang pertama, ialah hanya mengenai peruntukan tanah tersebut. Konsekuensinya
ialah bahwa satu-satunya pemegang hak atas tanah tersebut hanyalah misi atau gereja. Makna
yang kedua ialah bahwa pemisahan itu bukan hanya mengenai peruntukan tanah tetapi juga
menyangkut pemilikannya. Konsekuensinya ialah bahwa tanah misi itu setelah dipisahkan
menjadi tanah sekolah dan tanah stasi atau gereja/paroki maka pemegang hak atau pemiliknya
adalah sekolah dan stasi atau gereja/paroki. Karena itu baik sekolah maupun gereja atau
paroki mempunyai hak untuk mensertifikatkan tanah tersebut. Hanya saja apa yang dimaksud
dengan sekolah tetap merupakan persoalan. Apakah hanya SDK atau kah juga SLTP? Tetapi
bila kita lihat dalam prakteknya selama ini dan pembagian aset antara SDK dan SLTP St.Paulus
Benteng Jawa oleh pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen pada tahun 1978,
dapat disimpulkan bahwa pemisahan tanah misi/gereja tahun 1956 itu hanya mengenai
peruntukan tanah dan bukan mengenai pemilikannya. Pemiliknya tetap satu yaitu misi atau
gereja/paroki Benteng Jawa.
Seperti halnya pemisahan tanah misi tahun 1956, pembagian aset antara SDK dan SLTP St.
Paulus Benteng Jawa, oleh pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M.Mollen pada
tahun 1978 juga mengandung dua makna. Makna yang pertama ialah pembagian itu hanya
mengenai pemanfaatan aset tersebut yaitu untuk SDK dan SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
Akibatnya hanya gereja/paroki Benteng Jawa yang mempunyai hak milik atas aset tersebut,
termasuk tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa, sedangkan YPTL tidak. Karena YPTL tidak
mempunyai hak milik atas tanah SLTP maka ia tidak berwenang untuk mensertifikatkannya.
Makna yang kedua ialah bahwa pembagian itu selain mengenai pemanfaatan aset juga mengenai
pemilikannya. Konsekuensinya baik pengelola SDK yaitu gereja/paroki atau YASUKMA
maupun pengelola SLTP St. Paulus Benteng Jawa yaitu YPTL sama-sama mempunyai hak
milik atas asetnya masing-masing. Artinya pengelola SDK mempunyai hak milik atas aset
120
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
SDK termasuk tanah yang dimanfaatkan oleh SDK saja dan bukan atas seluruh tanah sekolah
sebagaimana ditetapkan pada tahun 1956. Sebaliknya pengelola SLTP St. Paulus Benteng
Jawa mempunyai hak milik atas aset yang dibagikan Pater Geradus M. Mollen tahun 1978
kepada YPTL termasuk tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa. Sayang sekali apa makna
pemisahan peruntukan tanah misi/gereja pada tahun 1956 dan pembagian aset antara SDK
dan SLTP St. Paulus Benteng Jawa pada tahun 1978 tersebut tidak dapat dipastikan oleh
peneliti, karena dokumen tersebut tidak diperoleh oleh peneliti. Disamping itu yang dapat
memastikan makna dari pembagian aset tahun 1978 itu hanyalah Pater Geradus M. Mollen
sendiri. Karena itu untuk penyelesaian kasus ini secara baik, tuntas dan memuaskan perlu
meminta keterangan dan kesaksian dari beliau.
121
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kronologi Kasus:
Konflik Pemilikan Tanah SLTP
Tahun Kegiatan/Peristiwa
1931 Dalu Lamba Leda Unu Abdullah Mbuka menyerahkan secara lisan
dua bidang tanah yaitu Lingko Watang Tonggang dan Lingko Pong
Jengok kepada misi/gereja
26 Sept 1956 Pemisahan peruntukan tanah misi yang diserahkan oleh dalu
Umar Achmad Mbolang pada tahun 1931 menjadi Tanah Sekolah
dan Tanah Stasi atai gereja/parokigereja (versi Rinus Ruba). Versi
Stefanus D. Asong pemisahan perutukan tanah misi ini terjadi
pada tahun 1958.
1958 Versi Achmad Djamal: pengukuhan penyerahan tanah tahun 1931
secara tertulis oleh dalu Umar Achmad Mbolang.Versi Stefanus
D. Asong: Dua lingko yang diserahkan untuk misi/gereja
dipisahkan peruntukannya menjadi Tanah Sekolah.
1960 Pengukuhan penyerahan tanah secara tertulis yang ditanda
tangani oleh dalu Umar Achmad Mbolang dan 18 gelarang di
kecamatan Lamba Leda (Rinus Ruba dan Amir Machmud).
1967 SLTP St. Paulus Benteng Jawa didirikan/dibangun.
1974 Akte Pendirian YPTL dibuat dengan pengurus terdiri dari:
Pelindung, Camat Lamba Leda; Badan Pengawas dan Badan
Pengurus.
1978 • BP3 SDK Benteng Jawa menyurati YPTL untuk menyerahkan
kembali gedung SDK Benteng Jawa yang dipakai oleh SLTP
St. Paulus Benteng Jawa kepada BP3 SDK Benteng Jawa.
• YPTL menjawab surat BP3 SDK Benteng Jawa itu dengan
membuat surat kepada pastor Paroki, Pater Geradus M. Mollen
untuk meminta pembagian aset antara SDK dan SLTP St.
Paulus Benteng Jawa.
• Pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen
menanda-tangani surat pembagian aset antara SDK dan SLTP
St. Paulus Benteng Jawa yang konsepnya dibuat oleh YPTL.
1980 Pastor Paroki Benteng Jawa, Romo Dalo Manggung,
menyampaikan keinginannya kepada YPTL untuk mengelola
SLTP St. Paulus Benteng Jawa tetapi tidak disetujui oleh YPTL.
1982 • Frans Isakar, salah seorang ahli waris, membuat pagar dan
sekaligus menggugat tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa
kepada camat Lamba Leda.
• Berdasarkan keputusan camat Lamba Leda.YPTL membayar
sebesar Rp.1.000.000,- kepada Frans Isakar.
122
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
1992 • Stefanus D. Asong diangkat menjadi ketua badan pengurus
YPTL menggantikan Mikael Bolong yang telah meninggal dunia.
Sejak saat itu Kolusi dan Nepotisme berkembang dalam tubuh
YPTL, dalam rangka melanggengkan hubungan antar pengurus
YPTL pimpinan Stefanus D. Asong.
• Terjadi perpecahan antara ahli waris: sebagian ahli waris
menjadi anggota atau pengurus YPTL dan sebagiannya tidak.
1999 Ahli waris dan DPP Paroki Benteng Jawa meminta camat
mengundang YPTL untuk mendiskusikan masalah pengelolan
SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
2000 • DPP (Dewan Pastoral Paroki) dan Majelis Gereja menulis surat
kepada YPTL untuk mengembalikan tanah SLTP St.Paulus
Benteng Jawa kepada gereja/paroki.Ketua YPTL, Stefanus D.
Asong mengemukakan bahwa tanah tempat SLTP berdiri
adalah milik YPTL.
2001 • YPTL mengirim surat kepada BPN (Badan Pertanahan
Nasional) meminta supaya tanah SLTP disertifikatkan melalui
Prona atas nama YPTL.
• DPP Benteng Jawa membuat surat keberatan kepada Kepala
Desa Tengku Leda terhadap proses pensertifikatan tanah SLTP
St.Paulus Benteng atas nama YPTL. Tembusan surat
keberatan DPP tersebut dikirim kepada BPN dan uskup
Ruteng.
2 Agustus 2001 Kepala desa Tengku Leda Elias Komi memfasilitasi pertemuan
antara YPTL, DPP, Majelis Gereja dan Pastor Paroki Benteng
Jawa mengenai persoalan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
Hasil: (1) Tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa adalah milik
gereja/paroki; (2) YPTL tidak keberatan tanah itu disertifikat atas
nama gereja/paroki tetapi penggunaannya adalah untuk SLTP ST.
Paulus Benteng Jawa.
Oktober 2001 SLTP St. Paulus Benteng Jawa mendapat dana Imbal Swadaya
untuk membangun satu ruang kelas baru sebesar sekitar
Rp.30.000.000,-.
2002 • Pastor paroki Benteng Jawa, Romo Lambert Jalang berusaha
mengganggu pembangunan.
• Guru-guru SLTP St. Paulus Benteng Jawa mengadakan rapat
sebagai reaksi atas tindakan Romo Lambert Jalang tersebut.
• YPTL merencanakan mengadakan rapat untuk membicarakan
status tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa, tetapi batal.
• Rapat di kantor camat Lamba Leda antara pastor paroki, YPTL,
dan camat.
• Undangan rapat kilat yang diumumkan lewat mimbar gereja
untuk membicarakan status tanah SLTP St. Paulus.
123
Konflik Pemilikan Tanah SLTP. St. Paulus Benteng Jawa
Desa Tengku Leda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Flores
Penulis: Agus Mahur
Peneliti: Agus Mahur, Peter Manggut, Yan Ghewa; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
• YPTL menjawab: YPTL tidak mengklaim tanah gereja dan mari
kita runding baik-baik.
• Kepala Dinas Pendidikan dan Kabudayaan kabupaten
Manggarai datang ke SLTP St. Paulus Benteng Jawa dan dalam
buku tamu menginstruksikan: “laksanakan pemanfaatan dana
sesuai proposal.”
25 Oktober ‘02 Uskup Ruteng datang ke Benteng Jawa dan bertemu dengan
umat, DPP, Majelis Gereja, tokoh masyarakat dan ahli waris Dalu.
Desember ‘02 Sebelum dan sesudah Natal DPP membuat surat kepada camat
untuk mengadakan rapat gabungan guna membicarakan status
SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
14 Januari ‘03 • Rapat di kantor camat yang dihadiri: Pemerintah, DPP dan
Majelis gereja, YPTL, para guru YPTL, fungsionaris adat, dua
anggota DPRD kabupaten Manggarai, Kapolpos Benteng
Jawa, Babinsa dan pastor paroki dalam rangka menyelesaikan
sengketa tanah antara YPTL dan gereja/paroki Benteng Jawa.
• Dua orang guru SLTP St. Paulus Rikus Aso dan Dami Endok
luka kena pukulan massa di luar ruang pertemuan.
• Ahli waris dan pengurus YPTL, kecuali Stefanus D. Asong
membuat pernyataan sikap.
• Rapat memutuska : membubarkan badan pengurus YPTL
pimpinan Stefanus D. Asong dan membentuk Care Taker untuk
mengelola SLTP St. Paulus Benteng Jawa.
15 Januari ‘03 • Stefanus D. Asong menghadap pastor paroki Benteng Jawa
dan menyatakan dukungan dan persetujuan atas keputusan
rapat pada tanggal 14 Januari 2003.
• Pastor paroki Benteng Jawa ke SLTP St. Paulus Benteng Jawa
memberikan peneguhan kepada Care Taker YPTL, Kepala
Sekolah dan guru-guru serta siswa/i supaya menjalankan
tugas seperti biasa.
15 Mei 2003 Stefanus D. Asong menulis surat kepada Bupati Manggarai
tentang sikap tidak terpuji camat Lamba Leda pada tanggal 14
Januari 2003 dalam rangka penyelesaian masalah tanah SLTP
St. Paulus Benteng Jawa.
124
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Siapa Berhak Memilikinya?
Kontroversi Tanah Tak Bertuan
Ringkasan
Ketika meninggal dunia, Maria Pingga, janda tanpa anak, tidak pernah memberi
wasiat kepada siapapun untuk memiliki tanah persawahan yang pernah ia miliki
semasa hidupnya. Tanah yang tak bertuan lagi ini kemudian menjadi medan
sengketa ketika Mateus Jogha, menantu dari adiknya Mingga dan Fransiska Kora,
cucu Mingga mengklaim bahwa tanah itu adalah milik mereka. Ketika berakhir
dengan kekerasan, kedua belah pihak melaporkan kepada tentara dan polisi,
tetapi mereka menolak terlibat dalam kasus tanah sipil. Kasus ini pada awalnya
muncul di desa, dan melibatkan elemen pemerintah dan sistem adat. Tetapi
ketika masalah ini sampai di pengadilan di Kupang, Mateus Jogha-lah yang
ditunjuk sebagai pihak yang berhak memilikinya. Yang menarik, menurut hukum
adat tidak satu pun dari mereka yang berhak atas tanah tersebut selain anak
angkat yang sudah meninggalkan desa itu.
1. Latar Belakang
Magepanda, salah satu desa dari kecamatan Nita adalah sebuah bentangan dataran pertanian
yang terletak kira-kira 27 kilometer dari ibukota kabupaten Sikka, Maumere. Wilayah ini
ditempati oleh masyarakat dari berbagai etnis yaitu etnis Lio, sebagai etnis terbesar yang
dikenal dengan sebutan orang asli; etnis Krowe, yaitu orang-orang Maumere, etnis Bugis
yang berasal dari Sulawesi Selatan dan berbagai etnis lain yang jumlahnya tidak terlalu besar,
seperti Manggarai, Ngada, Flotim dan Sabu dari pulau Sabu yang menetap karena alasan
kawin-mawin. Secara historis wilayah ini sebenarnya merupakan wilayah resettlement karena
sebelum tahun 1960-an, daerah ini merupakan wilayah perburuhan hewan dan tempat tinggal
kerbau liar.1
Dalam jangka waktu 1967 – 1975, banyak masyarakat dari wilayah pegunungan yaitu Mboa,
Jitabewa, Woloara, Lelebata, Wualadu dan Kojabewa turun ke dataran Magepanda atas
perintah pemerintahan desa. Selain itu. masyarakat Krowe yaitu dari Nita, Tilang dan Koting
juga ikut datang ke tempat tersebut. Pada tahun 1968, empat puluh keluarga Bugis dari
kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan melarikan diri ke wilayah ini karena ketidak-amanan situasi
1 Pada tahun 1972-1973, proyek resettlement dari pemerintah kabupaten Sikka terlaksana di dataran ini
dengan pembangunan 72 rumah sangat sederhana bagi masyarakat yang berasal dari wilayah
pegunungan. Bandingkan dengan Format Studi Kasus No. 606 dan No. 629.
125
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
di sana sebagai akibat dari pemberontakan Kahar Muzakar.2 Migrasi massal penduduk dari
wilayah lain ke dataran Magepanda sempat dituturkan juga oleh Romanus Sawe, seorang
mantan kepala desa pertama, 1966 desa gaya baru Magepanda waktu itu.
“Awalnya itu sekitar 1967 ini, ada pendekatan dengan ria bewa (tua adat)
dan sosialisasi dengan masyarakat. Kita (aparat desa) berulang kali bicara
dan bersama (ria bewa dan aparat) turun ke lapangan (kampung Woloara-
Lelebata), kita sosisalisasikan pentingnya pindah ke desa baru
(Magepanda), tentang tertib lingkungan di kampung. Ada warga yang
diajak turun dari gunung ke Magepanda untuk lihat dulu, lalu kita punya
tanah diukur. Masyarakat juga ikut ukur (tanah) dan diberi batas dengan
kayu-kayu dan bambu panjang sehingga dari kejauhan orang bisa lihat.”
Romanus Sawe, mantan Kades Magepanda
Orang-orang yang tidak memiliki tanah dan rumah dari wilayah pegunungan ini dan juga
beberapa wilayah lain di luar kabupaten Sikka, yang dalam adat Lio disebut fai walu ana
kalo3 diberi lahan garapan masing-masing oleh ria bewa4 sebagai tempat mereka memperoleh
nafkah hidup. Lahan yang diberi oleh para tua adat ini kemudian menjadi harta milik si penerima
sendiri sampai diturunkan kepada anak cucu mereka.
Di antara sekian banyak transmigran yang datang ke dataran Magepanda, Maria Pingga adalah
salah seorang penduduk yang ikut dalam gelombang eksodus dari kampung Woloara, di
wilayah pegunungan. Di Magepanda ia mendapat pembagian tanah atas namanya sendiri dan
membuka serta mengolah lahan itu menjadi sawah sebelum orang-orang lain di kampungnya
mulai membuka persawahan.
2 Kahar Muzakar adalah pemimpin sebuah gerakan dari Sulawesi Selatan yang menuntut Republik
Indonesia untuk menerima kelompoknya yaitu pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menjadi satu
divisi tersendiri dari TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tuntutan ini ditolak sehingga Kahar Muzakar
mulai memberontak tahun 1950 dan memproklamasikan gerakannya pada tahun 1953 sebagai bagian
dari upaya pembentukan Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat yang sering
dikenal dengan DI/TII. Pada masa ketika pemberontakan itu terjadi, situasi Sulawesi Selatan menjadi
tidak stabil. Bandingkan juga dengan format FGD komunitas Bugis Bajo, kode 622.
3 Secara literer, fai walu ana kalo berarti janda dan anak yatim piatu. Tetapi secara simbolik fai walu
ana kalo berarti rakyat jelata yang tidak mempunyai kedudukan dalam istitusi adat, tidak memiliki
tanah dan pada umumnya para pendatang. Bandingkan dengan Wawancara No. 625 dan Wawancara
No. 650.
4 Ria bewa adalah istilah bahasa Lio yang merujuk pada pemimpin adat tertinggi dan sekaligus tuan
tanah di wilayah Lio. Ria bewa biasanya diangkat oleh para mosalaki (para tua adat) untuk menjadi
koordinator bagi mereka. Seluruh proses pembagian tanah di wilayah Lio biasanya selalu disertai
restu ria bewa. Bandingkan dengan Wawancara No. 650; Wawancara No. 625; Wawancara No. 607;
dan Wawancara No. 608.
126
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“Sebelumnya mama Maria Pingga biasa bantu tanam dan ketam padi dengan
kami. Dia lihat kami punya hasil berasnya bagus, jadi dia juga minta supaya
buka petak (sawah) untuk dia. Waktu itu suami saya buka empat petak
yang besar-besar, hanya petak-petak sawah dia punya saja yang ada di
situ. Sebelah barat, timur, selatan, utara belum ada yang buka sawah waktu
itu. Jadi waktu hakim tanya apakah saya tahu batas-batas tanah dengan
siapa, saya jawab saya tidak tahu karena memang semuanya masih hutan
di sekitarnya waktu itu.”
Rosa Sina, Magepanda, 25 Juni 2003
Sebagai orang yang datang berkelompok dari gunung Maria Pingga tinggal bersama keluarga
adiknya Mingga serta Mateus Jogha, mantu dari Mingga, dalam satu keluarga besar di tempat
yang bernama dusun Kampung Baru. Ketika itu adiknya Mingga telah meninggal di Woloara
dan ia sendiri semakin beranjak tua. Keluarga besar Mingga yang tinggal bersama waktu itu
adalah Thres dan suaminya Mateus Jogha, Angelina dan cucunya Fransiska serta Patris dan
nenek Maria Pingga itu sendiri. Lahan sawah yang sudah dibukanya itu digarapnya bersama
Angelina dan Fransiska serta Patris sedangkan Mateus Jogha beserta keluarganya menggarap
tanahnya sendiri yang langsung berbatasan dengan tanah milik nenek Maria Pingga (lihat
Kotak1).
Tentang tinggal bersama di rumahnya ini, Mateus Jogha mempunyai kesaksian tersendiri.
“Saya juga pelihara mereka sampai mereka mati. Yang saya pelihara termasuk
Rida (Fransiska Kora) dan mamanya (Dhasi). Dulu semua mereka tinggal
bersama saya tapi sekarang mereka berbalik (melawan saya lagi).”5
Mateus Jogha, Magepanda, 19 Juni 2003
Relasi Keluarga Maria Pingga dan Mateus Jogha
Nenek Moyang
Penga (alm) x Mingga (alm)-----Maria Pingga (alm) x Seto (alm)
Ambo (L) x Angelina Dhesa (P) Thres (P) x Mateus Jogha (L)
........x Katharina Dhasi (P) Yohanes Sare (L) x Yustina (P)
Patris (L) Fransiska Kora (P) Elisabeth (P) Ardianus (L)
5 Wawancara No. 606, bandingkan juga dengan Wawancara No. 627.
127
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
2. Ketika Pemilik Tanah Telah Tiada
Mateus Jogha yang merasa sebagai penanggung jawab seluruh keluarga besar termasuk
Angelina, Katharina, Fransiska Kora dan Patris, mulai mengambil alih seluruh manajemen
keluarga termasuk tanah persawahan yang dimiliki oleh Maria Pingga yang semasa hidupnya
dikerjakan oleh Maria Pingga sendiri beserta Angelina dan Fransiska Kora si cucu kecil.
Dia mulai dengan menyuruh anaknya Yohanes Sare dan istrinya Yustina menggarap tanah
milik Maria Pingga sedangkan Angelina Dhesa, Fransiska dan Patris disuruhnya bekerja pada
tanah miliknya. Ini terjadi seperti bertukar kebun. Atas tindakan ini, seorang warga Magepanda
pernah memberikan analisanya.
“Sewaktu nenek Maria Pingga sudah meninggal, Mateus menyuruh
Fransiska Kora menggarap lahannya sedangkan anak kandungnya
Yohanes Sare disuruh menggarap tanahnya Maria Pingga. Saya lihat
Mateus Jogha sudah buat tipu muslihat dengan teknik seperti itu untuk
ambil tanahnya Maria Pingga. Mateus Jogha lalu menggadai tanah yang
digarap oleh anaknya Lera itu (tanah Maria Pingga) dan kemudian
merampas kembali tanah miliknya yang sedang dikerjakan oleh Fransiska
Kora. Fransiska Kora mau kerja lagi di tanah Maria Pingga sudah tidak
bisa lagi karena Mateus sudah gadai.”
Darius Siku, Wakil Ketua BPD Magepanda, 18 Juni 200)
3. Mateus Tak Lagi Setia Mengayomi
Pada tahun 1990, Mateus menggadai tanah milik Maria Pingga kepada seorang Bugis yang
bernama Mada Ali.6 Dengan digadainya tanah ini maka Yohanes Sare dan Yustina tidak
memiliki tanah garapan lagi. Dengan sendirinya Mateus mengambil kembali tanah miliknya
yang sedang digarap oleh Angelina dan anaknya Fransiska serta Patris agar ia sendiri dan
anaknya Philipus serta Yustina dapat memiliki petak sawah lagi. Masalah mulai timbul di sini
karena Fransiska yang mulai hidup berkeluarga tidak mau menerima cara perebutan tanah
yang seperti ini.
“Masalah sudah ada sejak 1993, ada pertemuan di desa untuk menetapkan
bahwa tanah dibagi oleh tuan tanah untuk cucunya nenek Maria Pingga
(yaitu Fransiska) dan anaknya Mateus Jogha (Yohanes Sare).”
Fransiska Kora, 19 Juni 2003
6 Lihat Wawancara No. 613,
128
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sepanjang tahun 1998 sampai 1999, Mateus dan Fransiska sudah sering bertengkar di kebun.
Mateus sering datang ke kebun lalu mengusir Fransiska dan Patris tetapi kedua bersaudara
itu tidak mau menggubris. Melihat ketegaran Fransiska dan Patris, Mateus akhirnya melibatkan
aparat militer di desa yaitu babinsa.7
“Tahun 1999, waktu itu sekitar 5 Februari, dia (Mateus) kirim babinsa datangi
kami (Fransiska dan Patris saudaranya). Mereka datang dan paksa serahkan
tanah kepada Mateus Jogha. Kami tidak mau. Ini tanah usaha kami punya.
Babinsa itu, Pak Feliks mulai tendang dan pukul Patrisius. Ia (Patris)
bengkak, luka di muka dan kaki.”
Fransiska Kora, 19 Juni 2003
Campur tangan militer dengan kekerasan ini juga dikeluhkan oleh Patrisius korban pemukulan
waktu itu.
“Kami ini orang bodoh, tidak punya modal. Orang bisa pukul kami. Dia
(Pak Feliks) pukul sampai 31 kali, saya masih ingat. Tanggal 7 Februari
karena takut dipukul lagi kami lapor sampai ke pos kodim (lembaga militer
di Maumere). Waktu datang kami diberi obat dan petugas berusaha
mendamaikan kami. Mereka bilang ini masalah perdata bukan mereka punya
hak. Petugas juga kasih uang mobil (ongkos angkutan umum) untuk kami
pulang.”
Patrisius Ngura, Saudara dari Fransiska, 19 Juni 2003
Setelah mendengar bahwa militer tidak dapat menyelesaikan masalah ini, maka Fransiska dan
Patris kembali ke Magepanda dan melaporkannya kepada pemerintahan desa.
“Sekitar 30 Februari 1999, kepala desa ajak kami (kedua pihak) makan untuk
berdamai di rumahnya (rumah kepala desa). Kita ini semua masih keluarga,
kita harus bagi (tanah tersebut). Ini tanah nenek punya. Sudah mau
pertemuan, mereka tidak hadir (Mateus dan keluarga tidak hadir).”
Fransiska Kora, 19 Juni 2003
Mengapa Mateus menolak hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh pemerintahan
desa, ia menuturkan demikian:
“Pernah ada urusan dan pertemuan di desa tapi saya tidak mau ikut (dalam
pertemuan itu) karena mereka (kepala desa dan tua-tua adat) mau membagi
tanah itu. Saya tidak setuju”.
Mateus Jogha, 4 Juli 2003
7 Babinsa adalah unit terkecil dalam institusi militer yang menetap di desa-desa. Unit militer ini sekarang
sudah banyak dihapus dari desa-desa di Indonesia.
129
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sejak peristiwa pemukulan dan pengusiran oleh Pak Feliks terhadap Fransiska dan saudaranya
Patris maka petak sawah Maria Pingga itu kemudian dikerjakan oleh Mateus Jogha, Yohanes
Sare dan Yustina.
4. Tangan Fransiska Sampai Berdarah-darah...
Karena tidak puas terhadap jalan penyelesaian yang menguntungkan Mateus Jogha, maka
pada tahun 2000, Fransiska memberanikan diri untuk membajak petak sawah yang sudah
diambil oleh Mateus Jogha tersebut. Sayang sekali bahwa sesudah dibajak malahan yang
menanam adalah Yustina dengan dibantu bapak mantunya Mateus Jogha. Fransiska marah,
lalu saat panen terjadilah perkelahian yang menyebabkan dia terluka.8
Peristiwa perkelahian antara dirinya dan Yustina di petak sawah Maria Pingga ini sempat
diceritakannnya dengan gamblang.
“6 Mei 2000, kami (Fransiska dan Yustina) bertengkar di petak sawah tentang
padi yang ditanam. Kami bertengkar, lalu Carolina Yustina potong tangan
saya sampai robek. Saya dibawa ke puskesmas Magepanda, dijahit di
tangan sekitar 9cm. Lalu kami lapor ke polisi Nita, setelah lapor juga ke pos
polisi Ndete. Polisi tidak datang. Tidak turun ke bawah. Mereka datang
hanya ambil barang bukti (alat potong/sabit).”
Fransiska Kora, korban terluka, 19 Juni 2003
Terhadap peristiwa perkelahian di sawah ini, Yustina memberikan pengakuannya sendiri.
“Kemudian (sewaktu panen) kira-kira tahun 2000, mereka (Fransiska dan
lima anggota kelompoknya) datang sabit (potong padi), juga bikin rusak
satu petak sawah, hanya tebas dan kasih tinggal (dihambur begitu saja).
Ada enam petak sawah, tetapi mereka lima orang datang. Waktu itu saya
pulang dari pasar. Saya pi (pergi) ke sawah, tahu-tahu mereka sudah sabit
potong lepas (hambur-hambur) satu petak sawah. Mereka juga mau pukul
saya sampai saya berkelahi.... Waktu itu bukan saya potong (tangan
Fransiska), tapi saya takut mereka bawa sabit. Saya tarik sabit ke bawah,
ke tanah tapi (waktu tarik itu) kena dia punya tangan. Saya tidak punya
sabit. Mereka malah lapor saya potong tangan dia padahal itu bukan
karena saya mau potong (tidak sengaja)”
Carolina Yustina, 24 Juni 2003
Fransiska kemudian melapor kepada polisi pos Ndete dan sampai juga ke pos Nita. Polisi
hanya mengurus masalah perkelahiannya itu dengan cara menanyai kedua pihak mengenai
8 Wawancara No. 627.
130
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
apa yang terjadi dan mendamaikan mereka di kantor polisi tetapi tidak mau mengurus masalah
tanah itu. Mereka mengembalikan lagi masalah itu untuk diurus di desa sebab masalah ini
menyangkut masalah perdata bukan kriminal murni.9
Ketika kembali lagi ke desa, Fransiska dan Patris memutuskan untuk menyelesaikan perkara
ini di pengadilan. Fransiska kemudian menggugat Mateus Jogha di Pengadilan Negeri Maumere
pada bulan Desember 2000.
“Karena dua kali dipukul dan dipotong begitu, akhirnya kami mulai lapor
ke pengadilan. Karena kami tidak puas. Biarpun kami hanya punya SK
(Surat Keputusan tentang pembagian tanah) saja tapi ini SK tanah dari
(departemen) Agraria. Tuan tanah itu (Paulus Soka) saksi untuk saya,
bapak desa (Petrus Mbako) juga saksi untuk saya. Juga bapak Markus
Kota (mantan kepala desa) jadi saksi. Sidang mulai tahun 2000 sampai
dengan 2001. Hampir seminggu sekali. Sidang mungkin 30 kali selama dua
tahun.”
Fransiska Kora, 19 Juni 2003
Sidang berlangsung sebanyak 19 kali untuk konvensi (gugatan) dan 19 kali lagi untuk rekonvensi
(tanggapan pihak tergugat terhadap gugatan pengugat). Pada tahun 2001 ada pemeriksaan
lokasi oleh tiga hakim dari pengadilan tinggi Maumere dan Mateus Jogha membayar dua juta
untuk pemeriksaan itu. Pada tahun 2002 pengadilan memutuskan untuk menolak gugatan
Fransiska Kora dan Fransiska kemudian melakukan banding ke pengadilan tinggi Kupang.
Di sana pun keputusan menyatakan bahwa mereka mengukuhkan keputusan dari pengadilan
negeri Maumere.
4. Menang Jadi Abu Kalah Jadi Arang
Apa artinya kemenangan bila besarnya pengorbanan untuk kemenangan itu tak tertanggungkan
oleh si pemenang? Bagi Mateus dan keluarganya, keputusan pengadilan yang memenangkannya
bisa menjadi kepuasan batin tersendiri. Tetapi apakah secara material dia tidak mengalami
kerugian yang besar?
“Biaya untuk perkara itu sebesar sepuluh juta lebih; untuk urus suratsurat
dan bayar pengacara. Untuk pengacara saya beri uang bensin saja
karena dia punya sepeda motor. Dia juga cari hidup. Saya gadai tanah
9 Polisi jarang mau terlibat dengan pertikaian tanah karena mereka merasa sulit untuk memutuskan
sebab dokumen tertulis atas pemilikan tanah memang jarang. Pemilikan tanah diberikan dan ditransfer
atas perjanjian secara verbal saja (tidak tertulis).
131
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
untuk dapat uang itu. Semua uang yang saya dapat (hasil dari gadai tanah)
saya pakai untuk perkara, sehingga rumah ini juga sekarang baru mulai
dikerjakan lagi.”
Mateus Jogha, 19 Juni 2003
Lain lagi dengan Fransiska dan warga lainnya di Magepanda. Keputusan itu terasa tidak adil
karena adanya berbagai alasan. Dari seluruh lapisan pemerintahan desa mulai dari RT sampai
kepala desa, Mateus Jogha dinyatakan tidak berhak atas tanah tersebut dan oleh karena itu
tanah tersebut harus dibagi supaya terasa adil. Tetapi mengapa Mateus Jogha tetap menang
di pengadilan?
Fransiska telah mencoba menarik kesimpulan sederhana berkaitan dengan kekalahannya.
Dalam pandangannya, kekalahan itu bukan karena ia memang benar-benar tidak berhak atas
tanah tersebut tetapi karena keteledoran administratif saja. Ia merasa masih punya peluang
asalkan biaya sidang lanjutan cukup tersedia.
“Hasil pengadilan: hakim menolak gugatan kami. Karena SK [Surat
Keputusan] ini hanya foto kopi, maka Pak hakim (Laurensius Sibarani)
tidak bisa terima fotokopi. Yang asli di Kupang, karena di kantor pertanahan
Maumere tidak ada. Jadi kami kalah ... Kami tergugat rekonvensi tidak bisa
menang karena surat tidak asli, sehingga hasil itu tergugat yang menang
dan penggugat (Fransiska) kena denda.... Kami mau naik banding (kasasi)
tapi harus bayar biaya Rp. 1000.000. Sementara untuk pengadilan (2 tahun)
sudah keluar biaya lebih dari enam juta; untuk transport, administrasi bikin
surat, dan lain-lain. Saya dengar Mateus sudah gadai tanah itu ke Paulus
Polce sebesar Rp. 21.000.000.”
Fransiska Kora, 19 Juni 2003
Sementara itu keputusan pengadilan yang demikian, turut juga mengundang banyak interpretasi
negatif dari berbagai kalangan yang menyatakan bahwa Mateus menang karena menyogok
dengan uang. Hal ini sempat dibeberkan oleh ria bewa.
“Kami sudah omong di RT, di dusun dan kantor desa. Menurut sejarah
dan menurut adat, Mateus Jogha tidak punya hak. Tetapi dia keras kepala,
tidak mau menerima pendapat kami. Dia tetap garap tanah itu. Akhirnya
mereka urus di pengadilan. Mateus menang. Saya heran. Saya hanya
terka-terka saja. Dia menang mungkin karena uang ada. Kita doi ho’a,
kalah, demi doi bhondo menang (kita yang tidak punya uang kalah, kalau
punya uang banyak menang).”
Paulus Soka, 4 Juli 2003
132
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Dalam konteks ini Ibu Rosa Sina juga menyatakan keheranannya.
“Sekarang saya dengar bahwa Mateus Jogha menang. Bagaimana caranya
dia bisa menang?... Maria Pingga ini punya cucu sendiri yang selalu samasama
dengan dia, kenapa kok Mateus Jogha yang menang? Saya heran
kok dia menang? Saya tidak tahu hasil dari sidang yang naik banding di
Kupang atau di Jakarta itu. Saya juga sudah lama tidak ikuti kasus ini
soalnya saya kerja kebun di Mautenda, Kabupaten Ende sana.”
Rosa Sina, 25 Juni 2003
Bapak Markus Kota, salah seorang mantan kepala desa Magepanda juga turut menyesalkan
sikap keras kepala dari Mateus Jogha sehingga masalah ini sampai dibawa ke pengadilan.
“Mateus menang di pengadilan, tetapi menurut saya dia rugi besar. Dia
gadai tanah untuk urus perkara ini. Sekarang dia sudah tidak punya banyak
tanah lagi. Selain itu Mateus juga tidak bisa minta bantuan Fransiska lagi
kalau dia ada kekurangan-kekurangan. Parahnya Mateus ini gadai tanah
dengan ambil uang sepuluh sampai belasan juta dari orang lain. Kapan dia
bisa bayar lagi? Lama-lama orang ambil semua dia punya tanah.”
Markus Kota, 4 Juli 2003
Penyesalan yang sama juga diungkapkan oleh Yustina salah seorang pelaku yang terlibat
dalam perkelahian dengan Fransiska.
“Dulu-dulu kami bersatu sekali (rukun) sekarang ini jadi retak, itu saya
menyesal..”
Carolina Yustina, 24 Juni 2003
5. Perdamaian Masih di Tangan Bayang-bayang
Demikianlah kasus ini terjadi antara dua warga di sebuah desa yang senyap, Magepanda.
Keputusan pengadilan telah menyelesaikan kasus ini untuk sementara. Walau demikian masih
juga ada ketidakpuasan yang tersisa di batin masing-masing pihak. Hubungan keluarga di
antara mereka menjadi renggang dan sampai kini belum ada pihak yang berani menyatukannya
kembali.
133
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“Sampai sekarang, keluarga Fransiska dan keluarga Mateus Jogha tidak
saling bicara. Fransiska juga sudah tidak mempunyai tanah garapan lagi
karena di pengadilan Mateus yang menang ... Secara ekonomis Fransiska
dan Mateus sama-sama sudah mengorbankan banyak uang walaupun di
sisi lain Mateus mengorbankan lebih banyak daripada Fransiska.”
Darius Siku, 18 Juni 2003
Keputusan pengadilan ternyata semakin menoreh luka pada pihak Fransiska sampai ibu lima
anak yang bersuamikan seorang sopir ini mengambil sebuah keputusan radikal.
“Sekarang kami tidak mau lagi bicara dengan keluarga Mateus. Apalagi
saya punya paman (saudara ibunya) sudah mati. Nenek juga sudah mati
(2001). Mungkin nenek mati karena pengaruh tekanan dan pikiran. Mereka
sudah jilat kita punya darah jadi tidak bisa (berbaikan) lagi.”
Fransiska Kora, 19 Juni 2003
Mateus Jogha, si pemenang perkara di pengadilan pun mengakui bahwa hubungannya dengan
Fransiska telah membeku.
“Hubungan di antara kami, saya dan Fransiska biasa saja; sudah jauh dan
kami tidak saling menegur atau berbicara kalau ketemu satu sama lain di
mana saja.”
Mateus Jogha, 19 Juni 2003
Entah kapan kebekuan hubungan itu dapat dicairkan kembali tidak ada orang yang tahu.
Kini Mateus Jogha, duda berumur 70 tahun, hidup di rumah semi permanen yang telah
dibangunnya dengan susah payah walaupun jendela dan pintunya masih ditutupi kain gorden
untuk sementara. Ketika ditanya mengenai rumahnya yang belum selesai, beliau hanya
termenung sambil berkata uangnya banyak habis waktu urus perkara.10
10 Lihat Diary Stanis, 19 Juni 2003 dan bandingkan Wawancara No. 606.
134
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kronologi Kasus:
Kontroversi Pemilikan Tanah
Waktu Kejadian
1966 Kepala Desa Pertama, Petrus Mbako terpilih untuk memimpin
desa gaya baru waktu itu.
1969 - 1975 Ada sosialisasi perpindahan masyarakat dari wilayah pegunungan
ke dataran luas Magepanda. Pada 1970, Maria Pingga mendapat
pembagian tanah dari tuan tanah dan membuka sawahnya sendiri.
Maria Pingga menggarap tanah tersebut bersama Yohana dan
Fransiska cucunya sampai dia meninggal dunia.
1980-an Maria Pingga meninggal. Fransiska dan Yohana menggarap tanah
Maria Pingga.
1985 Mateus Jogha menyuruh anaknya Yohanes Sare dan Yustina
menggarap tanah dari Maria Pingga dan Fransiskamenggarap
tanah miliknya. Ini terjadi seperti bertukar kebun.
1990 Mateus Jogha menggadai tanah Maria Pingga tersebut kepada
Mada Ali secara diam-diam.
1993 Masalah timbul karena Mateus Jogha dan anaknya Yohanes Sare
mau mengambil tanah yang digarap Fransiska. Pertemuan di
kantor desa, sepakat damai dan tanah itu tetap dimiliki oleh Mateus
Jogha dan Fransiskamasing-masing. Tetapi Mateus Jogha tidak
menyetujui keputusan itu.
1993 - 1998 Fransiska dan Patris saudaranya tetap menggarap tanah Maria
Pingga tetapi terus-menerus diusir oleh Mateus Jogha dari kebun
Maria Pingga.
5 Februari Babinsa, karena laporan Mateus Jogha datang ke sawah tersebut
1999 dan memukul serta mengusir Fransiskadan Patris dari sawah.
7 Februari Fransiska dan Patris melapor kepada kodim di Maumere tetapi
1999 kemudian disuruh pulang (diberi ongkos mobil) untuk diurus di
kantor desa lagi. Sekembalinya ke desa, mereka langsung melapor
kepada kepala desa.
30 Februari Kepala desa Magepanda, Petrus Mbako, mengurus penyelesaian
1999 tanah tersebut dengan menyelenggarakan makan bersama tetapi
Mateus Jogha tidak mau hadir.
6 Mei 2000 Terjadi perkelahian antara Fransiskadan Yustina, istri dari Philipus
anak Mateus Jogha di sawahnya Maria Pingga. Perkelahian ini
mengakibatkan terlukanya tangan Fransiska. Fransiskadiantar
ke puskesmas Magepanda dan melapor ke pos polisi Ndete
sampai dengan polsek Nita. Polisi mendamaikan mereka untuk
masalah perkelahian berdarah itu tetapi mengenai kasus tanah,
polisi menyerahkan kembali penyelesaiannya ke desa.
135
Siapa Berhak Memilikinya?
Desa Magepanda, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Beberapa Fransiska menggugat Mateus di pengadilan negeri Maumere.
minggu Untuk sidang menggugat (konvensi) sebanyak 19 kali dan sidang
kemudian tanggapan terhadap gugatan (rekonvensi) sebanyak 19 kali juga.
Sidang ini terjadi sepanjang tahun 2000 – 2002
5 Februari Pengadilan Negeri Maumere memutuskan untuk menolak gugatan
Fransiska
2002 yang sama artinya kemenangan untuk Mateus Jogha.
22 Februari Pengadilan Tinggi Kupang menguatkan keputusan pengadilan
Negeri
2003 Maumere yaitu menolak gugatan Fransiska. Ini artinya Fransiska
kalah lagi dan Mateus Jogha berhak untuk terus menggarap tanah
tersebut sampai sekarang.
136
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Gejolak di Perbatasan:
Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Ringkasan
Konflik batas desa yang terjadi antara warga dusun Gere, desa Koting A dan
warga dusun Poma desa Takaplager telah mengundang berbagai macam
tanggapan dan keterlibatan berbagai pihak dalam penyelesaiannya. Selama
bertahun-tahun konflik ini seakan tertidur dalam damainya suasana dusun Gere.
Tetapi ia tiba-tiba meledak dalam suatu pengerahan massa yang terjadi pada
tanggal 23 Mei 2001 terhadap beberapa keluarga yang tidak mau masuk menjadi
warga dusun Gere, yang kebetulan juga sebagiannya adalah para pendatang.
Mereka ini kebanyakan tinggal di wilayah perbatasan dua desa. Kebetulan saja
sejumlah keluarga adalah pendatang baru yang akibatnya dipolitisasi dan
diperkenalkan terhadap dinamika identitas tersebut. Ada beberapa pihak yang
terlibat dalam upaya penyelesaian pertikaian, termasuk Camat, Bupati dan pastur
setempat, yang malahan cenderung memperumit masalah yang ada
dibandingkan saling mengisi satu sama lain.
Studi kasus ini menceritakan kesulitan meyakinkan batas tetap yang disetujui,
yang dibutuhkan untuk sistem pendaftaran tanah yang “modern”. Selain itu,
kasus ini menunjukkan betapa mudahnya identitas yang diberikan (ascribed
status) dimanipulasi untuk membangkitkan konflik.
1. Latar belakang
Bagi kebanyakan masyarakat Kabupaten Sikka, pemekaran desa bukan hanya membawa
beberapa dampak positif seperti lebih dekatnya pelayanan administratif kepemerintahan desa
dan lebih besarnya porsi dana pembangunan yang diperoleh masyarakat setempat tetapi juga
membawa masalah-masalah lain seperti masalah pembagian wilayah, masalah status penduduk
dan masalah batas desa itu sendiri. Selain itu orang-orang yang menetap di wilayah perbatasan
pun sering dipaksakan untuk masuk ke desa yang mungkin menjadi asing bagi mereka. Masalah
ini sering diperparah lagi oleh adanya pemekaran beberapa desa sekaligus dalam suatu wilayah
yang kecil. Ini menyebabkan batas wilayah desa menjadi kurang jelas. Masalah pemekaran
desa ini jelas diungkapkan oleh salah seorang kepala desa yang sedang memimpin desa baru.
“Saya rasa pemekaran desa memang ada (nilai) positifnya tetapi kalau
tidak dipersiapkan dengan mantap mengenai pembagian wilayah maka
137
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
akan ada banyak hal negatif yang timbul. Ketika desa dimekarkan saya
malah dilimpahkan kasus seperti ini.”
Gerardus Goli, kepala desa Takaplager, 17 Mei 2003
Selain itu masalah pemekaran desa ini juga dikeluhkan oleh mantan rektor Seminari Tinggi
Ledalero, Pater John Aria, SVD.
“Seperti kami ini (komunitas biara Ledalero), kami dihimpit oleh tiga desa
yang saling berdekatan yaitu Ribang, Takaplager dan Koting A. Batasbatasnya
menjadi kurang jelas dan jelas ada kepentingan merebut
masyarakat.”1
Informan ini menambahkan juga bahwa bukan hanya pemekaran desa yang jadi masalah
tetapi pembagian wilayah kecamatan juga sering menyebabkan masalah bagi para penduduk
yang tinggal di wilayah batas desa.
“Memang agak aneh karena kecamatan Maumere yang kantor camatnya
jauh sampai di sana (Nele) kok mencakupi desa Koting A yang dekat dengan
camat Nita ini.”
John Aria, Mantan Rektor Seminari Tinggi Ledalero, 21 Mei 2003
Dari sisi jaraknya, Koting A memang selayaknya masuk ke kecamatan Nita karena jarak
antara kedua wilayah ini hanya sekitar 2 km sedangkan ke kantor camat Maumere kurang
lebih 8 km.
Selain masalah pembagian wilayah, pemekaran desa juga sering memberi imbas pada perebutan
warga masyarakat untuk masuk ke desa tertentu yang kadang menyebabkan juga perselisihan
antar desa.
“Kepala desa Takaplager paksa diri mendaftar mereka supaya cocok dengan
laporan awalnya tentang jumlah penduduk agar bisa genap. Kalau tidak
begitu penduduknya kurang.”
Yoseph, warga biasa, 17 Mei 2003
Beberapa pandangan ini menunjukkan bahwa pemekaran wilayah desa sebenarnya bisa
membawa berbagai masalah lanjutan yang bukan saja berhubungan dengan urusan administratif
desa tetapi juga dengan proses sosial yang berkembang dalam masyarakat di wilayah
perbatasan itu sendiri. Kasus wilayah perbatasan dan status kependudukan sebelas keluarga
yang sudah berlarut-larut antara desa Koting A dan Takaplager yang kini telah mempengaruhi
1 Wawancara No. 62.
138
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
juga beberapa sisi kehidupan lain masyarakat mungkin bisa menjadi contoh dari dampak
negatif pemekaran desa yang kurang dipersiapkan dengan baik.
2. Ketika tanah mau diukur…
Proyek Nasional (PRONA) sertifikasi tanah warga desa pada tahun 2001 telah dibuat di
berbagai desa di Kabupaten Sikka. Desa Takaplager adalah salah satu desa yang mendapat
bantuan prona tersebut. Kepala desa Takaplager memanfaatkan secara baik proyek ini untuk
membantu warganya mendapatkan sertifikat tanah. Sebelas keluarga warga desa Takaplager
yang tinggal di wilayah Koting A juga mendaftarkan diri untuk pengukuran tanah mereka di
dusun Gere. Di antara sebelas keluarga ini, tujuh keluarganya adalah para pendatang dari
kabupaten Ngada, Flores Timur dan Lembata, termasuk di dalamnya satu rumah kontrakan
mahasiswa STFK Ledalero, sedangkan empat keluarga lainnya adalah orang Koting A sendiri.
Pada tahap pertama kepala desa Takaplager ingin mengukur tanah dari tiga keluarga (di
antara 11 KK itu) lebih dahulu. Tetapi pada saat pengukuran tanah itu baru dimulai warga
dusun Gere datang secara massal dan melarang pelaksanaan pengukuran itu.
Peristiwa 23 Mei 2001 nampaknya merupakan peristiwa yang terus membekas di dalam
ingatan kepala desa Takaplager yang hendak membantu warganya mengukur tanah di wilayah
dusun Gere.
“Pernah terjadi aksi pengerahan massa di Gere pada bulan Mei 2000 ketika
kami lakukan pengukuran tanah dari ketiga kepala keluarga tersebut …
Karena tiga warga saya yang tinggal di sana meminta untuk juga mengukur
tanah milik mereka di sana maka saya bersama empat petugas dari dinas
agraria datang ke sana. Saya lalu menemui kepala dusun Gere untuk
meminta agar kami bisa lakukan pengukuran tanah milik warga saya yang
ada di wilayah mereka. Beliau tidak memberi izin. Waktu itu sampai terjadi
pertengkaran antara kepala dusun Gere dan kepala dusun Poma berkaitan
dengan boleh tidaknya mengukur tanah di Gere. Karena tidak mendapat
izinan maka saya bersama beberapa petugas itu dan kepala dusun Poma,
ketua RT masuk ke rumah salah seorang warga saya untuk minum teh dan
kopi. Kepala dusun Gere pun pulang ke rumahnya. Tetapi tiba-tiba kami
mendengar beberapa kali bunyi gong dan massa berdatangan ke depan
rumah sambil membawa pisau, parang, kayu, tombak dan batu serta kepala
dusun berada di depan mereka. Mereka berteriak-teriak: Gere bisa jadi
Kalimantan kedua. (waktu itu peristiwa Sampit-Madura di kalimantan masih
terjadi). Kami lalu pergi ke rumah bapak Theodorus untuk makan siang.
Ketika kami makan, massa yang berdatangan jauh lebih banyak lagi,
ditambah dengan mobil Wulandari beserta orang-orang yang diangkut di
dalam mobil. Sesudah makan kami pulang ke jalan utama (jalan Ende-
Maumere). Dalam perjalanan ke jalan utama melalui jalan tanah di dusun
139
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Gere, massa memalang jalan dengan bambu-bambu dan mobil tersebut
berlari kencang ke arah kami. Tetapi tiba-tiba Pater Andreas Sawu, SVD
datang dengan mengendarai sepeda motornya lalu parkir persis di tengah
jalan sehingga mobil tersebut tidak bisa maju lebih jauh dan terpaksa
berhenti. Kami kemudian bisa pulang dengan aman dan melanjutkan
pengukuran di wilayah desa kami sampai sekitar jam tujuh malam. Pada
sore harinya massa memagar semua halaman rumah dari ketujuh warga
saya dan menyuruh mereka agar tidak boleh keluar rumah ataupun merusak
pagar tersebut. Saya akhirnya menyuruh bapak Herman Heri untuk
menginformasikan ke polisi Nita tentang situasi yang terjadi ini di Gere.
Mereka pergi dan menginformasikannya kepada polisi tetapi bukan melapor
sebagaimana saya sarankan. Pada malam harinya polisi berpatroli di Gere.
Keadaan agak tenang sampai dengan datangnya surat dari PMD (sekarang
BPM) untuk mengadakan pertemuan di balai dusun Gere.”
Gerardus Goli, Kepala Desa Takaplager, 17 Mei 2003
Kotak 1: Sertifikasi Tanah Penduduk
􀂾 Sertifikasi tanah merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat jaman
sekarang. Sertifikat tanah merupakan bukti bahwa pemilikan terhadap suatu bidang
tanah adalah sah secara hukum. Oleh karena itu sertifikat tanah sering juga digunakan
untuk menjadi jaminan atau bukti bila seseorang mau meminjam uang di bank atau di
kantor penggadaian.
􀂾 Proyek nasional (PRONA) 2001 mengenai sertifikasi tanah penduduk yang dilakukan
oleh dinas pertanahan Kabupaten Sikka adalah satu langkah yang sangat membantu
masyarakat desa untuk memperoleh sertifikat tanah. Selain karena biayanya murah
yaitu hanya Rp. 30.000 per bidang tanah, juga prosesnya mudah karena warga hanya
mendaftarkan dirinya pada kepala desa masing-masing.2
Bagi masyarakat dusun Gere, desa Koting A, peristiwa pengerahan massa ini merupakan
akumulasi kejengkelan yang mereka alami terhadap beberapa warga yang tinggal di wilayah
dusun Gere tetapi tidak mau mengakui status kependudukannya sebagai warga dusun Gere
desa Koting A. Mereka melarang pelaksanaan pengukuran tanah terhadap beberapa warga
tersebut.
“Masalah domisili. Masalah ini yang sudah lama sekali, mulai tahun 1997
(sensus untuk pemilu) tetapi belum juga selesai-selesainya. Ada pribadipribadi
yang tinggal di wilayah Koting A tetapi mati-matian tidak mau
gabung. Mereka tetap pertahankan sebagai warga desa Takaplager
kecamatan Nita.”
Petrus Pengo, Tokoh Masyarakat Gere, 17 Mei 2003
2 Wawancara No. 50
140
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sedangkan beberapa warga Gere lainnya mengalami kekecewaan karena alasan lain
sebagaimana diungkapkan juga oleh Bapak kepala dusun Gere, Mateus Nira:
“Dulu kira-kira tahun 1989, ada kerja bakti di dusun Gere. Tapi warga
tersebut tidak mau ikut. Mereka diam saja di dalam rumah (tidak membantu).
Kami warga (dusun) jengkel dengan sikap itu. Tapi kami diam saja. Tidak
buat apa-apa.”
Mateus Nira, kepala dusun Gere, 14 Mei 2003
Namun berbeda dengan pandangan beberapa warga dusun Gere tersebut, keluarga-keluarga
yang mendapat larangan pengukuran tanahnya merasa bahwa masalah itu baru muncul pada
saat itu.
“Masalah timbul karena ada pengukuran tanah itu (program prona dari
pertanahan tahun 2001). Kalau tidak ukur semua hanya diam-diam saja
(tidak ada ribut-ribut).”
Markus Soba, Ketua BPD Takaplager, 19 Mei 2003
Senada dengan ungkapan di atas, seorang warga dusun Poma desa Takaplager yaitu Bapak
Ambrosius Soi juga berujar:
“Dari dulu saya urus semua (administrasi) di desa Nita. Tidak ada masalah.
Soal wilayah ini (batas desa) urusan pemerintah dengan pemerintah. Warga
dulu baik-baik saja. Tidak urus soal batas.”
Ambrosius Soi, Tokoh Masyarakat, 19 Mei 2003
Perasaan yang sama juga diungkapkan Bapak Konsales Dasa:
“Dari dulu biasa-biasa. Kami biasa bertemu warga lain. Kalau ada acara
saling mengunjungi.”
Konsales Dasa, warga biasa, 15 Mei 2003
3. Mereka Punya Alasan Sendiri!
Ketika ditanyakan mengapa mereka (sebelas keluarga) tidak mau masuk menjadi warga dusun
Gere, desa Koting A, kecamatan Maumere dan lebih memilih bertahan di desa Takaplager,
karena sudah bertahun-tahun mereka bergabung dengan desa Takaplager, kecamatan Nita.
“Saya pendatang awalnya (tinggal) di Nita, sekitar tahun 1980, cari kerja.
Dulunya saya dari Ende lalu pindah. Saya wiraswasta, jahit sendiri (menjahit
141
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
pakaian dan berbagai jenis tas). Tahun 1982 baru beli tanah dari orang
Koting di sini (tunjuk rumahnya). Di depan itu batas Takaplager (tunjuk
jalan di depan rumahnya). Tahun 1985 saya bangun rumah ini. Karena
dari dulu tinggal di desa Nita (kontrak rumah) saya sudah terbiasa urus
semua di Nita … Kenapa kami tidak ikut Koting? Karena pelayanan dari
awal lebih mudah. Sudah puluhan tahun (di Nita) jadi itu susah ya. Kantor
(desa) Koting A lebih jauh dari sini.”
Konsales Dasa, warga biasa, 15 Mei 2003
Selain bapak Konsales di atas, ternyata ada seorang kepala keluarga juga yang mengungkapkan
pengalamannya.
“Dulu (penduduknya) belum padat. Ini (Gere) dulu masih kebun (kosong
hanya untuk kebun). Jalan belum ada, sekolah belum ada, listrik belum.
Kami punya usaha dulu hingga listrik masuk, ada fasilitas air. Kami mau
menyatu dengan mereka.”
Maximus Kango, warga biasa, 19 Mei 2003
4. Sesuatu di Balik Kejadian itu
Peristiwa singkat yang terjadi di bulan Mei 2001 itu ternyata mengundang berbagai macam
tanggapan dari berbagai pihak. Tindakan pemagaran yang dilakukan hanya terhadap tujuh
rumah pendatang itu telah menimbulkan interpretasi yang berbeda dari berbagai kalangan.
Salah seorang korban yang rumahnya dipagar berujar:
“Kami ini orang kecil. Kami pendatang, mau berontak tidak bisa. Kemudian
kepala dusun buat pagar dengan bambu, buat seperti pintu. Tetapi hanya
di depan tujuh rumah yang pendatang semua. Kami tidak tahu kenapa
begitu?”
Konsales Dasa, warga biasa, 15 Mei 2003
Selain itu seorang warga dusun Poma juga menyampaikan pendapatnya:
“Saya menduga, karena kami rata-rata pendatang. Dari segi ekonomi agak
baik, rata-rata baik. Ada yang punya kios, ada punya usaha ini, itu (macammacam
usaha)…. Persoalannya semangat kerja, kemauan. Walaupun saya
punya tanah tapi tidak ada kemauan kerja, percuma. Walaupun pendatang,
tidak punya tanah, karena (ada di) daerah lain maka mereka (pendatang)
kerja semangat.”
Markus Soba, Ketua BPD Takaplager, 19 Mei 2003
142
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Masih sependapat dengan sentimen tuan tanah atas pendatang ini, P. John Aria, SVD juga
mempertanyakan:
“Mengapa kios-kios pendatang banyak yang dibongkar, dicuri sementara
kios tuan tanah aman-aman saja. Ada apa…(motifnya)?”3
Tetapi berbeda dengan pandangan para pendatang, seorang bapak dari dusun Gere
menyatakan bahwa ia sering juga membantu kesebelas keluarga itu dalam menyelesaikan
masalah-masalah mereka.
“Yang saya lihat selama ini, saya banyak selesaikan masalah-masalah
mereka tetapi mengapa mereka belum masuk ke Koting A? Juga kita masih
usahakan. Pernah terjadi pada tanggal 7 November 1997, ada persoalan
orang baku pukul dengan Marianus Kasa, tetapi kami dari dusun Gere
yang urus. Begitu juga Om Meus (Konsales Dasa). Dia lapor ke sini kalau
ada masalah pencurian di rumahnya.”
Petrus Pengo, tokoh masyarakat, 17 Mei 2003
Selain pernyataan positif tentang sikap orang Gere ini, ada juga ungkapan yang lebih ekstrim
lagi dari kepala dusun Gere yang menyatakan bahwa langkah yang diambil warganya masih
cukup baik dalam menghadapi kesebelas keluarga itu.
“Kalau ada kematian dan sembayang bersama mereka datang dan kami
juga. Kalau bukan dusun Gere pasti orang sudah baku bunuh, apalagi
mereka bukan (orang) asli di sini.”
Mateus Nira, Kepala Dusun Gere, 17 Mei 2003
5. Perdamaian yang Coba Disiasati
Setelah ancaman massa dari dusun Gere yang menimbulkan kerenggangan hubungan sosial
antara para pendatang dengan warga dusun Gere ini, maka P. John Aria, SVD, rektor Seminari
Tinggi Ledalero mengambil langkah untuk mengirim surat kepada kepala dusun Gere. Bapak
kepala dusun Gere sempat menceritakan hal tersebut.
“Ada surat untuk kepala desa Koting A dan tembusan kepala dusun, dari
Pater Rektor Ledalero, Pater John Aria, isinya minta pemerintah desa
ciptakan suasana aman. Masih pada hari yang sama, polisi dari Nita datang
karena 11 KK itu yang lapor. Tapi polisi datang hanya lihat-lihat saja.
Mateus Nira, Kepala Dusun Gere, 14 Mei 2003
3 Wawancara No. 62.
143
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kotak 2: Mengapa Pater Konrad Peduli?
Beberapa keluarga yang terlibat dalam masalah status kependudukan di Gere itu adalah
juga karyawan Seminari Tinggi Ledalero. Selain itu, salah satu unit biarawan yang
merupakan mahasiswa STFK Ledalero juga terletak di dusun Gere. Unit biara itu sering
disebut dengan unit Efrata. Pengerahan massa yang dilakukan pada tanggal 23 Mei 2001
adalah untuk menentang pengukuran tanah dari keluarga-keluarga ini yang termasuk di
dalamnya beberapa karyawan Ledalero.
Bukan hanya Pater Konrad yang peduli dengan situasi di dusun Gere, melainkan juga pihak
pemerintahan pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu pemerintahan daerah.
Melalui Saudara Yosephdan Vincent dari kantor Sospol mereka coba menginisiatifi pertemuan
antar pihak-pihak yang terkait. Pada tanggal 6 Juni 2001, pertemuan itu jadi dilaksanakan di
balai dusun Gere. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu adalah camat Maumere,
sekretaris kecamatan Nita, kepala desa Koting A, kepala desa Ribang, kepala desa Takaplager,
polisi serta beberapa keluarga yang rumahnya dipagari oleh massa. Kepala desa Takaplager
yang hadir pada saat itu mengatakan:
“Isi pertemuan waktu itu selain berbicara tentang masalah yang sudah
terjadi, juga melebar ke masalah perbatasan antar kecamatan Maumere
dan kecamatan Nita. Untuk ketujuh KK itu saya katakan bahwa saya
menyerahkan pilihan kepada mereka sendiri. Mau masuk ke Takaplager
saya terima atau mau masuk ke Koting A saya rela.4
Gerardus Goli, Kepala Desa Takaplager, 17 Mei 2003
Akhirnya pada saat itu juga ada tiga keluarga yang mau masuk desa Koting A yaitu Herman
Heri dari Larantuka, Bei dari Bajawa dan Feliks berasal dari Nele. Keluarga- keluarga yang
lain hanya diam saja ketika ditanya.
Namun tentang masuknya tiga keluarga ke Koting A ini ada warga Poma yang berpendapat
lain.
“Ada KK yang masuk, hanya karena takut. Mereka merasa terancam. Ada
3 KK yang terpaksa masuk wilayah Koting A … Mereka masuk pada waktu
pertemuan kira-kira dua minggu setelah kejadian. Ada surat dari desa
Koting A untuk buat perdamaian. Saya sengaja tidak hadir karena saya
tidak salah apa-apa. Kok saya hadir? Jadi kami tidak mau datang. Mereka
tiga KK ada yang hadir.”
Maximus Kango, warga biasa, 19 Mei 2003
4 Wawancara No. 54.
144
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
6. Pertemuan tentang Penertiban Penduduk
Sepuluh hari kemudian, tepatnya tanggal 16 Juni 2001, pertemuan diadakan lagi di kantor
bupati oleh asisten I. Yang hadir pada saat itu adalah kades Koting A, kades Nita, kades
Takaplager, petugas BPN (Badan Pertanahan Nasional), kepala kantor pendaftaran penduduk,
kesbanglimas, kades Ribang, kepala dusun Poma, kepala bagian di kantor camat Nita dan
kepala dusun Gere. Pada saat itu Asisten I bupati, Viator da Silva menyatakan:
“Untuk orang (masyarakat) yang memiliki KTP desa Nita dan masih berlaku,
tetap dipakai dan dilayani sampai selesai masa berlaku KTP. Setelah itu
(selesainya masa berlaku KTP), mereka harus mengurus/membuat KTP di
tempat baru yaitu desa Koting A.”
Viator da Silva, Asisten I Bupati Sikka, 19 Mei 2003
Sayangnya menurut asisten I masyarakat menanggapi pernyataan ini dengan mengatakan bahwa
asisten I mengijinkan mereka untuk bisa tetap menjadi warga desa Nita (sekarang dimekarkan
menjadi desa Takaplager) dan boleh tinggal di wilayah Koting A.
7. Beberapa Keluarga itu Masih Memilih Takaplager
Sampai kini beberapa keluarga yang tidak mau bergabung ke desa Koting A tetap memilih
menjadi warga desa Takaplager. Alasan mereka bertahan di desa Takaplager tetap sama
yaitu agar pelayanan pemerintahan lebih cepat diterima. Walaupun keyakinan mereka demikian
tetapi pada kenyataannya pelayanan tidak mudah lagi diperoleh sekarang. Ada kesan salah
seorang warga cukup putus asa.
“Di sini (desa Takaplager) pelayanan dekat. Kalau di Koting A itu jauh.
Kalau malam (hari) itu biayanya banyak. Kalau di sini pelayanan cepat,
apalagi kalau perlu penting. Tapi sekarang kalau di Nita orang tolak ke
sana, di Koting A tolak lagi ke sini. Kalau begini saya tidak usah urus
semua-semua.... Saya bagaimanapun tidak akan masuk ke desa Koting A,
karena ini berat. Karena masalah keamanan itu berat. Tidak perlu kendaraan
kalau mau cepat (ke kantor polisi).”
Marianus Kasa, warga biasa, 19 Mei 2003
Niat mereka untuk tetap bertahan di dusun Poma, desa Takaplager ternyata memang dibuktikan
sampai sekarang. Pada saat kepala dusun Gere mau mendaftarkan penduduk untuk dilaporkan
kepada desa dan camat keluarga-keluarga ini tetap tidak mau.
145
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
“Saya (kepala dusun Gere) datang ke rumah 11 KK (warga itu) tetapi mereka
tidak mau dicatat. Ada Theodorus dan Om Matheus yang bilang mereka
belum diserahkan kades Takaplager ke kepala desa Koting A (masih merasa
warga desa lain bukan desa Koting A). Jadi saya laporkan 11 KK itu tidak
mendaftar ke kepala desa.”
Mateus Nira, Kepala Dusun Gere, 14 Mei 2003
Pada bulan April 2003 lagi-lagi beberapa keluarga ini menyatakan bahwa mereka sudah
mengikuti sensus di desa Takaplager untuk pemilihan umum 2004 nanti.5 Mereka merasa
masalah status penduduk tersebut terjadi juga di desa Ribang (desa tetangga) dan desa
Takaplager. Ada warga desa Takaplager yang menetap di desa Ribang tetapi bisa dapat
sertifikatnya dari Takaplager.
“Kami dengar Om Donatus tinggal di desa Ribang, bisa urus di Takaplager.
Kenapa kami tidak bisa? Kami perlu keadilan.”
Bartolomes, warga desa, 15 Mei 2003
Pendapat kepala desa Takaplager pun mengungkapkan hal tersebut.
“Masalah seperti ini bukan hanya terjadi antara Koting A dan Takaplager.
Tetapi terjadi juga dengan Koting B, Koting C dan desa Ribang. Ada juga
warga Koting A yang tinggal di desa saya (Takaplager) yaitu di Napung
Kabor: keluarga Ali, keluarga Agu, keluarga Udin dan keluarga Neri. Selain
itu ada juga dua keluarga di Habi Tedang yaitu Rofinus dan Yoseph.”
Gerardus Goli, kepala desa Takaplager, 17 Mei 2003
Namun menanggapi pilihan beberapa warga yang ingin bertahan di desa Takaplager ini, kepala
dusun Gere mengatakan:
“Kita juga tidak paksa. Kalau tidak mau tinggal, lebih baik keluar (tapi)
tanah tetap di sini. Mereka tidak boleh tinggal di sini.”
Mateus Nira, Kepala Dusun Gere, 14 Mei 2003
Sedangkan Bapak Petrus Pengog yang ikut hadir dalam wawancara itu dengan tegas
mengungkapkan kemarahannya.
“Mereka beli kintal (tanah) orang Koting punya. Semua tanah dari Koting.
Reaksi orang kampung (Gere) kalau mereka (11 KK) tidak ikut (aturan),
berarti peraturan tidak ada guna. Kami (warga Gere) tidak mau ikut peraturan
(lagi), kalau bupati (pemerintah) tidak tegaskan (kepada) mereka untuk
ikut (aturan). Kalau tidak, kita bunuh saja mereka.
Petrus Pengog, tokoh masyarakat, 8 Mei 2003
5 Idem
146
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Sampai saat ini konflik terbuka antara warga desa Koting A dan warga desa Takaplager
belum terjadi lagi. Walaupun demikian konflik laten yang berkaitan dengan isu ini masih tetap
ada apalagi warga sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah karena bersikap tidak
tegas dalam kasus ini.
147
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
Kronologi Kasus:
Gejolak di Perbatasan
Tanggal Peristiwa
1970 􀂾 Theodorus Nowa pegawai Ledalero sudah mulai kerja di
Ledalero.
1980 􀂾 Bartolomeus Basa (orang Ngada) sudah pindah ke desa Nita.
1982 􀂾 Oom Bartolomeus beli tanah di dusun Gere dari orang Koting.
1983 􀂾 Oom Dorus beli tanah di gere.
1985 􀂾 Bartolomeus sudah bangun rumah di dusun gere.
1989 􀂾 Ada kerja bakti di dusun gere, dari 11 KK domisili tidak mau
keja bakti. Orang dusun Gere marah dengan sikap itu tapi
diam saja.
1997 􀂾 Masalah domisili (11 KK tidak mau ikut dusun Gere).
24 Sept 1997 􀂾 Kadus Gere & Pak Yan Nusa cabut papan batas wilayah yang
dipasang oleh Nita.
1999 􀂾 Kades Takaplager laporkan kadus Gere kepada kantor camat
Nita (bahwa kadus Gere merusak papan batas).
15 Februari 􀂾 Pertemuan di Gdg Paroki Wairpelit dengan asisten 1 Bupati
(Vasco da
1999 Gama) dengan: Kepdes Nita, Kepdes Koting A, Camat Nita,
Camat Maumere diadakan di kantor Camat Maumere.
22 Mei 2001 􀂾 Malam ada gangguan terhadap warga 11 KK domisili (Oom
Dorus).
23 Mei 2001 􀂾 Ada petugas BPN datang untuk ukur tanah dengan kades
Takaplager.
􀂾 Pengerahan massa dusun Gere untuk menolak ukur tanah itu.
􀂾 Hal rumah 7 KK dipagar oleh warga dusun Gere.
􀂾 Warga 7 KK lapor ke polisi Nita.
25 Mei 2001 􀂾 Ada surat dari Pater Konrad Kebung (Rektor Ledalero) ke
Kadus Gere, tembusan Kades.
􀂾 Polisi datang lihat pagar, tapi tidak dibongkar.
26 Mei 2001 􀂾 Pr. Markus datang ke Kadus Gere untuk informasikan bahwa
sore pertemuan di kantor Camat Nele.
􀂾 Pertemuan dengan camat Nele & Camat Nita, rencana di
kantor desa Koting A, tapi Camat Nita tunggu di kadus Gere.
Karena lama menunggu tidak jadi pertemuan..Sore itu juga dari
PMD datang ke desa Gere untuk minta cabut pagar, tapi kadus
bilang bahwa warga tidak setuju.
148
Gejolak di Perbatasan: Studi Kasus Masalah Kependudukan di Koting A
Desa Koting A, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka
Penulis: Stanis Didakus
Peneliti: Don dela Santo, Stanis Didakus and Olin Monteiro; Koordinators: Adam Satu and Jessica Gilmore
2 Juni 2001 􀂾 Dari sospol (Kab), Blasius & Vincent Huler datang ke rumah
kadus untuk sampaikan tanggal 6 Juni akan ada pertemuan di
balai dusun Gere.
6 Juni 2001 􀂾 Pertemuan di Balai Gere; kepdes takaplager, kepdes koting,
camat Maumere, Sekcam Nita, Polisi, beserta 7 KK.
􀂾 Agenda: tentang 7 KK & batas desa.
􀂾 Hasil pertemuan: 3 desa masuk ke desa koting A dan 4 KK
diam saja waktu ditanya.
16 Juni 2001 􀂾 Pertemuan di kantor Bupati yang diadakan oleh Asisten 1 Bupati
yang dihadiri oleh: kades Koting A, Kades Nita, Kades
Takaplager, petugas BPN, Kepala Kantor pendaftaran
penduduk, kesbanglimas, Kades Ribang, Kadus Poma, Kabag
Camat Nita, Kadus Gere.
􀂾 Agenda: penertiban penduduk.
4 Juli 2001 􀂾 Penyuluhan Proda di Koting A dari kantor pertanahan.
15 Juli 2001 􀂾 Program dusun Gere, Kadus Gere mau daftar/laporkan ke
desa/dusun tapi dua warga (dari 7 KK) tidak mau didaftarkan.
Awal 2003 􀂾 Rm. Ansel – minta Fr. Trisno tanya untuk tugas kuliah ke kadus
Gere, soal apakah warga Gere tidak suka pendatang. Kadus
tidak suka pertanyaan itu.
April 2003 􀂾 Warga 7 KK (yang domisili itu) tidak ikut desa Koting A tapi ikut
desa Takaplager.
149
Referensi
Aragon, Lorraine V. (2001), ‘Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People
Eat Fish and Fish Eat People’, Indonesia, Vol. 72, pp. 45 – 79.
Asia Foundation (2001), ‘Citizens’ Perception of the Indonesian Justice Sector’. Jakarta:
Asia Foundation.
Barron, Patrick, Rachael Diprose, David Madden, Claire Q. Smith, and Michael Woolcock
(2004), ‘Do Participatory Development Projects Help Villagers Manage Local Conflicts: A
Mixed Methods Approach to Assessing the Kecamatan Development Project, Indonesia’.
CPR Working Paper No. 9. Washington, D.C.: World Bank.
Barron, Patrick and David Madden (2004), ‘Violence & Conflict Resolution in “Non-Conflict”
Regions: The Case of Lampung, Indonesia’. Indonesian Social Development Paper No. 2.
Jakarta: World Bank.
Barron, Patrick, Claire Q. Smith, and Michael Woolcock (2004), ‘Understanding Local Level
Conflict Pathways: Theory, Evidence, and Implications from Indonesia’. CPR Working Paper
No. 19. Washington, D.C.: World Bank.
Barron, Patrick, Kai Kaiser, and Menno Pradhan (2004), ‘Local Conflict in Indonesia:
Measuring Incidence and Identifying Patterns’. Policy Research Working Paper No. 3384.
Washington, D.C: World Bank.
Barron, Patrick and Joanne Sharpe (forthcoming), ‘Counting Conflicts: Using Newspapers
to Record Violence in Indonesia’. Mimeo. Jakarta: World Bank.
Bertrand, Jacques (2004), Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge:
Cambridge University Press.
Bowen, John R. (2003), Islam, Law and Equality in Indonesia: An Anthropology of
Public Reason. Cambridge: Cambridge University Press.
Deininger, Klaus (2003), Land Policies for Growth and Poverty Reduction. Washington,
D.C: World Bank/Oxford University Press.
Fitzpatrick, Daniel (1997), ‘Disputes and Pluralism in Modern Indonesian Land Law’, Yale
Journal of International Law, Vol. 22, p. 171.
Fitzpatrick, Daniel (2002), Land Claims in East Timor. Canberra: Asia Pacific Press.
150
Edmunds, David and Eva Wollenberg (2002), ‘Disadvantaged Groups in Multistakeholder
Negotiations’. Programme Report. Bogor: CIFOR.
Homer-Dixon, Thomas (2001), Environment, Scarcity and Violence. Princeton: Princeton
University Press.
HRW (1997), ‘Communal Violence in West Kalimantan’. Asia Report, New York.
HRW (2002), ‘Breakdown: Four Years of Communal Violence in Central Sulawesi’. Vol. 14,
No. 9C, New York.
ICG (2000), ‘Indonesia’s Maluku Crisis: The Issues’. Indonesia Briefing. Jakarta/Brussels.
ICG (2001), ‘Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan’. Asia Report No.
19. Jakarta/Brussels.
ICG (2002), ‘Indonesia: Resources and Conflict in Papua’. Asia Report No. 39. Jakarta/
Brussels.
ICG (2003), ‘Indonesia: Managing Decentralization and Conflict in South Sulawesi’. Asia
Report No. 60. Jakarta/Brussels.
van Klinken, G. (2002), ‘Indonesia’s New Ethnic Elite’. In Henk Schulte Nordholt and Irwan
Abdullah (eds.) Indonesia in Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Markakis, John (1998), Resource Conflict in the Horn of Africa. London: Sage Publications.
McCarthy, John (2004), ‘Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile
Socio-Legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia’, World Development, Vol.
32, No. 7, pp. 1199 – 1223.
Peluso, Nancy Lee and Michael Watts (eds.) (2001), Violent Environments. Ithaca: Cornell
University Press.
Prior, John Mansford (2003), ‘The Church and Land Disputes: Sobering Thoughts from
Flores’. Mimeo. Maumere: Candraditya Research Centre for the Study of Religion and Culture.
Rinaldi, Taufik (2003), ‘When Natives become Guests in their own Land: A Case Study on
Land Disputes in Lampung’. Internal Mimeo. Justice for the Poor. World Bank: Jakarta.
Ross, Mark Howard (1995), ‘Interests and Identities in Natural Resource Conflicts Involving
Indigenous People’, Cultural Survival, Vol. 19, No. 3, pp. 74 – 76.
151
Salih, Mohamed (1999), Environmental Politics and Liberation in Contemporary Africa.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Smith, Claire Q. (forthcoming), ‘The Roots of Violence and Prospects for Reconciliation: A
Case Study of Ethnic Conflict in Central Kalimantan, Indonesia’. Mimeo. Jakarta: World
Bank.
de Soto, Hernando (2000), The Mystery of Capital. New York: Basic Books.
Stephens, Matt (2002), ‘Indonesian Land Law’. Internal Mimeo. Justice for the Poor. Jakarta:
World Bank.
Swain, Ashok (1993), Environment and Conflict: Analysing the Developing World. Report
No. 37. Department of Peace and Conflict Research, Uppsala University.
Varshney, Ashutosh, Rizal Panggabean and Mohammad Zulfan Tadjoeddin (2004), ‘Patterns
of Collective Violence in Indonesia (1990 – 2003)’. Working Paper 04/03. Jakarta: UNSFIR
Wijardjo, Boedhi and Herlambang Perdana (2001), Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat.
Jakarta: YLBHI and RACA Institute.
World Bank (2004a), Village Justice in Indonesia: Case Studies on Access to Justice,
Village Democracy and Governance. Justice for the Poor. Jakarta.
World Bank (2004b), ‘Modes of Conflict Resolution in the Minangkabau Nagari’. Internal
Mimeo. Justice for the Poor. Jakarta.
World Bank (2004c), ‘Back to the Future: Regional Autonomy and an Uncertain Adat Revival’.
Internal Mimeo. Justice for the Poor. Jakarta.
World Bank (2003), ‘Land Management and Policy Development Project – Indonesia’. Jakarta,
available at www.worldbank.or.id.

Tidak ada komentar: